Semua karna kesalahannya. Dilihat dari sudut pandang manapun ia adalah pihak yang salah. Ia tak bisa berlagak sebagai pihak yang tersakiti dan dirugikan. Keluarga Uchiha hanya menuntut janji yang sempat ia setujui. Menuntut timbal balik kesepakatan yang terjadi di masa lampau. Ia menyesal. Sangat menyesal dengan kebodohannya. Ia begitu naif mengemis bantuan pada seorang Uchiha. Tapi, apa dayanya? Ia hanya gadis remaja yang usianya belum mencapai tujuh belas tahun. Intuisinya masih tumpul dan pikirannya masih begitu sederhana.Hinata tersenyum miris mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Uchiha Fugaku. Pria paruh baya itu seolah tak punya hati. Tak ada perasaan iba sedikitpun dengannya. Ia tak bisa melupakan bagaimana Fugaku menatapnya malam itu. Sinis dengan kesan merendahkan. Ia ingin menjauh, melupakan niatnya untuk menggali secuil belas kasihan untuknya. Tapi, ia juga sangat butuh bantuan keluarga Uchiha untuk menuntaskan rasa sakit hatinya atas kematian sang ayah yang tak bisa diterimanya.
Bunyi nyaring pada ponselnya membuat lamunannya buyar. Dengan malas ia melangkahkan kakinya menuju meja belajar tempatnya menaruh ponsel yang terakhir. Dahinya berkerut heran melihat nomor tak dikenal meneleponnya larut malam seperti ini.
****
Malam semakin larut. Suasana klub malam yang dikunjungi Sasuke, Gaara, dan Naruto semakin ramai pengunjung yang kebanyakkan mereka dari kalangan sosial atas. Tempat remang-remang itu memang tujuan utama bagi orang-orang yang butuh hiburan dan ingin melepaskan jati dirinya tanpa perlu khawatir akan privasinya yang akan terusik.
Sasuke mengerang pelan seraya memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Pandangannya mulai mengabur namun tidak dengan kesadarannya.
"Aku turut berduka cita atas permintaan ayahmu, Sasuke" seru Gaara dengan culasnya.
"Diam kau, panda!" balas Sasuke.
"Sudahlah, Sasuke. Terima saja, lagipula kau hanya perlu membuat wanita pilihan ayahmu mengandung. Apa susahnya? Kau'kan maniak seks?" sahut Naruto
"Tidak semudah itu, Naruto."
"Hanya sekadar pewaris? Otak jeniusmu pasti meragukan alasan sesederhana itu'kan, Sasuke? Apalagi dengan cara yang terdengar 'murahan' seperti itu."
Sasuke tersenyum sinis mendengar tebakan Gaara. Teman merahnya itu selalu saja bertindak layaknya cenayang.
"Kau hanya perlu berhati-hati, Sasuke. Jangan terlalu dipikirkan. Lihatlah, wanita-wanita itu menatapmu seperti singa kelaparan" ucap Naruto seraya menunjuk dance floor
"Sedang tak berminat, kau saja" balas Sasuke.
Tak ingin ambil pusing, Naruto langsung berlalu meninggalkan Sasuke dan Gaara.
"Kudengar dari Ino, lusa Sakura akan pulang ke Jepang" ucap Gaara
"Begitu? Aku tak peduli"
"Benarkah? Setauku kau yang paling rajin memantau perkembangan Sakura? Yahh, meski si kuning itu tetap di urutan pertama"
"Apa yang kau bicarakan, Gaara? Aku tak mengerti"
"Aku tau kau tak pernah absen membeli majalah fashion tiap minggunya, Sasuke."
"Sedang ingin saja. Kau selalu berlebihan, Gaara"
"Kau yang selalu munafik, Sasuke"
Sasuke terdiam.
*****
Seandainya apa yang diinginkan Fugaku sama halnya dengan sewa rahim yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini, mungkin saja ia akan menerimanya. Ia hanya perlu membiarkan calon janin tumbuh dalam kandungannya. Setelah sembilan bulan lebih sepuluh hari semua akan selesai. Berakhir tanpa sisa. Kembali seperti semula.
Tapi, apa yang diinginkan Fugaku lain. Lebih dari sekadar sewa rahim.
Fugaku menginginkannya menjadi ibu kandung dari pewaris Uchiha selanjutnya.
Itu artinya, Fugaku menginginkan darah dagingnya.
Menginginkan gen miliknya bercampur dengan gen milik Uchiha!
Ia tak bisa!
Ia tak mampu jika harus 'bersatu' dengan Uchiha.
Ya, pada akhirnya keputusannya adalah penolakkan.
****
Ino menggeram kesal melihat profit perusahaan yang melonjak drastis sejak terakhir kali ia memonitor perusahaan Uzumaki yang kini berpindah kekuasaan di tangan sang kakak.
Bukan! Ia bukannya tak suka jika perusahaan yang dirintis leluhurnya itu mengalami kemajuan. Hanya saja... mengapa harus Naruto yang berhasil melakukannya?
"Sai, aku butuh bantuanmu" seru Ino lirih seraya melirik sosok pria berkulit pucat yang sedari tadi sibuk dengan buku bacaannya.
"Aku bisa apa, Ino?" balas Sai sarkatis.
"Entah bagaimana caranya, pria busuk itu harus dihentikan. Naruto harus bertekuk lutut dibawah kuasaku!" Ino terengah. Paras cantiknya memerah menahan amarah.
"Dalam mimpimu, Ino. Naruto tidak sebodoh kelihatannya"
"Haruno Sakura" gumam Ino
Sai melirik sekilas. Dahinya berkerut mendengar nama yang sudah lama absen dari pendengarannya.
"Ya, Sakura. Haruno Sakura, pion yang tepat untuk permainan ini"
****
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya Sasuke sudah terbangun sejak dua jam yang lalu. Akan tetapi pagi ini ia merasa malas beranjak dari tempat tidurnya. Puluhan panggilan dari sekretarisnya ia abaikan. Ia tak peduli jika ada hal penting yang terjadi di kantor akibat keterlambatannya. Kepalanya masih terasa pening sejak semalam. Perutnyapun terasa kembung hingga membuatnya mual.
"Minuman hangat baik untuk lambung, Sasuke-san"
Sasuke tersenyum simpul mendengarnya.
"Jangan kopi. Sebaiknya teh hangat"
"Tapi aku terlanjur kecanduan kopi, sayang" balas Sasuke dengan suara lirih.
Sasuke menghela nafasnya pelan kemudian beranjak menuju pintu yang menghubungkan kamarnya dengan kamar mandi. Tapi, sebelum itu ia tekan tombol off pada tape recorder miliknya.
********
Ada kalanya harapan tak sesuai dengan kenyataan.
Ada kalanya pemikiran tak sejalan dengan keadaan.Hinata menatap nanar sebuah potret yang ditunjukkan Fugaku padanya. Potret seorang wanita yang tengah bermain dengan gadis kecil di sebuah taman. Hinata tahu benar siapa sosok itu.
"Kuyakin otak pintarmu mampu menebak maksudku, Hyuuga" seru Fugaku.
Hinata berang. Ia menatap Fugaku dengan pandangan tak percaya. Tak menyangka Fugaku akan bertindak sejauh ini.
"Uchiha-sama-"
"Nyawa mereka tergantung dengan jawabanmu"
Kebas. Hinata merasa ulu hatinya diremas kuat hingga hancur tak tersisa.
"T-tolong.... j-jangan seperti ini" seru Hinata lirih.
"Uchiha tak pernah main-main dengan ucapan, Hyuuga. Tak ada gertakkan yang ada hanya kenyataan"
Fugaku menyeringai melihat bagaimana terguncangnya Hinata akibat ucapannya. Setitik rasa kasihan tak ada dalam benaknya. Yang ia rasakan hanyalah kepuasan. Puas karna mampu membuat putri Hyuuga kembali menelan pil pahit darinya.
Jangan harap gadis muda itu mampu membangkang perkataannya. Fugaku itu tak terbantahkan.
"Jadi..." tanya Fugaku dengan culasnya.
"Lakukan sesuai rencanamu, Uchiha-sama" jawab Hinata lirih.
"Memang harus seperti itu"
Benar!
Seorang Uchiha tak akan melepaskan mangsanya begitu saja

KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact
RomanceTakdir begitu menggelikan. Saat ia menyerahkan hati dengan tulus, saat itu juga ia merasakan sakit.