“Cukup.”
“Berhenti Sasuke.”
Hinata menyentak kuat telapak tangan Sasuke yang menggerayangi bagian paha dalamnya. Mata bulannya menatap tajam wajah Sasuke yang masih menampilkan ekspresi datar, meski dapat Hinata lihat ada kilatan gairah dalam mata sehitam jelaga itu.
Hinata mengusap kasar bibir ranumnya yang membengkak guna menghilangkan jejak-jejak saliva yang tertinggal. Wanita bertubuh mungil itu kemudian merapikan penampilannya yang jauh dari kata baik-baik saja.
Sasuke terdiam. Mata hitamnya menatap intens Hinata yang masih sibuk dengan urusannya. Dapat Sasuke lihat pipi dan telinga Hinata yang memerah, pertanda jika wanita sedang tersipu malu. Menggemaskan memang, jika saja mata bulan itu tak menatapnya tajam.
Hinata menolaknya secara verbal sedangkan tubuhnya berkata lain. Sasuke berdecak sinis. Dirinya adalah pria dewasa dengan penuh pengalaman. Ia sangat paham bahasa tubuh seorang wanita, tak terkecuali Hinata.
Menolak namun mendamba.
Polos namun penuh gairah.“Kita pulang atau pergi ke suatu tempat? Sepertinya ada yang harus kita bicarakan.” Tanya Sasuke seraya menyalakan kembali mesin mobilnya.
Hinata melirik Sasuke sekilas sebelum kembali membuang pandangannya ke arah jalanan.
“Pulang.” Jawab Hinata singka seraya menyamankan posisi sandarannya.
**
Hinata bergegas menuju kamarnya setelah sampai di mansion. Wanita itu bahkan mengabaikan sapaan Ruka. Amarah mendominasinya, Hinata tak sadar telah membuat maid muda itu merasa kecewa.
"Nyonya?" Panggil Ruka seraya menyamakan langkah kakinya dengan Hinata.
"Nyonya, apa terjadi sesuatu?"
Hinata acuh. Namun Ruka tak menyerah. Sifat penasaran dan ingin tahu benar-benar mendarah daging dalam dirinya.
"Nyonya?" Kejar Ruka, lagi.
"Tolong, aku sedang ingin sendiri." Balas Hinata seraya menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.
Ruka menghempuskan nafasnya kasar. Ia sedikit kesal dengan sikap Hinata yang tak seperti biasanya.
Didalam kamar Hinata langsung menjatuhkan badannya di atas ranjang. Ia menenggelamkan wajahnya diantara tumpukan bantal untuk meredam geraman marahnya. Bayangan tentang suaminya yang berciuman dengan wanita lain benar-benar mengganggu sanubarinya. Sekeras apapun ia berusaha untuk tidak memerdulikannya, sekeras itu pula egonya berkhianat. Ia merasa sangat marah dan kecewa dalam satu waktu.
"Jangan cengeng Hyuuga Hinata! Masalah tak akan selesai jika kau hanya menangis!"
Hinata mencoba membungkam mulut agar isakannya tak terdengar sang kakak yang sedang berdiri tak jauh darinya. Mata bulannya melirik takut-takut kearah sang kakak yang masih menampilkan raut marah.
"Maafkan aku, kak. Aku hanya...." Hinata tak sanggup melanjutkan perkataannya saat mendapat tatapan tajam dari sang kakak, Hyuuga Neji.
"Jelaskan padaku apa yang kau tawarkan pada Fugaku-sama hingga dia berkenan membantu." Cecar Neji dengan tegasnya.
"Kau menjual diri padanya?" Lanjut Neji dengan suara keras.
Hinata sontak menggelengkan kepalanya keras. Ia syok dan hatinya berdenyut nyeri mendengar tuduhan sang kakak.
"Tidak kak, aku tidak melakukan hal rendahan seperti itu." Bantah Hinata dengan suara yang meninggi.
"Lalu apa Hinata? Kau tau, Fugaku-sama tidaklah se-dermawan itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fact
RomanceTakdir begitu menggelikan. Saat ia menyerahkan hati dengan tulus, saat itu juga ia merasakan sakit.