Ributnya cumbuan roda besi dengan jalur yang dingin tidak menjadi penghalang hadirnya bentangan hening langit malam. Seperti diriku yang tak terusik lalu lalang orang yang bahkan mengalahkan ramainya semut pekerja. Mata ini fokus menatap kaki berbalut sepatu kulit imitasi coklat yang sudah lusuh di bawah sana. Berdiri di belakang garis kuning. Sekali lagi menanti kereta yang dirindukan banyak orang ketika akan berpulang. Termasuk diriku. Yang telah berkelana jauh menelusuri pori-pori kehidupan di dunia. Merasakan lelah, penat, dan sesak yang pekat. Demi uang? Demi hidup? Demi ketenaran? Demikian terombang-ambing dalam arus semrawut. Jika semua ada batasnya, kurasa ini batasnya. Batas hidup. Setipis benci dan cinta. Setipis surga dan neraka. Setipis jarak kaki ini dengan rel kereta. Setipis urat nadiku yang hancur digilas roda.
-Stasiun Bojong Gedde, 13 Mei 2016-
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Bengkok
RandomSekumpulan coret-coretan, sajak, puisi, atau apalah kalian menyebutnya, dari orang iseng yang mencintai segala kata. Sebagian adalah tulisan lama. Enggak akan cepet nambah, karena ketergantungan akan kapasitas otak yang overdosis kerja. Semoga mengi...