Mati.
Hitungan tak terhingga melekat pada pikiran laknat. Berapa kali, di mana saja, kapanpun, mati seakan menjadi bayang-bayang. Perjalanan panjang lainnya menjelma menjadi penyelesaian. Rupa beragam menjadi pilihan menarik bagi jiwa yang tersesat. Buntu. Berputar di situ melulu. Mengiris. Menggantung. Menegak. Melompat. Menyelam. Menusuk. Kecewa menjadi pemantiknya. Berbahan bakar amarah. Atas nama kesedihanpun terlaksana.
Rela?
Kenapa tidak?
Meski perbuatan hina bagi manusia dan bukan manusia. Begitu rindu pada pengambil kehidupan. Menyelak antrian panjang karena buta urutan. Bisikan tak kasat mata merasuki setiap telinga yang lalai. Merasuki relung hati yang mendingin. Hingga menguasai pikiran dan tubuh tak berjiwa.
Bunuh? Membunuh? Dibunuh?
Perang terus berkecamuk. Di dalam. Di luar. Setiap waktu. Nyawa hanyalah hiasan. Dari tubuh-tubuh kosong yang terpaksa hidup dalam kehendak. Kehendak selesai, maka selesai. Seperti bahan percobaan. Budak yang memuja.
Kau percaya takdir?
Atau bosan yang bermain karena kesepian?
Terserah.
Aku mau tidur dulu.
Di bawah nisan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Bengkok
RandomSekumpulan coret-coretan, sajak, puisi, atau apalah kalian menyebutnya, dari orang iseng yang mencintai segala kata. Sebagian adalah tulisan lama. Enggak akan cepet nambah, karena ketergantungan akan kapasitas otak yang overdosis kerja. Semoga mengi...