Ketika kau datang dan memintaku menjadi mawarmu, aku tertawa. Sambil menatap kecewa, kau berdiri di antara senja. Sendu penuh harap.
Bagaimana bisa aku menjadi mawar untukmu? Kataku. Sementara sejak awal kau adalah mawarku.
Semburat kemerahan di pipimu mengalahkan mekarnya sang malam. Apa maksudmu? Antara kalut dan takut kau bertanya.
Tidak ada yang bisa kujanjikan selain menjadi duri untukmu, mawarku. Aku akan senantiasa melindungimu, memastikan abadi indahmu. Kita akan tumbuh bersama. Menghadapi terik mentari. Bertahan di kala badai. Menari di jemari angin. Hingga semesta memisahkan kita dengan usia atau tangan-tangan manusia. Kau akan tetap menjadi mawarku. Dan aku akan tetap menjadi durimu. Karena setia duri pada mawar tidak sebanding dengan tangan pemetiknya.
Lalu kau tertawa. Aku kalah. Lagi. Kali ini suara tanpa ragu darimu.
Benar. Benarkah? Menatap curiga, aku melanjutkan. Bukan. Kau menang, sayang. Diriku sepenuhnya milikmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Bengkok
RandomSekumpulan coret-coretan, sajak, puisi, atau apalah kalian menyebutnya, dari orang iseng yang mencintai segala kata. Sebagian adalah tulisan lama. Enggak akan cepet nambah, karena ketergantungan akan kapasitas otak yang overdosis kerja. Semoga mengi...