Ada seorang Putri di sebuah kastil yang dikelilingi tembok benteng yang kuat. Siapapun yang melihat kondisi tempat itu memiliki reaksi yang beragam. Mulai dari takut hingga mencibir. Kita boleh tanyakan kebenarannya pada belukar berduri dan pohon-pohon di hutan mati. Suram menjadi kata yang tepat untuk melukiskannya. Mengundang penasaran yang menjadi tantangan.
Cukup membahas si sepi asisten sang Putri. Kini kita ke tokoh utama dari cerita ini. Putri berhati es. Percuma membayangkan komplotan bengis dan kejam di dalam sikapnya. Karena bahkan butuh usaha cukup besar bagi Putri untuk bernafas. Percuma menerjemahkan ekspresi datar pada wajahnya sebagai tatapan dingin tak bersahabat. Karena rindu Putri pada seseorang untuk berbagi tawa dan cinta sudah melewati batas. Percuma mengharapkan Putri terlihat seperti Putri. Karena telah lama Putri mengucapkan selamat tinggal padanya.
Ini kisah Putri berhati es.
Dingin karena hati yang membeku ikut melumpuhkan dada hingga pundak. Beku karena kristal-kristal es kemerahan dari darah berbagai luka. Kulit pucat tak tersentuh matahari membuat nafas menghasilkan asap tipis di musim panas. Gaun compang-camping tersayat air mata penyesalan pada setiap penghuni kerajaan yang membatu. Menangisi apa yang tak ada. Langkah tidak pernah menemukan pintu keluar dari tempat terkutuk itu. Terjebak membuat lupa pada makan dan minum. Kesepian musnahkan senyum.
Sepanjang hari Putri hanya akan berjalan berputar-putar di dalam istana atau di dalam tembok benteng. Menatap keluar jendela hanya untuk menyampaikan harapan pada langit, dan meninggalkan wasiat pada tanah di wilayah hutan mati. Tanah yang berteriak lantang agar Putri melompat ke pelukannya. Kegiatan yang Putri coba puluhan kali, lalu berakhir dengan mendarat kembali di lantai istana atau tembok benteng. Sayatan tak terhitung dan tali tergantung mengancam jiwa hanya menculik kesadaran. Lama terasingkan membuat bibir kelu dan pita suara mengering untuk berseru. Putri berhati es menanti siapapun untuk menghangatkan hati beku yang tercabik-cabik. Bersedia menahan sakit luka lama ketika beku pada hatinya mencair.
Di mana sang pangeran berkuda putih?
Oh, kudanya mati.
Di mana sang kesatria berotot baja?
Oh, ada putri muram karena sepatunya basah.
Di mana raja sahabat istana?
Oh, sibuk menghitung harta yang berlimpah.
Di mana rakyat?
Oh, lelah berjuang demi kepentingan.
Di mana kita?
Siapa?
Putri berhati es.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Bengkok
RandomSekumpulan coret-coretan, sajak, puisi, atau apalah kalian menyebutnya, dari orang iseng yang mencintai segala kata. Sebagian adalah tulisan lama. Enggak akan cepet nambah, karena ketergantungan akan kapasitas otak yang overdosis kerja. Semoga mengi...