Petaka

7.5K 305 8
                                    

Duniaku berjalan makin tidak menenentu. Hari hari yang berjalan tanpa bisa aku menebaknya.

Hari pertamaku semenjak datang ke rumah megah ini. Rumah yang hanya kutinggali dengan paman sepanjang hari. Pelayan-pelayan itu terkadang datang dipagi hari tapi pergi bahkan sebelum aku bangun tidur.

Dua hari berlalu dengan cepat. Semenjak kejadian itu, aku dan paman makin jauh. Aku hanya menghabiskan waktu dikamarku dan mengunci pintu. Tidak ada percakapan yang terjadi antara aku dan paman bahkan saat kami berada di meja makan yang sama.

Paman juga sebuk dengan pekerjaannya. Beberapa asisten datang bolak balik dari rumah utama dan rumah ini. Selebihnya paman menghabiskan waktu di kursi duduknya sembari membaca beberapa buku.

"Aku bosan" ujarku.

Paman hanya menatapku. Dia menaruh garpu dan pisaunya. Kemudian mengelap bibirnya. Lalu menaruh tangan diatas dagu lancipnya. Matanya menatapku dalam.

"Aku ingin pulang" tambahku lagi. "Kau bilang kau akan menggantikan ayahku kan? Izinkan aku pulang paman" pintaku lagi.

Paman mentapku tanpa ekspresi membuatku menjadi frustasi. Aku melempar sendok dan garpuku. Lalu berjalan pergi tanpa menghabiskan makan siangku.

Hari-hari berjalan. Aku semakin menutup diriku sendiri. Amarah akan kematian ayah, penyiksaan Sam, rasa bersalah kepada pelayan2 yang disiksa paman dan kejengkelan karena ibu tidak mau ikut pulang ke Vienna. Aku tidak lagi melihat sinar matahari, gorden kututup rapat meski hari masih siang. Aku tidak lagi makan, makanan tidak lagi lezat bahkan terasa hambar dilidahku.

Aku terbangun dimalam hari. Lalu duduk di sofa ruang tamu. Aku tidak menyadari bahwa paman belum tidur dan masih memainkan piano dengan nada yang menyedihkan.

"Kau belum tidak Vannesa?" Tanya Paman. Aku tidak perlu menjawabnya. Paman melanjutkan permainan pianonya. Membuat hatiku teriris. Aku menangis dibuatnya, terisak. Yang awalnya hanya lirih tapi membesar hingga disebuah nada paman menghentikan dawaiannya.

Paman bangkit dan mencoba mendekat kearahku. "Aku mengerti perasaanmu. Maafkan aku" ujarnya. Tapi tangannya langsung kuhempas. Aku tidak mau dia menyentuhku. Bahkan apabila itu jariku saja. Dia psikopat yang membuatku takut.

Paman hanya berdiri tanpa mendekat kearahku. Dari gelapnya ruangan ini yang hanya tersisa bayang bayang lampu kecil, aku bisa merasakan tatapan merana dari mata violet itu.

"Izinkan aku pulang" pintaku dalam tangis.

Paman Zyan diam seribu bahasa. Dia melemparkan tubuhnya di sofa kami terduduk.

"Kita akan pulang besok" ujar Paman. Ketika aku lama menangis.

Aku menutup mataku rapat. Merasakan perasaan lega, karena aku bisa lepas dari masalah ini. Tapi juga tidak rela pergi meninggalkan paman Zyan.

"Aku ingin pulang bersama ibu" pintaku lagi. Paman Zyan mengangguk.

"Berhentilah menangis" ujar paman Zyan lembut dan hangat.

Aku mengusap air mataku. Berusaha meredam tangisku. Paman Zyan menyandarkan kepalanya di sofa.

"Aku ingat pertama kali mendengar suara tangisanmu. Saat kematian Joshua. Aku yakin waktu itu kau belum mengerti...." paman mulai bercerita.

"Paman" aku menghentikan ceritanya. "Tidak bisakah kau menjadi orang yang baik. Maksudku, berhentilah menjadi orang jahat? Berhentilah menyiksa pekerja-pekerjamu dan berhentilah menjadi psikopat" Tanyaku.

"Kenapa?" Paman terbahak tapi suaranya bergetar. "Kau takut kepadaku?" Tanyanya.

"Hmm" ujarku mengangguk. "Kau memang tidak kasar kepadaku. Bahkan kau sangat hangat kepadaku. Tapi itu membuatku takut, kau bisa saja menerkamku. Kau bisa saja menyimpan samurai didalam jubah tidurmu" ocehku.

"Ya aku menyimpan samurai didalam jubah tidurku" ujarnya dengan sedikit tawa. Dalam gelap itu aku bisa merasakan kepala dan tubuhnya yang mendekat. "Dan yah aku bisa saja menerkammu" suaranya mendekat ketubuhku. Aku menggigil, deru napasnya mendekat. Seolah suara jantungku menggelegar membelah hening malam.

Reflekku membuat kedua tanganku merangkul pundak paman. Meski dalam kegelapan, dan beberapa cahaya lilin dari piano yang belum dimatikan serta sinar bulan yang menembus jendela ruangan. Aku bisa menatap mata violet yang hanya beberapa centi didpan mataku. Dan hidung mancung yang seolah hendak menyentuh hidungku.

Aku tidak kuasa menolak perlakuan paman ini. Aku mengejar bibir paman dengan memajukan kepalaku. Aku sudah seperti memeluk leher paman dengan kedua tanganku.

Aku menginginkan buaian itu.

Aku ingin mengecup pipi paman Zyan lagi. Aku terobsesi dengan perlakuan manisnya ini.

Paman Zyan menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. "Aku tidak akan menyentuhmu lagi Vannesa. Kau bukan wanita yang sesuai dengan kriteriaku. Sekarang pergilah tidur" suruh paman. Duduk disofa.

Lidah paman lagi-lagi menyakitiku.  Lelaki tua itu memang selalu seperti itu. Dasar Psikopat. "Kau juga terlalu tua untukku paman."  Ujarku kesal berjalan pergi.

Pagi berganti. Aku terbangun dengan terbelalak. Ketika pintu kamarku terbuka tiba-tiba. "Tuan Zyan terjatuh dikamar mandi" ujarnya. Aku segera bangkit dan berlari kekamar Paman Zyan yang tengah penuh oleh beberapa dokter.

"Demamnya sangat tinggi" ujar soerang dokter. Aku langsung mendekati paman Zyan. Mengelus kepalanya yang hangat. Wajahnya sangat pucat.

"Dia mungkin terlalu lelah" ujar seorang pelayan. "Dia belum tidur setibanya dirumah ini." Ujarnya, membuatku merasa bersalah.

Seorang dokter memberikan beberapa racik obat. Sebelum meninggalkan kami. Aku mengatakan pada pelayan aku akan mengurusnya seorang diri. Tak lupa juga aku mengatakan kepada asisten paman untuk membawa ibuku kemari.

Aku menjaga paman seharian. Berulang kali aku mengganti kompresan paman. Tidak lupa pula meminumkan obat sesuai anjuran dokter.

Waktu-waktu berlalu. Paman tidak juga sadar. Aku duduk disampingnya. Membelai wajahnya yang terliaat sudah agak bercahaya ketimbang pagi tadi.

Aku mengecup kening paman. Lalu mengecup bibirnya. Ketika aku mengecup bibirnya . Aku tersadar bahwa paman telah  bangun entah kapan. Aku hendak menjauhkan tubuhku. Ketika tangan paman mememluk pinggangku.

"Aku butuh Sex. Vanessa" ujarnya membuatku menggigil rasanya. Paman memanggil namaku. Dan dia butuh itu dariku. Aku tidak bisa menolaknya. Aku mengecup bibirnya lagi.

Kali ini lebih kuat, liar dan ganas. Paman adalah pencium yang handal. Aku kewalahan menghadapi serangan ciumannya yang bertubi-tubi. Aku kalut dan permainan kenikmatan bibirnya yang membuatku terobsesi.

"Aku selalu memimpikan hari ini Vannesa" ujarnya. Aku mengangguk. "Aku ingin melihat tubuhmu yang membuatku gila" ujarnya. Memainkan rambutku.

Aku bergerak menjauh. Membenarkan posisi paman Zyan agar dia terduduk. Paman Zyan tersenyum pertanda dia sangat ingin dipuaskan. Aku pun ikut tersenyum.

Segera aku berdiri. Memunggungi paman Zyan. Paman Zyan menarik tali korsetku. Lalu menariknya, hingga membuat korsetku jatuh kelantai. tubuh bagian atasku telah terbuka.

Udara siang menjelang sore. Membuat suasana semakin hangat.

Paman Zyan mengamati punggungku dengan tatapan penuh nafsu. Segera dia menggapai perutku, membuatku jatuh dalam pelukannya.

Jegrekkk.

Pintu terbuka. Aku terkaget hingga hampir melompat. Ibu berdiri diambang pintu.

"Vannesa" ibu memanggil lirih

Aku menengok kebelakang. Begitu juga paman Zyan.

+++++++++++++++++++++++++++

Dier,cute reader

Karena banyak yang nanya kelanjutan ceritanya. Jadi author ngelanjutin ini. Sebenernya ceritanya uda selesai di chapter sebelumnya. Alias mau digantungin endingnya, biar kayak hubungan author gitu dehhh. Hehehe, hope you like it yahhh.

A Perfect Sin (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang