Guratan Awan Mendung

6.1K 283 4
                                    

Aku menatap mata choklat Sam. Tidak ada keraguan dari binar matanya. Dia sahabatku, dia adalah orang yang tahu liku perjalananku. Aku mengenalnya dengan baik. Dan yang aku tahu dia adalah orang baik.

"Aku tidak bisa menjanjikan pesta yang mewah untukmu Van" ujar Samuel menggenggam tanganku sepulang kami dari pasar.

"Aku tidak butuh pesta mewah. Cukup kau menerimaku, aku sudah amat sangat bahagia" ucapku pada Samuel memeluk tangannya.

"Aku akan menjadi yang terbaik untukmu" ujar Samuel mengelus kepalaku.

Setelah Sam melamarku. Aku segera datang kerumahnya untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Samuel bukan dari keluarga yang berada, tapi tentu saja orang tuanya tidak begitu antusias dengan keputusan Samuel menikahi anak pelacur.

Gunjingan semakin luas beredar. Tentang aku yang menggunakan dukun untuk mendapatkan Sam, atau aku yang sudah tidur dengan Sam dll. Tapi aku tidak peduli, untuk saat ini aku sangat bahagia bersama Sam.

"Siapa yang akan mendampingimu?" Tanya ibu. Membuatku terdiam.

Paman Zyan adalah ayah baptisku. Tapi tidak mungkin aku akan mengundangnya. Tidak, tidak aku tidak ingin menemuinya. Lagi.

Aku tahu hatiku berharap akan kedatangannya. Tapi harga diriku terlalu mahal untuk memintanya datang.

Aku menarik napas panjang. Kuambil secarik surat untuk mengirimkan surat kepadanya.

Dier, Paman Zyan Abraham.

Dalam acara besar yang akan merubah hidupku, Aku menunggu kedatanganmu. Aku akan menikah di awal musim panas ini. Kuharap kau bersedia hadir. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai wali yang akan mendampingiku ke altar.

Salam terhangat.
Kemenakanmu, Vanessa.

Segera aku mengirim surat itu kekantor pos. Aku tidak berharap surat itu akan terbalaskan. Aku segera pulang untuk menjahit gaun pernikahanku.

Sam rutin datang kerumahku. Bahkan terkadang dia tidur dirumahku, sembari membantuku menjahit gaun pengantin. Yeah, dia memang lelaki. Tapi dia sangat handal dalam menjahit. Bahkan jahitannya lebih rapi daripada aku.

"Samuel kau mabuk?" Tanyaku ketika makan dan Sam baru mengunjungiku.

Dia meringis. Pipinya telah merah mengembang. Aku membelai kepalanya. Dia tertunduk dengan malu. Seperti anak kucing kecil lucu yang sangat suka di belai.

Dua minggu telah berlalu. Persiapan pernikahanku makin dekat. Hatiku berdegup tak karuan menanti kebahagiaan itu. Samuel semakin sibuk bekerja di kandang untuk menambah pundi-pundi keuangan kami. Sedangkan ibu, jangan tanya dia dimana sudah pasti jawabannya menjual diri.

Malam itu hujan deras. Samuel belum juga pulang. Bahkan ketika aku sudah selesai masak, dan makanan hampir dingin. Aku menunggunya sembari duduk.

Tok tok

Pintu terketuk, kupikir itu samuel. Tapi tumben sekali dia mengetuk pintu tidak seperti biasanya. Aku segera berlari kearah pintu. Ketika

Ceklek

Lelaki jangkun itu berdiri diambang pintu. Setengah basah kuyup, tapi aroma tubuhnya masih tercium maskulin dengan parfum vetiver.

Aku menatapnya. Wajahnya terlihat tua penuh beban, garis halus dimatanya pertanda dia terlalu lelah. Perjalanannya pasti sangat jauh, dia mengendarai mobil seorang diri.

Kami berdiri mematung. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa rinduku yang mematikan itu menghambur ingin memeluknya. Tapi aku harus menahannya. Masih ada secarik ketakutan didalam tubuhku meski waktu telah lama berlalu.

"Kau datang?" Tanyaku basa-basi.

"Kau tidak seriuskan akan suratmu itu?" Tanya Paman Zyan.

Aku menatap matanya lebih berani. Meskipun sebenarnya nyaliku bergetar. "Aku akan menikah" ujarku tegas.

Paman Zyan terdiam. Dia menatapku, tapi tatapannya terlihat muram. Dia tidak serapi waktu terakhir kita bertemu. Dia sedikit acak-acakkan dan nampak tidak mengurus diri.

"Masuklah. Ibu akan pulang sebentar lagi" suruhku. Baju bagian belakangnya sudah basah kuyup.

Dia masuk. Saat aku menutup pintu. Dia berdiri dibelakangku. Aku benar benar ingin memeluknya.

"Kau sudah makan?" Tanyaku melewati tubuhnya. Dia mengikuti langkahku, dan duduk dimeja makan.

Dia menunduk melihat makanan saat semangkuk sop kacang kutaruh diatas mejanya. Memakannya dengan berlahan. Aku masuk kekamar ibu. Ada lemari besar yanh sudah lama.Tidak terbuka. Itu adalah lemari milik ayah. Aku membukanya, dan menghirup bau ayah yang tidak jauh berbeda dengan aroma paman zyan. Aku mengambil beberapa potong baju, dan menaruh didepan paman Zyan yang masih makan sop kacangku.

"Aku dulu sering memakai pakaian ayahmu" cerita paman Zyan.

"Kau bahkan memakai istri ayahku paman" ujarku mengambilkan minum untuk paman.

Grek

Pintu terbuka. Samuel datang dengan basah kuyup. Dia terkejut dengan datangnya paman Zyan.

"Oh hy" sapa Samuel. Paman zyan tidak menanggapi. Dia masih makan sopnya.

"Kau bau kandang" ujarku menyampari Samuel dan mengecup bibirnya. Tidak seperti biasanya aku melakukan ini. Aku hanya ingin membuat hatiku lebih tenang.

Samuel mendekat ke Paman Zyan. "Terimakasih sudah datang dan bersedia menjadi pendamping untuk istriku" ujar samuel antusias.

Paman Zyan hanya diam. Membuatku tidak enak dengan Sam. Aku mendekati Samuel. "Mandilah, aku akan menyiapkan makan untukmu" bisikku. Samuel tersenyum dan mengelus kepalaku. Diapun naik tangga.

"Tidak bisakah kau merubah sikapmu paman? Samuel calon suamiku" bentakku kepada paman. Tapi Paman hanya diam, dan menikmati makannya. Membuatku jengkel dan menarik makanannya. Tapi terhenti.

Paman Zyan menggenggam tanganku. Membuat hatiku berdesir. Lagi, entah mengapa.
Aku menarik tanganku dan melepaskan piringnya. Paman Zyan melanjutkan makannya. Dia nampak menyedihkan. Tatapannya tak setajam dulu. Dia nampak sangat lemah, tanpa energi.

"Aku akan tidur di sofa malam ini" ujarku ketika Samuel telah selasai mandi dan duduk dimeja makan. Sedangkan paman Zyan masih mematung.

"Kau tidak tidur dengan pamanmu?" Tanya Samuel. Membuatku terdiam. Begitu juga paman. "Ah baiklah. Kau tidurlah dikamar, biar aku yang tidur di sofa" sambung Samuel.

"Ibumu tidak pulang?" Tanya Samuel. Aku menggeleng. Menaruh sup kacang diatas mejanya.

"Gantilah pakaian. Nanti masuk angin" suruhku kepada paman zyan.

Paman Zyan bangun dari kursinya. Aku segera berjalan memberi tahu kamar yang akan digunakan paman Zyan. Meski aku tahu paman zyan sudah tahu dimana kamar orang tuaku.

Paman Zyan masuk kesana. Aku masih berdiri diambang pintu.

"Vanessa" panggilnya.

Aku berbalik. Paman Zyan berjalan mendekat. Langkahnya cepat membuatku panik. Suara sepatunya terdengar. "Jangan mendekat" teriakku, tapi tubuhnya hanya tinggal beberapa senti dariku. Membuatku tergoda untuk langsung memeluknya.

Dia diam. Dan aku diam. Kecaggungan menyeruak diantara kami. Tangan paman zyan hendak membelai kepalaku. Tapi segera kutepis.

Aku menatap matanya. "Jangan menyakitiku lagi, kumohon" pintaku berbisik. Paman Zyan menjauhi tubuhku. Lalu menutup pintu kamar dengan debrakan yang membuat rumah ini bergoyang.

A Perfect Sin (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang