Aku memeluknya erat. Sangat erat. Seperti aku tidak ingin lagi melepaskannya. Zyan memelukku juga, kali ini dia membuatku memeluknya lebih erat. Hingga kakiku berpangku dengan kakinya, aku menjijit sehingga kepalaku bisa menyentuh lehernya.
Dalam pelukan itu Kami diam tanpa kata. Membiarkan hati kami melepas rindunya. Meski aku tahu, ini adalah sebuah kesalahan. Akan sangat aneh jika aku harus memanggil pamanku hanya dengan namanya saja.
"Ikutlah pulang bersamaku ke praha" ujar paman zyan.
Aku melepaskan pelukannya seketika. Didepannya untuk pertama kali aku menggeleng.
"Kumohon Vannesa" pintanya mengangkat daguku agar menatap matanya. "Aku tidak akan menyakitimu aku berjanji" ujar paman zyan. Aku menghempas tangannya, dan langsung pergi meninggalkannya.
"Kau tahu aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan" teriaknya ditengah perjalananku yang menjauh.
Langkahku gontai. Rasa sesak mengusik paru-paruku, Angin menyergapku membuatku ingin menangis. Tapi air hujan menghapus air mataku itu.
"Masuklah sebelum kau sakit" ujarku tidak menggubris perkataannya.
Kami segera masuk kedalam rumah. Ibu dan Sam masih dikamar, aku segera mandi dan berganti baju. Setelah selesai aku segera memanaskan sup kacang sisa semalam.
Paman Zyan-pun mandi dan berganti baju. Dia segera duduk di meja makan saat aku memanaskan sup kacang.
Abu yang kubuat membuatku batuk-batuk. Paman Zyan segera bangun, tapi segera kucegah. "Jangan mendekat" ujarku. Paman Zyan kembali terduduk.
Aroma sup kacang menyeruak seisi rumah. Ibu yang dibantu Sam turun dari kamar. Ibu segera duduk didepan paman Zyan dengan gaya akan mengintrogasi. Sedangkan paman Zyan hanya diam tanpa ekspresi.
Aku menaruh mangkok didepan paman zyan, ibuku dan Samuel yang duduk di sebelah ibu. "Aku tidak..." Ibu akan berkomentar.
"Ibu, diamlah dan lanjutkan makanmu" ujarku melempar sendok ke mangkuknya.
Pagi itu kami makan dengan hening. Sam tidak mengucapkan sepatah katapun. Tapi diakhir makan, betapa terkejutnya aku ketika sam menaruh sekotak merah dari sakunya.
Aku menutup wajahku menutupi pipiku yang bersemu memerah. "Aku telah membelinya"
"Kau suka?" Tanya Sam. Aku mengangguk. Aku merasa terlalu bahagia kali itu. Dan pada akhirnya,
Hari itu datang. Hari yang paling kutunggu dan kuidam idamkan. Hari dimana mimpiku menjadi kenyataan.
Mungkin memang aku terlalu berumur untuk menikah. Tapi tetap saja hatiku masih bimbang dibuatnya. Ketika ibuku memoleskan make up di wajahku, samar-samar aku melihat bayangab dari jendela.
Aku yakin itu paman Zyan. Hatiku ingin menemuinya, tapi kakiku enggan untuk melangkah.
Ya tuhan apa yang harus aku lakukan?
"Sebentar ibu" ujarku. Aku melangkah mendekati bayangan itu.
Bayangan diantara helaian helaian kain putih. Aku mengejarnya, mengejar bayangan yang terus menjauh. Gaunku yang terlalu besar memberatkanku untuk melangkah.
"Vanessa. Is that you?" Tanya seseorang dari kejauhan.
Aku terdiam. Seketika hatiku terhujat oleh kesedihan. Aku tak sanggup melepas bayangan paman Zyan yang begitu melelat diotakku dan hatiku.
Dosa terbesar yang pernah aku lakukan. Yaitu mencintai paman Zyan, seorang psikopat gila yang memiliki raut wajah penuh misteri. Seorang yang memiliki tempramen buruk.
Aku berdiri terdiam. Melihat bayangan itu menjauh. Sebelum aku kembali
Akankah kita bertemu lagi? Di Suatu hari yang indah?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Sin (complete)
Historical Fiction"Aku menyayangimu tapi diluar yang kuketahui. Kau adalah pengganti ayahku, apakah perasaanku ini berdosa?" Vanessa bukan gadis yang mudah ditakhlukan. Tapi, bersama pamannya Ziyan. Vanessa memilih menunggu. Akankah Ziyan tahu persaan kemenakannya i...