Seruan Langit

6.9K 296 12
                                    

Aku terkaget dengan suar pintu yang terbuka. Aku melihat ibu dibalik punggung paman Zyan.

"Close the Door" ujar paman. Ibu tak menggubris. Ia hendak melangkah maju.

"Close The Door" teriak paman Zyan murka. Teriakannya terdengar menakutkan. Aku melepaskan pelukan paman, tapi paman memelukku lebih erat. Dua orang pelayan menutup dan mengunci pintunya dari luar.

"Kau tidak bisa melakukan itu kepada anakku" teriak ibu dari luar meraung-raung. Membuat pikiranku menjadi kalut. Aku menutupi kedua belahan dadaku.

Paman Zyan menghempas tubuhnya dengan kasar. Aku berusaha pergi untuk menghindarinya. Tapi paman Zyan malah mengapit tubuhku dibawah kakinya.

"Sudah kukatakan padamu aku tidak suka permainan halus" ujarnya melepaskan pakaiannya.

"Ini kesalahan paman. Kumohon, tidak seharusnya seperti ini" erangku berusaha pergi. Paman Zyan menampar wajahku dengan tangannya yang besar. Aku hampir pingsan dibuatnya.

Paman zyan merobek gaun rokku. Lalu dengan kasar memukul bokongnku. Membuatku menjerit. Tubuhnya mendekat kearahku, aku memukul perutnya berkali-kali agar menjauh dari tubuhku. Pukulan yang sama kuatnya saat pertemuan kami ketika usiaku 16 tahun.

Aku hanya meronta satu nama. Sebuah nama yang kupikir tak akan berguna jika aku memanggilnya. Dan nama itu adalah Ibu.

Entah mengapa hanya satu nama itu yang terbesit dalam otakku.

Aku tidak akan menjelaskan hal ini lebih dalam. Tapi yang jelas rasa itu terlalu menyiksa. Dosa yang aku yakin tuhan tidak akan mengampuninya. Itu adalah kali pertama perawanku hilang dan juga Itu adalah kali pertama dan terakhir aku dilecehkan.

Aku bersumpah, dalam hidupku aku tidak ingin lagi mengenal lelaki. Tidak akan pernah.

Zyan. Lelaki yang sudah muak aku bahkan hanya dengan menyebut namanya. Dia membelaiku setelah dia mengambil sesuatu yang sangat berharga untukku dengan paksa.

Aku menepis tangannya. "Maaf" ujarnya. Aku segera bangkit dari ranjangku. Dan memakai pakaiannya. Dia pun ikut bangkit dengan hanya ditutup kain selimut.

"Aku tidak ingin melihatmu lagi" ujarku.

"Vanessa" panggilnya berjalan mendekat. Dan menggenggam tanganku.

"Enyahlah" teriakku. Dia melepaskan tanganku dan menunduk.

Aku menggedor-gedor pintu. Seketika pintu terbuka. Ibu telah menjadi gila dengan pisau ditangannya. Dia telah menyumpah serapahi paman Zyan.

Ketika aku keluar. Ibu hendak melukai paman Zyan. Tapi aku menhalanginya. Hingga membuat tanganku terluka karena pisau ibu.  Ibu menangis, mengecup luka baru itu dan setiap memar pukulan paman zyan di tanganku dan wajahku sembari menangis.

"Ayo pulang" ajakku.

"Ayo nak kita pulang" ujar ibu. Memelukku sembari menangis. "Maafkan ibu" ujarnya. Aku tersenyum. Sgera aku menuntun ibu keluar dari rumah itu.

Selengkanganku masih sakit karena kekasaran paman zyan tadi. Segelintir darah masig menetes ketika aku berjalan. Pelayan paman zyan menawarkan kereta kuda untuk ke stasiun. Ibu meludahi wajahnya.

Kamipun berjalan keluar kejalan ramai dan mencari kereta kuda disana. Disepanjang perjalanan ibu terus menangis dan memelukku. Banyak kata penyesalan terlontar dari bibirnya. Bahkan dikereta. Aku lebih memilih tertudur, aku merasa capek dan terlalu sakit.

Perjalanan yang sangat panjang dari ibukota cheko menuju ibukota austria. Pagi buta menjelang. Ibu membangunkanku. Dan sedikit membopohku. Bagian sensitive ku masih terasa sakit. Bahkan untuk berjalan sekalipun.

Karena itu masih terlalu pagi. Akhirnya aku dan ini berjalan terseok-seok menuju rumah. Rumah yang sudah lama gelap seperti sudah lama tidak ditempati. Mungkin rumah itu sudah menjadi rumah angker yang telah dihuni para dedemit.

Ibu membuka pintu yang tak terkunci. Debu segera menyergap kami dan membuat kami bersih-bersih. Karena tidak kuat mengangkat badanku naik ke atas. Ibu menidurkanku di ruang tamu.

Akupun menlanjutkan tidurku. Matahari terbit dengan cepat. Ketika aku telah membuka pahaku lebar-lebar dan ada seorang wanita yang memegang-megang daerahku itu. Aku terkaget dibuatnya.

Ibu menggenggam tanganku erat. Lalu mengedipkan mata. "Dia hanya kehilangan keperawanannya saja. Beberapa hari lagi rasa sakitnya pun akan hilang. Dan yeah, selamat hari pernikahan. Sayang kau tidak mengundangku ke Vienna. Jika kau mengundangku aku pasti datang" ujar tabib itu aku menatap ibu dengan tatapan murka.

Ketika tabib itu pergi. Aku mengomel pada ibuku.

"Aku bahkan belum menikah" bentakku.

"Akan menjadi aib jika kau kehilanhan keperawanan sebelum menikah" ujar ibu.

Aku terdiam. Ini terlalu gila untukku. Berulang kali aku menyumpah serapahi lelaki kardus itu. Zyan, keparat yang sudah siap aku kebiri dan mutilasi.

Aku jengah. Duniaku berputar terlalu cepat tanpa aku sadari. Amarah yang membara yang membakar tubuhku. Keparat, benar-benar keparat.

Aku bersikap diluar kebiasaanku. Entahlah, ada sesuatu didalam diriku yang menunutu sesuatu entah apa itu. Dan ketika aku memikirkan itu terbesit dipikiranku Zyan. Dan itu membuatku makin murka.

Aku semakin sering marah-marah dan menjadi gelisah. Seperti orang gila, tidak ada ketenangan yang singgah dalam otak dan jiwaku.

Ibu. Jangan tanya ibuku kemana, dia tetaplah pelacur murahan yang haus akan belaian.

"Aku menginginkan itu lagi bu" ujarku pada ibu.

Ibu tersedak makanannya. "Apa maksudmu" tanya ibu.

"Sesuatu yang kau lakukan" ujarku menatap ibu.

"Jangan gila. kau membuat ibu takut" ibu menggeleng. Aku segera bangkit dari meja makanku dan keluar dari rumah.

Burung2 berkicau. Aku mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Ketika langkahku berhenti. Karena seseorang memanggil namaku. Dia adalah Cloe, sahabatku yang kini berpakaian bak seorang yang suci.

"Lama tidak bertemu" ujar Cloe.

"Yeah. Apa kabarmu?" Tanyaku basa-basi.

"Seperti yang kau lihat" ia tersenyum. Sangat menyejukkan melihat senyumannya.

"Kudengar kau telah menikah di praha. Siapa lelaki beruntung itu?" Tanya Cloe. Aku menunduk.

"Apa kau mau mendengarkan ceritaku dan menyimpannya sebagai rahasia?" Tanyaku kepada Chloe.

Chloe mengangguk. Kamipun berjalan di tepi sungai Danube. Aku tau benar seperti apa dia. Dia adalah teman yang baik, hati dan niraninya. Akupun menceritakan semuanya, dari awal sampai kejadian naas itu.

"yeah, kau telah melakukan dosa besar. Menurutku kau yang menggodanya. Bukan salah pamanmu itu" ujar Chloe.

Aku terdiam. Chloe benar. Aku yang salah. Aku yang menggoda paman Zyan. Aku yang tidak bisa menjaga hasratku. Aku yang ganjen dan tidak pernah bisa menolak ajakannya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku itu Chloe?" Tanyaku.

Chloe terdiam. Membuatku frustasi. Aku berjalan mundur. Mundur. Mundur. Hingga bokonhku menyentuh balkon jembatan. Aku menengok kebawah, dalam benakku aku bisa merasakan dingin dan derasnya sungai danube.

Memikirkan kembali apa yang ayah rasakan didalamnya saat ajal menjemput nyawanya. Angin membawaku untuk terjun. Aku ingin bebas aku ingin lepas dari dosa yang membelengguku.

Byuuurrrrrrrrrr

Aku membuka mataku. Tak lagi aku merasakan tubuhku. Tubuhku terasa ringan. Aku tidak lagi merasakan tubuhku yang meminta bernapas. Tidak lagi......

A Perfect Sin (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang