***Harry's pov
Ini sudah 4 bulan, kau belum juga membuka matamu? Bukalah dan lihatlah aku, aku Harry Edward Styles.
Mamah dengan sabar menyuapiku sarapan. Dari dua hari yang lalu aku belum menyentuh makanan sedikit pun. Fikiranku berantakan, hatiku kacau.
Emily is calling...
"Kenapa? Belum puas ngerusak segalanya?" Tanya ku dengan nada sinis begitu telfonku angkat.
"Bagaimana kondisi Hazel? Aku ingin menjenguknya?"
"Gak usah sok khawatir gitu kalau ujung-ujungnya juga senyum liat Hazel mati."
"Aku beneran Hazz, Hazel dirawat dimana?"
"Gak penting."
"Hazza."
"Aku lagi makan, jangan ganggu."
"Aku mau jenguk sahabat aku Hazza, Hazel lagi koma di rumah sakit dan aku masih sahabat dia. Gak ada mantan sahabat."
"Tapi aku tau kamu. Munafik. Mana mungkin kamu kangen Hazel."
"Aku serius."
"Harapan Bunda kamar nomor 115."
Semuanya pergi entah kemana dan di sini hanya tinggal aku sendiri bersama gadis ku yang masih tetap tertidur. Biarkanlah... mungkin dia terlalu lelah menghadapi hidup. Aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar mencari angin.
"Hazza," panggil seseorang yang membuat ku menghentikan langkah ku dan menengok ke arah sumber suara, "bagaimana keadaan Hazel?"
"Masih sama." Jawab ku lesuh.
"Menurut prediksiku Hazel akan sadar nanti, mungkin sekitar satu jam lagi. Keadaan Hazel mulai membaik dan kemungkinan dia kembali hidup sangat besar." Kata dr. Liam tersenyum.
"Benarkah?!" Tanya ku antusias.
"Ya, itu hanya perkiraan dokter semoga menjadi nyata. Tenanglah kawan, Hazel akan sadar untukmu, untuk orang yang dia cintai."
"Terima kasih Liam, aku akan segera kembali ke ruangan Hazel untuk menjadi orang pertama yang akan dia lihat nantinya." Ucap ku segera berlari kembali menuju ruangan gadis kecilku.
***
'Bodoh, bego, tolol, goblok' *eh astagfirullah.
Aku tak kuat menahan tangisku ketika melihat Hazel kembali dalam kondisi kritis. Semua ini salahku, tidak seharusnya aku memberitahu tempat Hazel dirawat kepada jalang itu. Jalang itu yang menyebabkan kondisi Hazel kembali kritis.
Aku menengok ke samping, terlihat pemandangan tidak mengenakan. Mamah menangis di pelukan Niall dan Louis. Mereka kompak. Ingin rasanya aku memarahi diriku sendiri.
PLAK!
Tamparan keras berasal dari tangan besar milik Niall berhasil mendarat cepat di pipi kananku. Tamparan yang sama sekali tidak aku perkirakan. Dari sorot matanya, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa NIALL SANGAT MARAH PADAKU. Tentu saja, lelaki mana yang tidak marah jika mengetahui gadisnya telah aku celakakan.
"Bego! Harus aku bilang berapa kali sama kamu? Menyingkir dari hidup Hazel!" Teriak Niall dengan mata elang.
"Aku tadi cuman tinggalin Hazel bentar." Aku membela diriku, walau dilihat dari sisi mana saja tetap aku yang salah.
"Aku gak minta kamu jagain Hazel! Aku mau kamu ngejauh dari Hazel, selama dua tahun aku bisa jaga Hazel dan kamu lihat sekarang? Cuman satu menit kamu hancurin semuanya!" Niall semakin menjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cape, Tau!
Teen FictionDear Rafshan, Jangan sok jual mahal ya kamu, nanti aku cicil loh.