***Kakiku terasa lemas ketika sudah sampai di depan makam Harry, orang yang selama ini menjagaku. Siap atau tidak aku benar-benar sudah kehilangan dia untuk selama-lamanya. Dulu, masih ada Edward yang ternyata Harry. Rasa sakit ini benar-benar tidak bisa ku jelaskan, rasa sakit yang benar-benar kehilangan dirimu.
Menatap saja aku tak mampu. Aku rindu Harry. Rindu semua kenangan bersamanya. Bukan hanya canda tawanya, tapi juga tangisannya tengah malam. Aku rindu rajaku.
Menangis.
Menahan sakit.
Terluka.
Tertusuk puluhan belati.
Menahan rindu.
Aku tak kuat. Kenapa Harry melakukan ini?. Kenapa Harry tidak membiarkan aku saja yang ada di dalam tanah sekarang?. Kenapa Harry dengan bodohnya mengambil tindakan sepihak tanpa meminta pendapat ku?. Kenapa Harry menjadi bodoh seperti ini?. Kenapa Harry egois?.
Niall memelukku sambil tersenyum tegar. Senyuman yang aku ketahui di balik itu semua, tegar tapi rapuh. Niall tidak ingin menunjukkan dirinya rapuh di hadapanku. Sama dengan Louis yang dengan hebatnya tersenyum lembut kepadaku. Berbeda dengan daddy yang sudah tidak bisa berpura-pura tegar lagi. Dia menangis sambil memeluk nisan Harry. Menyakitkan memang, tapi sudah terjadi.
Satu yang aku ketahui, aku memang benar-benar pembunuh.
Dan satu lagi yang ku ketahui, di dalam tubuhku mengalir darah Harry.
Daddy bangkit, dia memelukku.
"Terima kasih sudah mau menjadi anakku, kau adalah gadis pertama yang Harry cintai setelah kejadian perceraian kita."
"Tapi cinta itu tidak pantas untukku. Seharusnya aku yang mati saat ini dan membiarkan daddy memeluk Harry."
"Aku sudah tidak ingin mengatur hubungan Harry denganmu lagi. Aku merasa banyak salah denganmu, jadi aku membiarkan Harry melakukan ini."
"Kenapa? Padahal tanpa Harry melakukan ini aku sudah memaafkannya."
"Karena aku tak ingin Harry tersakiti untuk ke sekian kalinya." dia tersenyum, "kau anakku."
"Aku anakmu dan kau daddyku." Aku ikut tersenyum.
"Aku ingin kau mengetahui rahasia terbaik milik Harry." Dia menarik tanganku.
Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi begitu sudah tiba di depan kamar nomor 144. Kamar apartemen milik Harry yang selama ini menjadi tempat tinggal Harry bersama Emily. Daddy mengangguk setuju agar aku membuka pintunya.
Terlihat seorang gadis dengan berambut panjang. Gadis itu membelakangi ku, tapi aku mengetahui siapa dia. Aku hanya tersenyum sambil berjalan mendekatinya.
Terdengar isakan dari arah gadis itu ketika jarakku semakin mendekat ke dirinya. Aku perlahan merangkul pundaknya, dia hanya tersentak sebentar kemudian melanjutkan tangisannya. Aku tak tau harus berbuat apa, jika saja aku tahu yang sebenarnya. Mungkin semuanya tidak akan seperti ini.
"Berhentilah menangis, angkat kepala mu. Nanti mahkotamu jatuh princess." Ucap ku melepaskan rangkulan dan tersenyum.
"Kau yang lebih pantas menjadi princess di hidup Harry." Jawabnya yang masih enggan membalikkan badan.
"Tidak, Harry pernah berkata bahwa dia sangat mencintaimu lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Kehilanganmu lebih menakutkan dari kematian dirinya sendiri."
"Tapi semuanya berubah El." Dia membalikkan badannya dan memeluk ku, "sekarang kau yang Harry cintai, bahkan Harry rela mati untuk mu."
"Cinta Harry hanya sebatas sahabat kepadaku."
"Tidak, bukan cinta sahabat namanya jika Harry tidak berani mengorbankan nyawanya untukmu. Itu cinta sejati."
"Emily, berhentilah menangis untuk Harry."
"Hazel, berhentilah membenci Harry dan aku."
"Aku tidak pernah membenci seseorang, Harry selalu mengajariku mencintai dan menerima kekurangan seseorang."
"Tetaplah jadi sahabat terbaikku walau aku telah menusukmu." Emily memelukku tiba-tiba.
"Iya."
"Aku ingin menunjukkan sesuatu, ini semua mimpi Harry." Emily menarik tangan ku keluar dari ruangan ini.
Emily membawaku ke sebuah ruangan yang hanya di isi dengan lemari dan kaca di setiap temboknya. Beberapa riasan terlihat indah menghiasi langit ruangan itu. Bukan hanya itu saja, mataku tersontak kaget begitu melihat bingkai foto yang terletak menempel dikaca sisi sebelah kananku. Bukan bingkainya yang membuat ku terkejut, melainkan foto yang ada di dalamnya.
Aku mendekati bingkai foto itu dan mengambilnya perlahan. Terlihat dua orang anak kecil tersenyum indah sambil berpelukan dengan mesranya. Air mataku perlahan menetes, mengingat kembali hari indah.
Emily mendekatiku.
Dia membuka lemari yang sedari tadi membuat pertanyaan besar di otakku. Gadis itu mengeluarkan sebuah gaun cantik perpaduan warna pink-putih itu. Bunga-bunga bertebaran di sekitar gaun itu. Gaun itu menjuntai menyentuh lantai. Sangat cantik.
"Ini gaun hasil gambaran Harry dan setiap hari Harry selalu liatin gaun ini. Harry pernah bilang sama aku, kalau suatu saat nanti dia mau gaun ini dipake sama orang teristimewa bagi dia nanti di altar. Di dalem lemari juga udah ada jas yang sengaja Harry siapin buat dia nanti kalau mau nikah..." Emily tersenyum seraya meremas ujung gaun itu, seperti memiliki arti, "dan Harry mau yang pake gaun ini kamu."
"Maksud kamu?"
"Harry selalu bilang ke aku kalau dia cinta kamu dan mau menikahi kamu secepatnya. Gaun ini selalu dia pegang-pegang, bahkan kemarin sebelum operasi dia masih ciumin gaun ini. Dan kemarin dia bilang sama aku, dia mau liat kamu pake gaun ini di altar."
"Aku?"
"Iya kamu, Harry sengaja buat gaun ini untuk kamu."
"Aku pake gaun ini di altar? Nikah sama siapa?" Kening ku mengerut.
"Harry mau kamu sama Niall nikah." Jawab Emily yakin, sontak perkataannya barusan membuat aku terkejut.
Harry sengaja membuatkan gaun untuk ku? Untuk orang yang spesial baginya nanti di altar? Dan dia mau itu aku.
Niall masuk ke ruangan dengan senyum mengembang di pipinya. Terlihat raut kebahagian dari mata biru lautnya itu. Pria pirang itu tampak terlihat lebih tampan dengan jas yang ia gunakan.
"Ini jas pemberian Harry untuk ku dan gaun itu untuk mu. Maukah kau memakai gaun itu untuk Harry?"
"Ya aku mau, sesuai dengan keinginan Harry. Aku akan menggunakan gaun itu di altar bersama mu." Senyum ku juga ikut mengembang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cape, Tau!
Teen FictionDear Rafshan, Jangan sok jual mahal ya kamu, nanti aku cicil loh.