enam

199 45 3
                                    


Pukul sepuluh pagi, masih jam sekolahan, Riu sudah diperbolehkan pulang oleh guru piket. Ia menyergit dalam seolah bertanya kok tumben sekali dia boleh pulang, apalagi tadi ia sudah terlibat pertengkaran dengan Malen. Pasti Malen akan mengadu macam-macam yang tidak fakta seperti Margaretha, mereka itu setipe.

Tapi guru piket memaksanya pulang. Bahkan sampai memesankan ojek online dan menggendongnya sampai gerbang sekolah. Aneh banget sumpah, bukan tipikal sekolahnya banget. Ya meskipun baru bersekolah tiga bulan tapi Riu juga tau gimana sikap sekolahnya dari keluh kesah senior.

Kesempatan pulang cepat kali ini tidak Riu pergunakan untuk benar-benar ke rumah, meskipun badannya cape. Pasti jam segini keadaan rumah sepi sekali mengingat ayah kerja dan Refar masih kuliah. Toh, rumahnya juga bukan tempat pulang yang layak juga. Maka dari itu, Riu memutuskan untuk ke rumah yang lain

Riu berhenti. Tepat di bawah kakinya terdapat makam bertuliskan nama Abigail, serta tanggal kematian dan tanggal lahir. Dipandangnya cukup lama sampai Riu terjatuh begitu saja di depan makam tersebut.

Bunda, Lya kangen.

Tanpa berkata apa-apa, Riu hanya mampu meneteskan air mata. Segala rasa sakit, cape, mau teriak, sesak, pedih, rindu, semuanya bercampur aduk, sampai Riu bingung mau menceritakannya bagaimana. Kekacauan yang terjadi setelah kepergian bunda begitu banyak, Riu bingung mau mengadukan bagian mana.

Dipeluknya batu nisan hitam itu sambil ia terus meneteskan air mata. Kenangan pilu yang terjadi enam bulan yang lalu mendadak terputar kembali di otaknya, menampilkan Riu yang lemah. Tepat enam bulan yang lalu, Riu kehilangan semangat hidupnya. Riu kehilangan kehidupan yang sebelumnya.

Bunda, apa kabar?

Rasa sesak itu hadir untuk kedua kalinya. Sesak yang paling menyakiti sepanjang sejarah hidupnya—jauh lebih sakit dari pukulan ayah kalau Riu pulang malam, atau kalau Riu gagal mendapatkan nilai seratus di setiap ujian.

Dulu, Riu selalu nangis kalau melihat adegan sendu anak kecil yang menangis karena kehilangan ibu, tapi dengan cepat bunda memeluknya. Mengatakan bahwa itu hanya akting. Tanpa Riu tau ternyata beberapa tahun setelah itu, hal yang sama terjadi kepadanya.

Bunda, baik-baik, ya.

Lelah menangis, Riu melepaskan pelukannya. Ia bersandar di nisan itu seraya menatap langit yang masih biru cerah—berbanding terbalik sekali dengan kondisi hatinya saat ini. Tapi setidaknya kalau langit hari ini cerah dia bisa berlama-lama bersama bunda.

Riu memejamkan matanya. Hadir kembali kenangan bahagia yang sudah banyak ia lalui bersama bunda. Dari hal kecil seperti ketika bunda dengan sabarnya tengah malam mau menemani Riu ke toilet sampai liburan terakhir mereka di Bali.

"Bun."

Setelah lima belas menit hanya meneteskan air mata, Riu bersuara. Tetap diiringi dengan sesenggukan nafas berat.

"Lya pulang, ya."

Tanpa Riu sadari, ada pengamat di balik pohon. Lama orang itu menjadi saksi bisu kesenduan Riu.

•••

Riu kira ketika pulang dari rumah, keadaan rumah sepi, tapi malah berbanding terbalik. Ada sekitar tujuh motor terparkir di halaman depan—Riu sudah langsung tahu. Terdengar suara heboh dari lantai atas bahkan suaranya menggema sampai pintu masuk rumah. Riu yakin sekali kalau abang laknatnya lagi-lagi membawa segerombolan teman kampus. Argh!

Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Riu sengaja pulang sampai larut seperti ini agar tidak usah ribet-ribet ditanyakan sama orang rumah habis darimana, karena Riu yakin sekali ayah dan abang sudah tidur.

Astaga! Belum sampai situ keterkejutan Riu. Dirinya juga dikejutkan dengan kondisi rumah yang kayak kapal pecah. Guci kesayangan bunda yang biasanya terpanjang di ruang tamu pecah dan ambyar begitu saja, banyak juga bekas rokok dan juga serbuknya, jejak kaki berwarna coklat yang kayaknya itu tanah. Astaghfirullahhhh, beneran abang laknat banget dia tuh.

Dengan emosi memuncak, Riu berlari menuju kamar abangnya. Ia sempat melihat ada dua teman abangnya sedang duduk santai di luar kamar sampai merokok tapi ia pedulikan. Amarah Riu semakin membara melihat keadaan lantai dua yang jauh lebih berantakan dari ruang tamu tadi, ini sebenarnya apa sih yang dilakuin para cowok bajingan ini.

BRAK!

Semua orang menoleh ke pintu kamar yang digebrak sama Riu. Ada sekitaran tujuh orang di dalam kamar dan dua orang yang ada di depan kamar, sudah termasuk Refar. Tidak ada tatapan bersahabat dari satu persatu orang yang hadir.

"Mau gue tonjok muka lu apa gue patahin kaki lu?!" tanya Riu to the point.

Riu paling tau kelemahan abangnya, dia cupu gak bisa berantem. Malah sejak kecil Refar selalu kalah kalau sedang berantem dengan Riu.

Refar tidak menjawab. Teman-temannya juga ikut bungkam karena merasa ini bukan urusan yang pantas dicampuri. Biarkan saja kakak adik itu berantem di hadapan mereka, justru menjadi tontonan mengasyikkan bagi beberapa orang.

Refar segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Riu. Dia berjalan santai tanpa adanya amarah sama sekali, bahkan Refar juga cekikikan memandang Riu yang membara.

"Jablay banget, habis darimana lu?" tanya Refar menghina Riu. Menatap Roh penuh ejekan.

PLAK!

Sudah cukup lama Riu menahan emosi untuk tidak diluapkan di depan teman-teman abangnya. Tapi ucapan songong jablay terlontar santai begitu saja. "Gue bukan jablay!"

"Ckck, cewek apaan yang baru pulang jam sebelas malem? Baju kotor banget, lagi. Gue kira lu bakal ngalong sampe minggu depan," balas Refar masih setia dengan tatapan ejekan. Kini menyenderkan lengannya di pintu kamar, meneliti badan Riu dari atas sampai bawah.

"Oh, gue tau nih, abis main sama siapa?"

Sabar, tahan. Demi image tidak jelek dimata banyak orang, Riu memilih menundukkan kepalanya daripada harus membuang energi lagi. Riu menarik dan membuang nafas berusaha mengontrol emosi yang memuncak.

Riu menendang tulang kering Refar sebelum akhirnya pergi ke kamar. Daripada lelah ribut dan berakhir malu, mending tidur aja di kamar.

"Ada apa, sih?" tanya seseorang yang baru saja tiba dari kamar mandi. Sayang sekali orang itu tidak melihat pertengkaran sengit antara abang adek ini, tidak seru sekali.

Yang lain menggelengkan kepalanya kompak, begitupun dengan Refar.

"Gak ada apa-apa, Shan!" sahut salah seorang di antara mereka, yang berambut jabrik ke atas tapi tetap kece kok kalo diliat.

"Udah ah, lanjut, gak jelas banget bocah sd ngomel-ngomel," timpal yang lain mengambil kembali kartu judi yang tadinya diumpetin takut bocah sd alias Riu melihat dan bertingkah semakin aneh.

"Kenapa sih, Far? Riu, ya?" tanya orang yang habis dari kamar mandi itu yang masih terus terus kepo. Memandang Refar penuh tanya.

Dengan cepat Refar membekap mulut temannya itu dan berkata, "Sssttt, diem, Sat!"

•••

Cape, Tau!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang