Part 3 [Lie]

6.1K 231 3
                                    

"Sante Lang." Terdengar kekehan dari seberang sana membuat Langit makin geram, tentu saja, Langit tidak pernah main-main jika menyangkut Bintang.

"Sialan lo, cepet ngomong!"

"Bintang tadi kambuh trus pingsan, tapi sante dia udah baik-baik aja nih lagi tiduran di samping gue." Sedetik kemudian Langit menutup panggilan dan menghadap Gio.

"Bawa mobil?" Yang ditanya langsung merogoh saku celana osisnya dan melemparkan kunci mobilnya yang berbandul dompet coklat kecil pada Langit.

"Thanks." Gumam Langit sebelum berlari menuju parkiran. Sayup-sayup dia juga mendengar Dirga berteriak-"Titip salam buat Bintang kejora!" Langit hanya memutar bola matanya malas. Dia ingin segera melihat keadaan Bintang disana. Gerbang sekolah sudah terbuka, dan banyak siswa yang sudah keluar kawasan sekolah. Terbukti parkiran yang cukup lengang. Langit mengamati jejeran mobil yang terparkir disana, biasanya Gio akan memarkirkannya disamping mobil kepala sekolah. Entah kenapa. Ah ya! Langit menemukannya, segera membuka pintu dan merangkak masuk. Tidak lupa membuka seluruh jendela mobil secara penuh. Langit phobia pada tempat sempit dan tertutup. Walaupun itu hanya sebuah mobil. Itu kenapa dia tidak suka memakai mobil.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, Langit sudah sampai di samping gerbang sekolah Bintang.

Langit : gue udah di depan

Bintang : masuk aja, awas lu mata jelalatan!

Langit : sendiko dawuh nyai

Langit bahkan tidak peduli dimana dia parkir. Sedikit bingung karena baru kali kedua dia masuk ke gedung sekolah Bintang. Dan yang pertama itu sudah cukup lama. Sedikit menjelajah mungkin tidak ada salahnya. Namun Langit seolah tidak sadar pesona karena sedari awal dia melewati koridor-koridor kelas banyak yang memandang ke arahnya. Langit tidak tau apa arti tatapan mereka, namun yang pasti dia tidak peduli. Langkahnya makin cepat saat indranya melihat tulisan UKS tergantung diatas pintu ruangan itu.

"Astaga sayang." Pupil seseorang akan melebar jika dia melihat orang yang dicintainya, begitupun yang kini terjadi pada Langit.

"Jijik banget lo." Bintang terduduk dengan selang oksigen masih menempel di hidungnya. Sambil mencoba mengatur nafasnya yang sempat tersendat-sendat, Bintang tersenyum.

"Umm, mending gue keluar deh, bye." Kalea seolah mengerti mereka, diikuti Mera yang sebenarnya juga dari tadi disana namun diam saja.

"Eh gue disini aja deh, males pelajaran." Ucap perempuan berkacamata namun sangat modis dan elegan itu.

"Eh bego! Cepet ikut gue aja, ngertiin orang pacaran dong." Kalea menarik paksa tangan Mera yang ingin terduduk kembali. Setelah mereka benar-benar keluar, Langit kembali menatap Bintang. Langit masih terdiam memandangi perempuan di hadapannya meneliti apakah dia baik-baik saja. Namun, Bintang justru makin mendekatkan wajahnya pada lengan baju Langit. Penciuman Bintang memang kelewat tajam dengan bau yang saat ini tercium.

"Lo ngerokok lagi!" Bintang memukul laki-laki di hadapannya dengan gemas. Bagaimana bisa, Langit sudah berjanji padanya untuk tidak lagi menyentuh benda itu. Bintang sangat tidak suka pada perokok.

"Enggak, bukan gue! Tadi di kantin ada yang ngerokok, lah asepnya ke gue."

"Heleh, terserah!" Detik selanjutnya Langit malah meniup wajah Bintang pelan, yang di hadapannya segera menjauhkan wajah Langit dengan tangan kanannya.

"Bau rokok hmm?" Bintang hanya terdiam, "Itu mah bau permen mint, dasar tukang kibul."-batin Bintang sambil menatap sinis pada Langit.

"Apa?" Tanya Bintang curiga.

BACKSTREETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang