"Hello, nona?" Langit menepuk nepuk pipi perempuan di depannya, sedangkan Haikal menyetir dan kedua temannya duduk berdempetan di samping kemudi.
"Kita mau kemana emang?" Isi pikiran Haikal akhirnya keluar saat lampu lalu lintas menyala merah, mengharuskan mereka berhenti.
"Kondangan. Rumah sakit lah." balas Gio tak habis pikir.
Saat Haikal ingin menanggapi balik, suara perempuan di jok belakang mobil Langit membuat semua terdiam.
"Gue nggak salahhh..." Langit dan lainnya hanya memandangi perempuan itu penuh tanda tanya, sedangkan Haikal sudah mulai fokus pada jalanan saat lampu menyala hijau. Tiba-tiba perempuan itu terduduk dengan mata merah yang terbuka setengah sambil memegangi perutnya.
"Anjir! Berenti Kal! Berenti!" Detik itu pula Haikal menepikan mobilnya dan berhenti. Langit cepat-cepat membuka pintu mobil dan menuntun perempuan itu keluar.
"Dirga jangan liat ntar lo ikutan!" Langit memijat pelan tengkuk perempuan itu yang sedang membungkuk mengeluarkan isi perutnya.
"Shitt! Gue dimana?" Perempuan itu menyingkirkan tangan Langit yang membantunya berdiri.
"Lo tenang, kita niat baik sama lo." Belum sempat menjawab, perempuan itu kembali hilang kesadaran.
"Halah dasar cewek, untung moto hidup gue menjunjung tinggi derajat cewek."
Flashback off
Langit tersenyum miring mengingat awal pertemuan Bintang dengannya dan ketiga sahabatnya. Pertemuan yang buruk memang, namun cukup lucu jika diingat. Jika memang Gio benar, seharusnya Langit bersyukur, sampai saat ini Bintang masih bersamanya dan tidak pernah mengungkit kembali konflik antara mereka.
⭐⭐⭐
Langit : gue udah sampe, jadi nggak nih?
Ryana A. : gue otw
Langit mengumpat kesal, dia harap saat datang ke tempat diskusi yang membosankan ini semua sudah siap. Dia tidak suka membuang waktu, kecuali jika bersama Bintang.
Jika saja bukan karena Langit kalah dalam pemungutan suara dalam memilih tempat diskusi kerja kelompoknya, tidak mungkin nama Langit tercantum sebagai salah satu pengunjung perpustakaan hari ini. Belum lagi Haikal yang masih belum ada kabar, awas saja jika laki-laki itu tidak datang dan membiarkan Langit hanya bersama Ryana, Langit tidak bisa membayangkan seberapa canggung suasana nanti.
Suara lonceng kecil tanda pintu terbuka membuat Langit mendongakan wajahnya malas. Langit juga sempat bertanya perpustakaan tapi punya lonceng seperti kedai. Berharap orang yang ditunggu segera datang. Mata Langit melebar melihat siapa yang datang. Evan. Seulas senyum tampak dari wajah bijaksananya untuk Langit. Mau tak mau Langit membalas meski setengah hati dan canggung.
"Hei, sorry bikin nunggu." Tanpa Langit sadari Ryana sudah berada di sampingnya. Langit hanya mengangguk pelan.
"Lo belum cari referensi buku atau apa gitu?"
"Liat buku sebanyak itu bikin gue pusing." Tanpa sadar Ryana memutar bola matanya malas, kemudian beranjak dari tempatnya, diikuti Langit yang mengekor di belakang.
"Lumayan juga." Gumam Langit saat melihat deretan judul buku fiksi di salah satu rak. Saat dia melirik pada Ryana, perempuan berambut lurus itu sedang kesulitan mengambil buku tebal di rak bagian atas. Langit berdecak sebelum berjalan ke arah Ryana dan berdiri di belakangnya. Dengan mudah Langit menggapainya.
"Nih, kalo butuh bantuan bilang aja. Lo jatuh trus ketiban buku segede ini gue yang kawatir." Pipi Ryana menghangat dan matanya enggan menatap mata laki-laki di hadapannya. Dia menunduk sambil menyembunyikan senyum tipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKSTREET
أدب المراهقينAruna Langit Naryama dan Adara Bintang Prastika. "We are all broken."-Backstreet Ini bukan tentang bagaimana sahabat menjadi cinta, melaikan bagaimana 'mereka' menjalaninya. #romance #teenfiction #highschool