Part 17 [Stay Here]

2.6K 113 1
                                    

Langit membawa Ryana kerumahnya karena berkali kali Langit bertanya dimana alamat rumahnya, Ryana tidak mau menjawab dan justru terus menangis.

"Sekarang lo istirahat, gue ke kamar dulu." Namun segera Ryana menahan tangan Langit.

"Ggue takut Lang."

"Gue laki-laki dan lo tau itu."

"Please jangan tinggalin gue, gue takutt." Langit menghembuskan nafas berat.

"Sorry, gue nggak bisa." Baru saja Langit akan menutup pintu kamar tamu, dia sedikit melirik kembali kedalam. Namun dilihatnya Ryana yang sedang mengusap darah dihidungnya dan detik selanjutnya dia jatuh ke lantai dekat ranjang. Langit yang melihatnya segera masuk kembali dan membawa Ryana ke tempat tidur. Langit bingung saat ini. Dia segera mengambil tisu dan membersihkan darah di bawah hidung Ryana dan tangannya.

Langit : kesini cepet

Tidak butuh waktu lama, datanglah mereka dengan suara-suara mengganggu. Langit memanggil mereka dari lantai atas untuk segera naik.

Langit sudah duduk di sofa sambil memijat pangkal hidungnya saat Dirga dan yang lain masuk.

"Astaghfirullah!" Dirga melihat siapa yang ada diatas ranjang kamar tamu rumah Langit.

"Lo apain dia Lang?! Jujur sama gue! Lo udah nggak perjaka?!" Langit hanya menatap Dirga tajam sedangkan yang lain ikut duduk disebelah Langit.

"Tadi dia minta tolong ke gue, trus gue temuin dia kaya lagi ketakutan gitu di pojokan halte. Gue belum nanya-nanya, eh malah pingsan."

"Alhamdulillah masih perjaka."

"Brisik lo elah!" Haikal menendang jauh-jauh Dirga.

"Gue mau tidur, lo disini pada."

"What the hell! Lo nyuruh kita kesini buat jagain cewek itu? Damn you!"

"Gue bayarin race lo pada, jangan banyak bacot, lo pada tidur sini, gue ngantuk." Dengan itu Langit segera keluar kamar tamu dan meninggalkan ketiga temannya.

___________

"Aaaaaaaa!" Teriakan melengking cukup membuat Dirga, Haikal, dan Gio berdiri spontan dari tidur nyenyaknya.

"Kkalian ngapain disini?!" suara Ryana tercekat.

"Jarak aman tetap terjaga, dan lo bisa cek diri lo sendiri nggak ada yang kurang satupun." Gio bersuara serak sambil membenahi letak bantalnya dan kembali tertidur menyusul Haikal dan Dirga.

"Langit mana?" tak ada jawaban setelahnya, membuat Ryana memberanikan diri turun ranjang dan keluar mencari Langit. Terdengar percakapan dari bawah, Langit bersama ibunya sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Ryana menuruni tangga satu per satu hingga di anak tangga yang terakhir Langit akhirnya menoleh.

"Sarapan dulu sini, abis itu gue anter lo pulang." ucap Langit sambil mengacak rambutnya.

Eva menghampiri Ryana dan menuntunnya duduk.

"Ryana kenapa? Cerita sama tante."

"Orangtua Ryana nggak disini tante."
"Dan kenapa lo di halte sendirian tadi malem?" Eva mendelik kearah Langit untuk sabar menanyakan hal itu.

"Memangnya dimana?"

"Mereka di Jerman tante, saya disini bareng kakak."

"Pasti kakak kamu nyariin kamu, sekarang kita sarapan dulu, nanti biar Langit anterin kamu kerumah." Ryana mengangguk pelan.

"Langit, itu temenmu dibangunin gih kita sarapan bareng."

"Ntar aja deh mah, brisik kalo sama mereka."

Kini Langit dan Ryana sudah dalam perjalanan. Langit menahan diri untuk tidak mengeluarkan semua pertanyaan yang berputar putar di kepalanya.

"Gue sakit Lang." ujar Ryana sambil menatap lurus ke jalanan. Langit melihatnya sebentar.

"Sakit apa? Gue liat lo sehat-sehat aja." Ryana menyodorkan surat hasil cek lab darahnya. Langit membukanya lalu bergantian membacanya sambil melihat ke depan. Namun tiba-tiba Langit membawa mobilnya ke tepian jalan.

"Lo nggak becanda kan?"

"Gue serius, dan hidup gue udah nggak lama lagi."

"Lo nggak boleh ngomong gitu, gue tau lo bisa lewatin ini." Ryana terkejut saat Langit menggenggam tangannya, meski sesaat namun cukup membuat jantungnya berlarian di dadanya.

"Itu kenapa sekarang gue sama lo, kemaren sore gue ambil hasil lab ini. Gue juga baru tau kalo gue sakit, kakak gue ngira gue cuma kecapean. Gue nggak mungkin telfon kakak gue,  jadi sorry kalo gue ngrepotin lo Lang."

"Gue seneng bisa bantu lo, tapi lo janji harus bilang sama kakak lo tentang sakit lo, terutama nyokap lo."

"Gue nggak mau ngebebanin mereka,  apalagi nyokap gue baru aja berangkat ke Jerman."

"Tapi lo nggak bisa kaya gini, yang ada lo tambah parah."

"Gue emang udah nggak bisa sembuh Lang."

"Lo harus percaya, lo harus yakin sama diri lo sendiri, lo manfaatin kesempatan yang ada Ryana."

×××××××××××××××××××

Pagi ini Bintang bangun dengan keadaan yang bisa dibilang jauh dari kata baik. Dia sudah mengurung diri dikamar sejak semalam dan sekarang sedang duduk di balkon kamarnya sambil melihat matahari terbit. Entah sampai kapan Bintang akan terus merenung seperti ini, dia seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya.
Langit tidak pernah memperlakukannya seacuh itu. Dan kali ini Bintang benar-benar tidak ingin melihat Evan lagi dihadapannya. Semua ini gara-gara laki-laki itu. Dan ya, Bintang harus meminta penjelasan dari ibunya tentang pertunangan itu. Bintang tidak tau apapun.

"Nak, sini turun sarapan dulu." Bintang seketika turun dengan tergesa gesa.

"Jelasin ke Bintang masalah perjodohan Bintang sama Evan, apa itu bener?"

"Duduk dulu sayang, yuk diminum dulu sekarang susunya."

"Bintang mau sekarang mah."

"Ya begitulah, kamu kan udah lama deket sama Evan, kalian juga udah sering bareng-bareng. Setuju kan nak?" detik itu pula Bintang meneteskan air matanya. Rupanya Evan belum bercerita apapun.
.
.
.
TBC

BACKSTREETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang