Can You?

967 41 2
                                    

♡Alvia's POV♡

"Aku mau tanya. Kamu ... bisa bantuin aku untuk masuk ke tubuhku, ga?"

Aku hanya dapat berdo'a, ia bisa membantuku. Tapi sepertinya itu sangat mustahil.

Rio tampak berpikir, membuatku semakin merasa deg-degan.

"Aku tidak tahu," jawabnya, "tapi aku akan mencoba."

Senyum manis terukir di wajahku. Ia melihat senyumku yang secara perlahan mengembang dengan sempurna. Sepertinya ia tidak sadar, kalau ia sudah ikut tersenyum.

"Tetapnya tunjukkan senyummu yang begitu," nasihatku. Ia hanya gelagapan tak jelas, dan menurutku itu lucu.

"Rio? Kamu tertidur tenyata, Nak." Suara seseorang membuat kami tersentak. Kami kembali menoleh ke arah tubuhku yang terbaring lemah--tidak lupa dengan tubuh Rio yang sedang tertidur lelap--dan menemukan Mama disana.

"Via," panggil Rio. Perhatianku kembali teralihkan ke arah Rio.

"Coba, kamu pegang tanganmu sendiri dahulu. Mana tau bisa masuk," jelas Rio. Aku mengangguk tanda mengerti.

Kulangkahkan kakiku menuju tubuhku berada. Tanganku secara perlahan mulai mendekati tubuhku dan ... bergerak! Tubuhku mulai bergerak! Lebih tepatnya, jari-jariku.

"Ri-Rio! Bangun, Ri! Via sepertinya mulai sadar!" seru Mama sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rio.

"Oh tidak, sepertinya aku harus kembali," kata Rio.

"A-Apa? Secepat ini?" tanyaku. Rio mengangguk sedih.

"Cepat kembali ya, Via. Kami, terutama diriku, sangat-sangat merindukanmu," ucapnya tepat sebelum rohnya menghilang.

Kurasa Rio sudah kembali ke tubuhnya. Kutarik kembali tanganku, berusaha mencoba untuk memercayai apa yang baru saja terjadi.

"Engh?" gumamnya.

"Bangun, Ri! Lihat, Via sudah mulai bergerak!" seru Mama.

Lah, ini Mama kenapa bangunin Rio, sih? Dia 'kan, masih bermata panda.

Rio membuka matanya perlahan. Ia mengucek-ucek matanya sejenak.

Dia lucu. Ya, sangat lucu.

Tunggu, apa maksudku?

"Dia ga gerak, Tante," balas Rio yang masih mengantuk.

"Tadi dia jelas-jelas bergerak, Ri!" seru Mama.

Rio menegak segelas air putih di atas meja. Kemudian, ia duduk menghadap Mama.

"Tadi Rio bermimpi. Rio bertemu dengan Via. Posisinya ... Via tepat di belakang Rio," jelas Rio.

Mama tersenyum bahagia. Ia mendekati Rio untuk mendengar lebih lanjut.

"Apa yang dia katakan, Ri?" tanya Mama.

Rio menggeleng pelan. "Aku udah lupa. Tapi yang Rio ingat, Via memegang tubuhnya, lalu tepat saat itu Tante berteriak membangunkan Rio. Di saat itulah Rio berpisah dengan Via," jelas Rio sedih.

Poor Rio.

Tanganku kembali mendekati tubuhku. Perlahan tapi pasti, kini aku memegang tubuhku sendiri.

Tanganku masuk ke tubuhku, membuatnya tampak bersinar.

"Rio, lihat! Jarinya mulai bergerak!" seru Mama sambil menunjuk ke arah tanganku. Rio ikut melihat ke tubuhku. Mulutnya menganga lebar.

"Ini persis seperti di mimpi Rio, Tante," jawabnya.

Aku akan bangun sekarang. Ya, aku akan!

Tanganku mulai masuk sedikit demi sedikit. Pergelangan tangan ... siku ... lengan atas ... ba--apa? Saat sampai di bahu, aku tidak bisa masuk lebih lanjut?

Apa-apaan ini? Kenapa aku tidak bisa masuk ke tubuhku sendiri?

"Rio, Tante panggil dokter dulu, oke? Kamu disini nemanin Via, ya," kata Mama. Tepat setelah berkata demikian, Mama berlari keluar meninggalkan ruangan ini.

Rio ... aku harus bagaimana?

"Via ... yang di mimpi itu ... benaran kamu, 'kan?" lirihnya pelan.

Iya, Ri. Iya. Itu beneran aku.

"Buktikan kamu ada disini, Vi. Kalau itu beneran kamu, buktikan kamu lagi disini, Vi. Buktikan!"

Aku juga mau buktikan, Ri. Aku juga mau! Tapi, gimana?!

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Mataku terhenti pada satu titik, dimana tatapanku jatuh pada secarik kertas dengan pensil di sebelahnya.

Aku berjalan untuk mengambil kertas itu, dan menuliskan beberapa kata di atasnya.

Rio, aku disini. Tolong aku!

Aku mengambil kertas itu menuju Rio. Jika orang-orang melihatnya, mereka akan berpikir itu hantu. Aku meletakkan kertas itu tepat di pangkuan Rio.

Rio yang masih menangis, belum menyadari kertas yang di pangkuannya.

Ia mulai mengangkat kerah bajunya untuk mengelap air matanya. Untuk sesaat, ia melihatnya. Sepertinya ia mulai menyadari kehadiran kertas itu.

Ia mengangkat kertas itu dan membacanya. "Via ... kamu ... disini?" gumamnya.

"Kamu dimana, Via? Tunjukkan padaku!" serunya.

Aku harus mencari sesuatu yang dapat digoyang. Aha! Tiang infus itu!

Kugoyang-goyangkan tiang infus itu, dan matanya teralihkan menuju tiang infus ini.

"Via? Benaran kamu?" tanyanya.

Rio kok, jadi bodoh? Gimana aku menjawabnya?

"Kamu tidak bisa masuk kembali ke tubuhmu, Via? Jawab aku, Via!" serunya lagi.

Aku juga ingin menjawabnya, namun ia tidak dapat mendengarku!

Kriek.

Mama dan beberapa dokter lain masuk ke ruangan ini.

"Tante, Via disini!" serunya sambil menunjuk ke arah tiang infus ini.

"Jangan berhalusinasi, Ri," kata Mama. Rio tidak berhalusinasi, Ma! Via benaran disini!

"Tidak. Via, coba goyangkan tiang infus itu!" perintahnya. Baiklah, aku mengerti.

Aku kembali menggoyangkan tiang infus ini, yang membuat semua orang terperanjat kaget, kecuali Rio dan diriku tentunya.

"Via ... kamu beneran disini, Nak?" lirih Mama. Iya, Ma! Via disini.

"Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Silahkan tinggalkan ruangan ini untuk sementara," perintah Dokter pada Rio dan Mama. Tidak, Via takut! Via takut, Ma! Aku takut, Ri!

Gimana kalau tubuhku ternyata disuntik? Sakit!

"Untuk Nona Alvia, yang kami yakini sedang berada di ruangan ini, tolong jangan tinggalkan ruangan. Kami sudah pernah mengambil kasus seperti ini. Kami akan memberikan instruksi untuk membantu Nona masuk kembali ke tubuh Nona," perintah Dokter.

Instruksi apa?

***

Jangan lupa VOMMENT, ya! Aku akan berusaha publish sesering mungkin. Terima kasih.

Love,
LipLip☆

I Love My Twin [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang