Happy (?)

946 38 0
                                    

Kini tibalah Alvin di sebuah daerah yang terpencil. Ia melihat pemandangan yang sungguh mengerikan di hadapannya.

Mengerikan, dalam artian para polisi belum bereaksi sama sekali. Masih saling tunggu-menunggu.

Pemuda itu tak bisa menahan kesabarannya lagi. Ia akan membantu polisi, namun juga menjaga William dan temannya agar terhindar dari senapan.

***

Berly menatap pohon-pohon menjulang tinggi yang melewatinya satu persatu. Taksi yang dinaikinya melaju dengan kecepatan tinggi, sesuai permintaannya.

Ia tidak jadi melaporkan sahabatnya itu ke polisi. Entah mengapa, ia tidak tega.

Tanpa ia ketahui, seseorang sedang mengikutinya.

***

Via mengusap keringatnya dengan tissue. Rio ada keperluan di toilet sejak tadi. Sedangkan Via? Ia bosan menunggu sendirian di ruangan yang terasa panas itu.

Sejak korslet tadi, petugas RS belum ada yang masuk ke kamarnya untuk mengaktifkan pendingin ruangannya. Ia merasa sangat pengap.

"Panas," gumamnya pada dirinya sendiri. Pandangannya ia alihkan keluar jendela.

Tampaklah anak-anak yang berlarian di halaman dengan gembira. Para orang tua didorong dengan menggunakan kursi roda; mengelilingi sekitar rumah sakit. Lalu ... Alvin?

"Alvin?" gumam Via tanpa sadar. Wajah Alvin terlihat seperti bayangan di kaca jendela itu. Alvin tersenyum.

"Hai, Vi," sapa Alvin kembali.

"A-Alvin! Cepat kembalilah ke tubuhmu. Aku merindukanmu," rengek Via.

"Iya, Alvin juga merindukanmu. Tapi ada masalah yang belum selesai. Dan ... Alvin masih ragu untuk kembali," jelas Alvin.

Via terperangah. Pemuda di hadapannya kini sedikit berbeda. Tidak begitu riang seperti dulu lagi.

"Kenapa?" tanya Via. Alvin hanya tersenyum, menunjukkan lesung pipinya yang manis itu.

"Karena ... aku belum memutuskan kapan akan kembali," balas Alvin.

"Aku yang akan membantumu memutuskan. Kamu, kembali sekarang!" perintah Via.

Alvin tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak, Vi. Sudah kukatakan tadi, masalahku belum selesai."

"Masalah apa?" tanya Via bingung. Kedua alisnya bertautan.

"William," jelas Alvin, membuat gadis itu terdiam sejenak. Kemudian, Via mengangguk pelan.

"Oke. Tapi setelah itu Alvin kembali, janji?" pinta Via dengan muka memelas.

Alvin, pemuda itu, tidak mengangguk maupun menggeleng. Ia tidak memilih antara setuju atau tidak. Ia hanya terdiam, larut dalam ekspresi datarnya saja.

"Vin," pinta Via lagi. Ia sungguh sedih, saudaranya ini tidak menghargai dirinya berbicara. Andai saja waktu dapat diputar kembali, ia ingin kembali di waktu-waktu dimana Alvin masih berada di sebelahnya.

Ya, andai saja memutar waktu itu dapat terjadi dan memutarnya gampang sekali, seperti membalikkan telapak tangan bagi orang normal.

Tapi, sayangnya memutar waktu itu mustahil dilakukan. Bagai memutar telapak tangan bagi orang yang bahkan tidak memiliki tangan.

"Akan kupikirkan," jawab Alvin kemudian. Lalu, sosok Alvin menghilang.

"Vin! Alvin!" seru Via memanggil-manggil, namun ia tak dapat mendengar Alvin ataupun melihat pemuda itu dimanapun.

"Via? Kamu ngomong sama Alvin?" tanya Rio yang baru saja masuk ke ruangan Via. Ia teringat di keadaan dimana Via masih berada di alam bawah sadar sana.

Via mengangguk pelan. "Pasti menurut kamu aneh, kalau Via ngomong sama roh-nya Alvin di saat dia lagi koma," lirih Via.

Rio menggeleng. Dihampirinya gadis itu. Ia merangkulnya, lalu mengusap bahunya yang mulai bergetar itu.

"Aku percaya sama kamu, Vi. Kamu ingat ga, di saat kamunya pingsan, roh-mu keluar dari tubuhmu. Lalu, kamu berusaha memastikan dirimu disini padaku. Kamu bahkan menggoyang-goyangkan tiang infusmu itu," jelas Rio.

Via mendongak, menampakkan matanya yang sedikit memerah itu.

"Aku ... aku pernah melakukan itu?" tanya Via aneh. Rio mengangguk tanpa ragu.

Seketika, tawa Via pun pecah. Rio semakin bingung dibuatnya.

"Hahahaha ...! Mana mungkin! Via itu 'kan, lagi pingsan. Ga mungkin lah, Via goyang-goyang tiang infus gitu. Kalo gitu mah, kayak monyet tolol yang goyang-goyangin ranting pohon hanya for fun," tawanya.

"Vi, kamu lagi PMS, ya? Bentar nangis, bentar ketawa. Aneh banget," nyindir Rio.

Seketika, tawa Via yang tadinya meledak, kini terdiam dan menunjukkan wajah seramnya--menurut Rio demikian.

"Kampret kamu, Ri!" seru Via. Ia melempar bantal di ranjangnya, yang berhasil ditangkap oleh cowok itu.

"Tuh, kan! Sekarang udah marah aja," goda Rio. Via semakin kesal dibuatnya. Baru saja ia hendak memarahinya, ia baru teringat sesuatu.

"Apa jangan-jangan ... bener?" gumamnya pelan. Ia menggeserkan tubuhnya sedikit, dan ia menemukan ... merah.

"Astaga, Via baru sadar ternyata," gumamnya.

"Kenapa, Vi?" tanya Rio yang bingung. Baru saja Rio hendak melihat arah tatapan Via, gadis itu menghentikannya.

"Keluar, Ri. Keluar dulu. Urgent! Masalah cewek. Cowok ga boleh tau!" usir Via.

Rio semakin heran. Matanya tanpa sengaja melihat ke warna merah tersebut. Ia tersenyum melihat kelucuan calon gadisnya yang malu-malu itu. Kemudian, ia keluar dari ruangan itu.

Setelah Rio pergi, Via merutuki dirinya sendiri.

"Malu! Malu! Malu! Rio tadi kayaknya nampak, ya? Ya, ampun! Astaga! Kenapa aku malu-maluin diri?! Semoga ini hanya mimpi!" serunya.

***

"Le-lepaskan saya!" bentak William kesal. Dirinya tertangkap sebelum ia sempat melarikan diri.

"Anda harus menunggu hingga waktu interogasi, anak muda!"

to be continued

I Love My Twin [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang