Senyum Termanis

1K 44 0
                                    

Rio tersenyum menatap gadis yang sedang makan dengan lahap itu. Gadis yang baru saja bangun dari acara pingsannya. Gadis yang selama ini menempati hatinya. Gadis yang pernah membencinya. Gadis yang akhirnya memaafkannya.

Dan segala jenis kenangan lainnya, baik yang indah maupun buruk, sangatlah berarti bagi pemuda ini.

Senyum manis masih setia menghiasi wajahnya yang tampan itu, membuat dirinya menjadi semakin tampan. Matanya terus saja menatap pada satu titik, dan tidak berpindah-pindah.

"Kamu mau natapin aku sampai kapan? Ga nyaman, Ri," tegur Via. Rio tertawa pelan, "Kamu ga nyaman? Sayangnya aku nyaman."

Via hanya cemberut, "Awas kamu! Nanti kalau Via udah sembuh, Rio akan Via kuliti. Trus, Via jual ke pembuat tas, trus, Via dapet uang. Entar uangnya Via beli hape, tas, dompet, hand--"

"Iya-iya, Bawel!" seru Rio, "cepet habisih 'tuh, makanannya. Keburu dingin."

"Iya-iya, Cerewet!" balas Via tak mau kalah. Rio tertawa, membuat gadis itu semakin jengkel.

"Cerewet dan bawel itu sama, tidak ada bedanya," ledek Rio.

"Itu aku juga tau!" seru Via kesal. Rio kembali tertawa.

"Berarti kita sehati, dong?" goda Rio. Via hanya terdiam, tak bisa menjawab apapun. Dalam kata lain, speechless.

Tanpa gadis itu sadari, wajahnya bersemu merah.

"Ciye, blushing," goda Rio lagi.

Via mendelik kesal, "Ini 'tuh, karena kepedesan!"

Rio tahu, gadis di hadapannya itu hanya mencari-cari alasan.

"Udah-udah, makanannya jangan dilupain," tegur Rio lagi. Via mengangguk paham.

Baru saja menelan 2 suap bubur, Via teringat dengan sesuatu.

"Ri," panggil Via. Rio menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, "Apa?"

"Lokasi kemarin ... kamu udah beritahu polisi?" tanya Via pelan. Rio mengangguk, "Sudah. Kamu jangan khawatir, mereka pasti akan tertangkap."

***

Berly melangkahkan kakinya memasuki kantor polisi. Namun, sejenak kemudian, ia kembali teringat dengan William, gebetan sekaligus sahabat terbaiknya.

Niatnya ia urungkan, sehingga langkahnya pun akhirnya terhenti.

Pikirannya terus saja melayang ke waktu-waktu indahnya. Waktu-waktu yang dilaluinya bersama William. Waktu-waktu yang sangat dirindukannya. Waktu-waktu saat William sangatlah menghargainya.

Andai waktu dapat diputar kembali, ia ingin membuang waktu-waktu dimana ia merasa dikhianati, dimanfaatkan, dibohongi, dan dibodoh-bodohi oleh William.

Tidak, tidak. Ia sangatlah ingin kembali ke keadaan di saat William mulai mendekatinya. Di saat hubungan mereka sudah sangat nyaman.

Andai saja, saat itu ia mengabaikan kehadiran William, dan tetap setia menjadi milik Rio.

Tapi ... apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, batinnya.

"Nona, bila kau tidak berkepentingan, tolong keluar dan jalan menghalangi jalan ini," teguran seorang polisi membuatnya tersentak.

"Ma-Maaf," ujar Berly terbata-bata. Air matanya menetes, mengingat betapa jahatnya dirinya pada Rio, mantan pacarnya itu.

Segenap perasaan penyesalan mulai menghampirinya. Menghantuinya sejak beberapa hari yang lalu dimana ia dilanda rasa galau yang amat luar biasa.

"No-Nona! Ma-Maafkan saya apabila saya membuat anda mena--"

"Tidak, tidak apa-apa," potongnya cepat. Ia mengusap air matanya. Sebisa mungkin, ia menampilkan senyum terbaiknya.

"Itu bukan salahmu," --ia kembali mengusap air matanya-- "aku pergi."

Setelah gadis itu pergi, polisi itu menyerngit bingung, "Kalau dia disini bukan untuk melapor, lantas ngapain? Apa mantan pacarnya bekerja disini, ya?"

***

Di sisi lain, beberapa petugas keamanan sedang berjaga-jaga mengamankan sebuah daerah yang terpencil, jauh dari kota.

Dengan senapan di tangan mereka, mereka pun mulai mengendap-endap mengitari sebuah rumah kumuh.

"Siap, Semuanya?" seru si Pemimpin pelan.

"Siap, Pak!" balas mereka.

"Laksanakan!"

***

Alvin tersenyum tipis. Ia senang, melihat gadis yang disukainya itu kini bisa tersenyum kembali, walaupun bukan karena dirinya.

Ia berencana pergi ke tujuan dimana disebutkan oleh Via sebelumnya.

°Flashback°

"Aku tau dimana mereka," guman Via untuk ke sembilan kalinya.

"Dimana? Kamu tidak memberitahuku sedari tadi, jadi gimana aku memberitahu polisi?" gerutu Rio kesal.

Via tersenyum. Ia menoleh ke arah Rio.

"Di rumah kumuh yang dekat danau. Ingat? Dulu, saat ia masih baik kepada kamu, Alvin, dan aku, ia pernah membawa kita ke sebuah rumah kumuh dekat danau itu," jelas Via.

"Mengapa menurutmu begitu?" tanya Rio penasaran.

"Karena, William yang kukenal, jika ia sedang menghadapi masalah, ia pasti akan ke rumah itu dan menenangkan pikirannya. Ia pastilah tidak setega itu menyakiti Alvin. Kita dulu berteman baik, bukan?

Jadi, saat ini ia pasti sedang merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kamu tahu dimana letak rumah itu, bukan?" tanya Via.

Rio mengangguk pelan, "Tau."

"Nah, sudah kuberitahu dimana ia berada. Segeralah mencarinya, karena ia pasti akan sudah pulang saat waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. 3 jam lagi sebelum pukul 5," jelas Via.

Rio mengangguk cepat. Ia segera menelepon polisi, dan melaporkannya.

Tanpa mereka ketahui, Alvin juga mendengar hal tersebut.

°Flashback Off°

Aku akan membantumu, Via, batin Alvin.

I Love My Twin [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang