Masa Pertengkaran

4K 117 2
                                    

Alvin's POV

Waktu menunjukkan pukul 7 malam. "Vi, Pin! Makan dulu!" Seru mama dari bawah.

"Iya, Ma," jawabku dan Via bersamaan. "Vi, bisa jalan kan? Jangan ketahuan mama, loh!" Kataku teringat tadi dia terjatuh.

"Bisa kok, Pin," ujarnya dan kami turun bersama. Kami pun duduk di meja makan. Aku menyendokkan nasi untukku sendiri dan Via.

"Via, ambil sendiri dong.. masa harus Apin yang nyendokin lagi?" tegur mama pada Via.

"Gak papa ma, ini Apin yang mau ngambilin. Bukan paksaan Via kok," belaku.

"Nanti Via jadi gak dewasa loh, Pin! Harus digendong, dinyendokin, ditemenin. Kayak bayi baru lahir aja!" tegur mama lagi.

"Sudah, sudah. Vi, bagaimana hasil ujianmu seminggu yang lalu?" tanya papa. "Baik, pa," jawab Via.

"Kalau Apin?" tanya papa padaku. "Gampang aja, Pa! Semudah membalikkan telapak tangan!" jawabku.

"Apin gak boleh sombong ya walau udah dapat nilai bagus," tegur mama. "Iya, Ma," jawabku.

"Vi, itu sayurnya dimakan dong," tegur mama. "Ma, kan biasanya Via makan terakhir kalau sayur," jawab Via.

"Ya jangan dibiasain dong, Vi," tegur mama lagi. Nah, kebiasaan mama ini suka menegur orang dan bakal diam kalau papa yang menegur.

"Kan udah dari dulu, Ma," ujar Via kesal. Oke, it will be a big problem between 'Via' and 'mama'.

"Via! Kalau mama bilang makan sama nasinya, ya makan sama nasinya, dong! Kamu keras kepala  ya!" Mama mulai emosi. Via membanting sendoknya dengan kasar lalu beranjak pergi.

"Heh! Via! Mama belum selesai bicara! Kembali kamu! Habisin makananmu!" Mama berteriak.

"Ma, Apin permisi dulu." Aku pun permisi dan menyusul Via kekamarnya. Sedangkan papa berusaha meredakan emosi mama.

"Vi?" Aku melangkah masuk kedalam kamarnya. Dia sedang menangis sesegukan di ranjangnya.

"Vi?" Aku mengusap kepalanya. Berusaha meredakan tangisnya.

"Lupakan saja, Vi. Mama memang suka ngatur, tapi kita biarin aja. Nanti mama pasti gak ngatur lagi," kataku.

"Ta-tapi—hiks—tapi Vi-Via—hiks—yang selalu diomelin—hiks!" ujarnya sambil masih menangis. Kasihan sebenarnya. Dia yang selalu diomelin.

"Vi, mama itu mungkin karena capek. Orang yang capek bisa gampang emosi. Semakin Via balas, semakin mama naik darah. Lain kali patuh aja. Toh, gak ada ruginya 'kan?" Aku menasehatinya.

"Tapi 'kan, hiks! Kok harus Via yang jadi kor—hiks—korban?" protesnya.

"Yaudah. Besok Apin coba buat mama marah sama Apin aja ya? Bukan sama Via lagi. Deal? Nah, sekarang jangan nangis lagi, nanti makin jelek, loh," hiburku.

"Tapi kasihan Apin," ujarnya. Syukurlah dia sudah berhenti menangis.

"Gak papa. Apapun buat Via, ya gak?" katakuku. Via mengangguk.

"Vi," panggilku.

"Hm?" balasnya. Aku ingin menjawab 'suatu hari nanti kamu pasti menjadi milik orang lain', tapi aku tidak berani.

"Pin?" Gantian dia yang memanggilku.

"Hm?" balasku mengikutinya.

"Tadi kamu kenapa manggil aku?" tanyanya. Karena aku ingin memberitahumu itu, ujarku dalam hati.

I Love My Twin [COMPLETED✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang