Part 20

203 17 0
                                    

Kiba langsung menjauh dariku dan air mataku belum berhenti. Shiro mendekati Kiba dan mengangkat kerah baju Kiba.

"Apa yang kamu lakukan pada Mia !" marah Shiro.

"Ha... h, sudah kuduga sangat menyusahkan" kesal ku sambil membersihkan air mataku.

"Aku tidak...." Kiba ketakutan.

"Shiro turunkan Kiba. Dia hanya menghiburku saja. Aku jadi teringat dengan masa laluku. Karena itu aku sedih dan menangis" jelas ku.

"Benarkah ? Seharusnya kamu tidak perlu mengingatnya lagi, Mia" sedih Shiro sambil memeluk ku.

Aku hanya tersenyum. Lalu bersamaan itu, Nico datang membawa buah–buahan. Aku langsung memeriksa buah–buhan tersebut. Setelah makan malam.

"Kita akan menginap disini. Aku akan mencari berkas ayahku tentang Daun Kyu. Sedangkan kalian bertiga, bertugas membereskan rumah" perintah ku.

"Baik boss" serempak mereka.

Aku mulai mencari cara untuk masuk ke ruang bawah tanah milik ayahku.

'Di waktu kecil pintu ini selalu di buka oleh ayahku. Kuncinya adalah sebuah buku di rak ini. Namun, rak ini telalu besar dan telalu lebar. Sangat sulit menemukannya. Apalagi aku tidak tau, tentang berapa tinggi ayah. Yang ku ingat hanyalah, Ayahku mengambil buku itu dengan mudah. Intinya aku tidak lah cocok kalau harus mencari seperti ini. Harus ada yang sama tinggi dengan ayahku' ku lirik ketiga cowok yang asik bekerja.

'Kiba terlalu rendah. Shiro tidak mungkin. Karena terlalu tinggi. Kamu tau siapa yang cocok kan ?' pikir diriku yang satu lagi.

'Aku sudah tau. Kenapa kamu ikut–ikutan ? Tidur sana dan kosongkan perutmu itu !' kesal ku.

'Habis aku bosan' tawanya.

'Kemaren lapar, sekarang bosan. Harusnya kamu diam dan duduk saja !' perintah ku.

Ku dekati mereka bertiga. Ku lambaikan tangan kearah Nico. Nico mengerti dan pergi ke arahku.

"Ada apa Nona Mia ?" Niko sopan.

"Aku mau minta bantuan mu. Tapi, sebelum itu. Bisakah kamu tidak memakai kata Nona ! Aku merasa lebih tua. Padahal umur kita sama. Kalau kamu memakai kata Tuan pada Shiro saja ! Itu memang pantas untuknya" komentar ku.

"Tapi hal itu terlalu sulit. Saya sudah biasa memangil kenalan pangeran dengan pangilan itu" Nico mengelak.

"Kita tidak akan bicara lagi, kalau kamu masih memangil ku seperti itu Nico. Sekarang panggil namaku saja. Biasakan saja" pinta ku.

"Okey, No- bukan Mia ada apa ?" Nico kikuk.

"Aku butuh bantuanmu. Aku kesulitan untuk mencari buku yang menjadi kunci masuk kedalam ruang bawah tanah ayahku. Kamu bisa menolongku untuk mengceknya ?" tanya ku.

"Tentu saja.... Mia" Nico kikuk.

"Memang susah ya ? Tapi biasakan. Oh, ya jangan panggil Kiba dengan sebuatan kiasan. Pakai namanya. Mulai sekarang kita harus merahasiakan identitas kita. Sekalian saja kita pakai nama samaran. Aku takut wanita gila itu berbuat macam–macam" pikir ku.

"Baiklah. Kita mulai saja pengecekannya" semangat Niko.

Kami pun mengcek buku dengan beberapa cara. Pertama dengan jangkauan tangan pada umumnya. Tangan yang mudah mengampai buku.

'Tinggi Niko memang hampir sama seperti ayahku dulu' pikiranku.

'Namun, belum tentu kamu bisa menemukan buku itu' komentar diriku yang lain.

'Ha...h kamu lagi–lagi menggangu' kesal ku

'Aku hanya bosan saja. Sudah ku bilang dari tadi kan ?' kesal nya.

Shiro dan Kiba pergi kearah kami berdua.

"Sedang apa kalian berdua ?" Shiro.

"Aku sedang mencari buku. Buku itu menghubungkan sistem di balik rak ini, ke pintu menuju ruang ayah ku" jelasku singkat.

"Jadi, begitu. Bukankah biasanya hal yang rahasia seperti itu, sangat sulit di ambil ?" Kiba.

"Itu memang benar. Namun, di waktu kecil ayahku sering mengajakku kedalam. Tapi, aku lupa dengan nama buku dan warnanya" jelas ku.

"Kalau begitu kita bisa menyelidikannya" Shiro.

"Aku menemukannya" Niko.

Bersamaan dengan suara Niko. Rak raksasa itu terbelah. Terlihatlah sebuah pintu. Niko mendekatiku.

"Ternyata buku yang menjadi kunci itu adalah sebuah album" jelas Niko.

"Begitu rupanya" senyum ku syahdu.

"Periksa ruangannya besok saja. Setidaknya kita sudah tau di mana kuncinya" Shiro.

"Setuju" serempak kami

Kamipun tidur di ruang tengah. Rasanya sedikit menyedihkan. Ruangan ini adalah tempat dimana aku melihat ayah dan ibu ku mati. Rasanya sangatlah dingin. Aku berjalan menyusuri kegelapan yang abadi. Tak pernah berhenti untuk berjalan. Tidak ada cahaya, namun kaki tetap bergerak. Hanya suara hati yang berteriak dan menangis.

"Aku baik–baik saja ?" suara ku.

"Kau adalah diriku di masa lalu. Lalu apa yang akan kamu lakukan ? Semuanya akan terulang kembali. Cinta yang kamu dapatkan, akan menghilang dalam warna hitam. Tidak akan ada lagi yang bisa menolongmu" suara seorang wanita.

"Aku merindukan mereka.... Namun, apa aku masih bisa bertemu dengan mereka ?" kataku.

"Kau akan hidup dalam kesedihan dan kesakitan selalu seperti itu. Itu adalah hidup mu" suara wanita itu lagi.

"Aku tau kalau ini mimpi" tutur ku.

Tiba–tiba aku berhenti. Akupun terdiam didalam kegelapan.

"Aku tidak mengerti, kalau memang hanya hidup untuk menerima saja. Lalu ! Siapa kah yang akan menerima kebaikanku ? Kalau hanya untuk hidup dalam kegelapan. Lalu  ! untuk apa aku melihat matahari ! Kalau hanya untuk merasakan kesedihan. Lalu ! untuk apa aku merasakan kasih sayang ? Apa hidupku ini ! Hanya untuk menerima saja !" teriak ku dalam kegelapan.

"Kamu..... bukan lah aku" wanita itu lagi.

"Aku bukan lah kamu !" kataku lantang.

"Kita berbeda. Namun, tetap saja sama" serempak kami.

Suara burung membangunkan ku. Aku bangun, pergi ke belakang, sambil mandi dan menganti pakaian. Setelah itu, ku bangun kan yang lain. Mereka bersiap–siap. Sementara aku masuk kedalam ruangan ayah ku.

'Masih sama. Masih berantakan. Woi diriku yang lain. Kamu tau sesuatu ?' pekik ku.

'Tidak. Lagi pula apa untung nya bagiku ?' remeh nya

'Nyebelin' kesal ku

Kuambil buku diatas meja kerja ayahku. Terdapat bayak resep–resep obat. Aku duduk dan memeriksa lembaran–lembaran kertas. Setelah lembaran di meja kucek. Ku ambil buku di lemari dan ku baca.

BERSAMBUNG ...

DEWI KESEDIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang