Jilid 1

13.6K 140 2
                                    

Sejauh mata memandang ke utara dari Pegunungan Ala-san. yang tampak hanjalah pasir belaka, pasir yang kadang-kadang diam mati tak bergerak sama sekali, akan tetapi ada kalanya pasir itu bergerak hidup, berombak seperti air laut mengalun. Inilah padang pasir Go-bi yang luasnya sukar diukur, yang panasnya sudah banyak mematikan para penyeberang yang kurang pengalaman dan yang terkenal sebagai lautan pasir karena memang kadang-kadang apabila angin bertiup, berombak, bergulung-gulung persis lautan, hanya bukan air yang dipermainkan oleh angin, melainkan pasir, pasir halus dan bersih.

Kalau orang sengaja berjaga di tepi laut pasir ini dan memperhatikan, kiranya belum tentu sebulan sekali ia melihat manusia di daerah ini. Apa lagi semenjak pemerintah Goan-tiauw, yaitu kerajaan dari Bangsa Mongol, sudah roboh dan orang-orang Mongol sudah dihalau kembali dl tempat asal mereka, daerah ini jarang dilalui orang.

Akan tetapi pada pagi hari itu, dari afah utara kelihatan dua titik kehitaman yang bergerak ke selatan perlahan-lahan. Setelah dua titik ini makin mendekati perbatasan atau pesisir laut pasir, ternyata bahwa mereka itu adalah dua orang yang menunggang onta yang berbulu kecoklatan. Orang pertama adalah seorang kakek gundul yang berwajah keren gagah berpengaruh. Pakaian dan kepalanya yang gundul itu seperti keadaan seorang hweslo (pendeta Buddha), akan tetapi sikapnya yang keren dan gagang pedang yang tersembul di balik punggungnya menandakan bahwa dia seorang ahli silat atau yang lebih terkenal dengan sebutan orang kang-ouw.

Orang ke dua adalah seorang nona muda seorang dara remaja berusia paling banyak lima belas tahun, cantik manis dengan Sepasang mata yang berseri dan berapi-api. Mata dan bibirnya jelas membayangkan bahwa dia gadis periang yang memandang dunia ini dengan hati lapang, tabah dan penuh semangat kegembiraan. Sepert juga kakek gundul itu, gadis ni membekal pedang yang tergantung di pinggang kirinya.

Hal ini memang tidak mengherankan karena pada waktu itu, pada masa peralihan dari Kerajaan Goan-tiauw yang hancur terganti oleh Kerajaan Beng di mana-mana tidak aman dan orang selalu melakukan perjalanan dengan membawa senjata untuk membela diri. Akan tetapi, melihat cara gadis cilik itu duduk di atas ontanya, mudah saja diduga bahwa seperti kakek itu, gadis inipun memiliki kepandaian ilmu silat.

Agaknya setelah melakukan perjalanan yang jauh, lama, amat sukar dan sengsara menyeberangi lautan pasir itu, kini kakek gundul tadi menjadi gembira melihat pegunungan yang hijau indah terbentang di depan, tanda bahwa mereka sudah akan segera tiba di daratan di mana terdapat pohon dan rumput, terutama sekali air. Kegembiraannya itu diperlihatkan dengan bernyanyi-nyanyi, suaranya keras, nyaring, jenggot dan kumisnya melambai-lambai tertiup angin yang kini tidak ditakutinya lagi karena mereka sudah hampir tiba di darat, akan tetapi kata-kata nyanyiannya itu berbeda dengan sikapnya yang gagah karena kata-kata nyanyiannya adalah sajak-sajak yang sebenarnya merupakan doa-doa dalam kitab Agama Budha.

"Kami ini suara angin mengeluh, merana,
mencari ketenangan damai nan tak kunjung tiba.
ah, bukankah penghidupan di duniapun demikian pula?
Keluh-kesah, tangis, badai, juang, lara...!"

"lihh, kong-kong mengapa menyanyi lagu yang demikian menyedihkan?" Gadis cilik yang kedua pipinya kemerahan karena bakaran matahari itu mencela, hidungnya yang kecil mancung dikernyitkan tanda tak setuju akan nyanyian kakeknya. "Lagu apa sih itu?"

Sungguhpun kata-kata nyanyian itu menyedihkan, namun kakek itu tidak kelihatan sedih, bahkan nampak bersemangat. Dia tertawa lebar mendengar pertanyaan cucunya.

"Lee Ing, ini namanya lagu NYANYI ANGIN," jawabnya lalu melanjutkan nyanyiannya dengan suara lebih keras lagi sehingga terdengar janggal di tempat yang amat sunyi itu.

"Dari mana dan untuk apa kita diadakan?
Kita tak dapat memberi jawaban,
kami dan kalian ini Sama saja,
apa artinya semua kesusahan kita?
Apa pula artinya semua kesenangan kita?
Bahkan cinta kasihpun tidak kekal
adanya Jalan hidup bagaikan angin lalu belaka
Sebentar bertiup, segera hilang pula!"

Pusaka Gua Siluman - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang