Jilid 20

3K 49 0
                                    

Kalau perlu nyawanya boleh menjadi korban atau penebus. Dalam tugas yang ia Hadapi sekarang ini, bukan sekali-kali ia menjadi pembela keluarga Ciong karena penasaran pribadi, melainkan ia menganggapnya sebagai kelanjutan tugasnya terhadap Tiong-gi-pai dan karenanya juga tugas terhadap rakyat, terhadap cita-cita orang gagah pembela rakyat. Ciong Thai sudah menyanggupinya untuk kelak membantu pergerakan Tiong-gi-pai mengabdi raja muda di utara dan sebagai balas jasa, sudah sepatutnya kalau ia berjuang mencarikan obat bagi mereka. Han Sin melangkah maju menghadapi kakek she Bu itu, sikapnya hormat akan tetapi sepasang mata yang tajam itu menyinarkan cahaya penuh ketabahan dan kejujuran.

"Bu-locianpwe, modal seorang pejuang adalah kejujuran, kenekatan dan keyakinan. Jujur dalam membela kewajibannya dan yakin akan kebenaran apa yang diperjuangkannya. Aku yang bodoh tidak memiliki kepandaian dan tentu saja tidak mungkin sekali aku dapat minta obat dari locianpwe mengandalkan ilmu pukulan. Akan tetapi aku mempunyai tiga syarat itu. maka aku tidak mundur sebelum locianpwe mempertimbangkan permintaanku untuk menolong nyawa keluarga Ciong."

Bu Kam Ki tersenyum dan ia mulai kagum melihat pemuda itu. "Lihat, Siang-ji, beginilah aku ketika muda! He, orang muda, memang pendirian orang berbeda-beda. Akan tetapi seorang gagah memang tidak akan mundur untuk memegang teguh pendiriannya. Kau gagah dan berani, juga patut menjadi seorang pejuang. Sayang kau masih terlampau hijau, kurang pandai membedakan mana hijau mana merah, mana hitam mana putih. Biarpun sikapmu ini kuanggap gagah, tetap saja kau buta kalau hendak membela Ciong Thai dan mengajaknya bersekutu. Aku tetap kepada pendirianku, asal kau atau suruhan Ciong Thai sanggup mengalahkan aku dengan ilmu pukulan, dengan suka rela aku menyerahkan obat dan akan menghabiskan semua perkara."

"Kalau begitu, maafkan aku yang muda berlaku kurang ajar. Tentu saja aku bukan tandingan iocianpwe, akan tetapi menang atau kalah adalah hal yang sewajarnya, seperti mati atau hidup. Bagiku yang terpenting adalah kebenaran!" Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak takut, pemuda ini mencabut keluar kipas dan pitnya, sepasang senjata yang amat ia andalkan sebagai warisan gurunya.

Untuk kedua kalinya Lee Ing memandang kagum. Pemuda ini benar-benar hebat. Gagah berani dan bersemangat baja. Seorang jantan yang jarang tandingannya. Juga Bu Kam Ki kagum bukan main. Dia sendiri dahulunya seorang pejuang yang gigih membela rakyat yang ditindas oleh penjajah, sekarang melihat seorang pemuda seperti Han Sin, tentu saja hatinya tergerak dan diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan Lai Seng yang telah tewas, kalau saja anaknya bisa menjadi isteri pemuda seperti ini atau lebih tepat lagi, Kalau saja ia bisa mempunyai seorang mantu seperti Han Sin!

"Orang muda, sebelum aku melayanimu, hendak aku bertanya. Kalau aku kalah dalam pertandingan ini, sudah tentu obat kuberikan. Akan tetapi bagaimana kalau kau yang kalah?"

"Kalau aku kalah, tiada jalan lain aku akan kembali kepada keluarga Ciong dan menyatakan terus terang akan kegagalanku. Betapapun juga, asal tugas sudah kulakukan dan kalau perlu kubela dengan nyawa, bagiku sudah cukup. Akan tetapi menyuruh aku kembali sebelum berusaha sedapatku, tak mungkin aku mau melakukannya," jawab Han Sin.

Tiba-tiba Bu Lee Siang yang sejak tadi mendengarkan saja percakapan antara ayahnya dan pemuda ganteng itu, menjadi tak sabar dan melompat maju.
"Bocah sombong! Kalau mau menjual kepandaian majulah siapa sih takut padamu?"

"Lee Siang, mundurlah," ayahnya menegur, "Liem-sicu ini hatinya demikian baiknya sampai mau menolong keluarga Ciong. Eh, orang muda, Ciong Thai menjanjikan untuk kelak membantu Tiong-gi-pai dan kau membalas jasanya dengan mati-matian minta obat dariku. Kalau sekarang aku dengan suka hati memberikan obat itu kepadamu, kemudian akupun minta balas jasa, maukah kau menolongku pula?"

Wajah kakek ini berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat cerdik, agaknya ada pikiran yang amat baik memasuki otaknya. Liem Han Sin menjura dan menjawab, suaranya sungguh-sungguh, "Bu-locianpwe, mengingat dan membalas budi adalah satu di antara kewajiban-kewajiban seorang kuncu (budiman). Biarpun aku tidak berani mengaku seorang baik, namun setidaknya aku selalu berusaha mengikuti jejak orang-orang baik. Kalau locianpwe sudi mengalah dan menolongku memberikan obat itu, sudah tentu aku bersedia untuk melakukan apa saja untuk membalas kebaikan locianpwe."

Pusaka Gua Siluman - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang