Jilid 16

3.6K 50 0
                                    

Sebelum sempat menjawab. Lui Siu Nio-nio melihat gadis itu berkelebat pergi dan lenyap dari situ dengan gerakan yang sukar dipercaya cepatnya. Ia hanya bisa menarik napas dan menggendong lagi khimnya yang sudah rusak senarnya, berkali-kali menarik napas panjang lagi sambil berkata seorang diri.

"Dunia sudah berobah banyak. Ada bocah berkepandaian sehebat itu sampai aku tidak tahu. Kalau tidak karena Lee Nio, setelah pertemuanku dengan Can-suheng dan kekalahanku dari bocah ini, tentu aku lebih baik bersembunyi di Ta-pie-san." Kembali ia menarik napas panjang dan berlalu dari situ dengan langkah perlahan, kepala tunduk, kening berkerut, sikap seorang wanita yang kecewa, putus asa, dan sudah mulai tua.

Adapun Lee Ing yang pergi meninggalkan tempat itu, tentu akan langsung menyusui ayahnya ke Peking utara kalau saja ia tidak teringat bahwa akan diadakan pibu antara fihak Tiong-gi-pai dan fihak Auwyang-taijin, dan ia tahu bahwa dalam pibu itu tentu Siok Ho akan maju menjadi jago. Ia tidak tega meninggalkan pemuda itu menjadi jago menghadapi orang-orangnya Auwyang-taijin yang ia tahu banyak yang lihai dan keji. Kalau saja tidak ada pemuda ini, kiranya Lee Ing sudah pergi menyusul ayahnya. Akan tetapi bayangan Siok Ho selalu tak terlupakan olehnya, dan ia benar-benar merasa khawatir kalau pemuda itu akan mendapat celaka dalam pibu. Maka ia menunda kepergiannya mencari ayahnya untuk menonton pibu itu lebih dulu. Cinta telah mencengkeram hati Lee Ing.

Cinta pertama yang penuh keanehan bagi Lee Ing, karena gadis itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya, yaitu dengan perasaan hatinya. Ia tidak mengerti apakah ia mencinta pemuda Siok Ho yang tampan, peramah dan gagah itu. Hanya ia tahu bahwa bayangan pemuda itu tak pernah lenyap dari ingatannya, bahwa setiap kali ia mengenangnya mukanya terasa panas karena malu dan jengah, dan berbareng hatinya merasa bungah dan berdebar aneh. Akan tetapi yang sudah jelas baginya, hatinya tidak merelakan pemuda itu terancam bahaya!

Lian-bu-kwan adalah sebuah gedung megah yang sengaja didirikan oleh Menteri Auwyang Peng dan tentu saja mendapat persetujuan kaisar yang memang suka akan kegagahan dan ilmu silat. Tadinya Auwyang Peng mendirikan gedung megah ini dengan alasan untuk memajukan ilmu silat dan memelihara perkembangan ilmu menjaga diri nasional ini. Akan tetapi akhirnya gedung itu ternyata dipergunakan untuk markas para kaki tangannya, yang dikumpulkan dengan maksud mengganyang semua musuh-musuh durna itu, di antaranya Tiong-gi-pai.

Di gedung inilah diadakan pertemuan-pertemuan, perundingan dan latihan-latihan. Di gedung ini pula para musuh diundang untuk diajak pibu, dan entah sudah berapa banyak musuh yang tewas dalam pibu di gedung ini. Oleh karena biarpun dari luar kelihatan mentereng dan megah, di sebelah dalamnya Lian-bu-kwan ini nampak serem dan angker, seperti rumah-rumah jagal.

Gedung itu terdiri dari empat buah kamar yang mengurung sebuah ruangan kosong yang amat luas. Di tengah ruangan ini terdapat sebuah panggung yang biasa dipergunakan untuk adu kepandaian silat, tingginya hanya satu meter. 

Di sekeliling panggung ini disediakan bangku-bangku untuk tempat duduk para penonton atau rombongan-rombongan dari kedua fihak. Pilar-pilar yang terdapat di ruangan itu diukir indah, ukiran liong (naga) dan hiasan lain yang terdapat hanyalah lampu-lampu gantung dan tirai-tirai sutera. Di pojok disediakan sebuah rak tempat menaruh senjata di mana terdapat delapan belas macam senjata dalam jumlah yang cukup banyak.

Pada hari itu, pagi-pagi sekali Lian-bu-kwan sudah penuh orang. Kaki tangan Auwyang-taijin sudah sibuk mengatur segala sesuatu untuk keperluan pibu. Bangku-bangku sudah dibersihkan dan berturut-turut datang jago-jago dari kota raja seperti Toat-beng-pian Mo Hun, Ma-thouw Koai-tung Kui Ek. Manimoko, Yokuto, dan beberapa orang panglima komandan pengawal. Paling akhir datanglah Menteri Auwyang Peng sendiri, dikawal oleh puteranya, Auwyang Tek yang berjalan dengan penuh lagak, dan Tok-ong Kai Song Cinjin hwesio Tibet yang merupakan orang nomor satu dalam barisan jago-jago yang dipergunakan Auwyang Peng. Mereka lalu mengambil tempat duduk di sebelah kanan panggung luitai, di baris depan duduk Auwyang-taijin sendiri bersama Kai Song Cinjin, Auwyang Tek, dan Toat-beng-pian Mo Hun, di belakang Mo Hun duduk Ma-thouw Koai-tung Kui Ek, dua orang jago Jepang dan para panglima lain.

Pusaka Gua Siluman - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang