[PART 3] There Is No Way Back

332 50 0
                                    

Lebih bagus kalau mulmednya didengerin yes 😂

Alea tahu papanya benar. Dia mungkin sudah gila. Tapi setelah beberapa hari Riana gagal mempertemukannya dengan Alvin, Alea nekat datang ke kantor Kevin. Andrew bilang Kevin tidak mengizinkan Alvin datang sendirian ke rumah mereka dan lebih memilih Andrew yang datang ke rumah Kevin jika ingin bermain dengan Alvin. See? Dia kembali menyadari, selain papanya, mamanya juga benar. Kemungkinan terburuknya adalah Kevin akan mengirim Alvin keluar negeri. Maka sebelum hal itu terjadi, Alea harus melakukan sesuatu.

"Bapak Kevin?" Front officer berparas cantik itu tersenyum meski sorot matanya menyiratkan keraguan. "Tapi dalam catatan kami, untuk hari ini tidak ada janji temu dengan ibu..."

"Alea." Alea mengulang namanya.

"... Ibu Alea. Disini..." Ia kembali membuka buku catatannya. "Maaf tidak ada." Ia terlihat merasa bersalah namun tetap menampilkan senyuman profesional.

"Tolonglah. Saya benar-benar harus bertemu..."

"Maaf, ibu. Tidak bisa ya. Jadwal pak Kevin banyak sekali. Jadi kami tidak bisa begitu saja menerima orang lain yang tidak ada didalam pemberitahuan."

Alea menghela napas. Ia sangat ingin mengomel. Tapi ia memahami ini hanyalah bagian dari tugas FO dan mereka hanya menerima perintah dari atasannya. Alea mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih ia meninggalkan meja FO itu dengan perasaan campur aduk. Dimana ia bisa menemui Kevin? Dimana alamat rumahnya? Atau... Haruskah ia menunggu Kevin keluar kantor?

***

"Jadi kamu kapan mau ajak Alvin pulang?"

Kevin memindahkan ponselnya ketelinga kiri. "Nanti ya, ma... Masih sibuk. Alvin belum ada libur juga."

"Ya datang Jumat sore kan bisa. Toh Alvin Sabtunya libur. Minggu sudah bisa balik lagi. Surabaya ke Sidoarjo itu dekat, Vin... Ndak sampai satu jam loh."

Kevin diam. Dia bukannya tak ingin memenuhi keinginan ibu dan juga ayahnya membawa Alvin ke Sidoarjo. Seperti yang dikatakan ibunya. Surabaya-Sidoarjo bahkan hanya membutuhkan waktu beberapa puluh menit saja. Tapi keengganan itu selalu ada. Mengingat mamanya selalu merecoki pikiran Alvin tentang dirinya yang tidak mau memberikan Alvin seorang ibu.

"Kevin takut Alvin kecapekan, ma. Kalau dia merengek-rengek kan Kevin juga yang bingung sendiri."

"Ah, alasanmu saja. Alvin itu bukan anak yang suka merengek. Seminggu tinggal sama mama dia justru pinter dan dewasa untuk usianya. Kamu jangan menjadikan anakmu alasan dong. Kalau kamu ndak mau kemari ya kirimkan saja Alvin. Mama kangen cucu mama."

"Ma..."

"Lagipula apa kamu ndak bosen begitu terus? Mau sampai kapan kamu menghindari mama hanya karena kami menanyakan kapan kamu mau menikah lagi. Kevin, mama ndak pernah bermaksud mencampuri urusan kamu... Tapi kamu harus pikirkan juga Alvin."

"Selama enam tahun, Kevin bisa menjaga Alvin dan membesarkannya, ma..."

"Kamu pikir dia ndak butuh ibu? Meskipun dia diam begitu, dia pasti pernah to bicara soal ibu dan bapak yang lengkap? Mau sampai kapan? Kalau memang kamu sudah move on dari ibunya, kamu harusnya sudah menikah. Lagipula pernikahanmu dengan istrimu itu kan ndak terdaftar to di pengadilan agama? Ini sudah bertahun-tahun, Vin.... Mama ndak tega lihat kamu begitu. Duh Gusti...."

"Ma, please, belum menikah lagi bukan berarti belum move on." Kevin mulai gusar. Tapi ia tak mungkin menutup teleponnya secara sepihak.

"Kamu sebaiknya menganggap pernikahan kalian sudah berakhir, Vin. Mama ndak kuat melihat kamu tersiksa begitu. Mama paham dulu kamu merasa bersalah sama dia. Tapi kamu sudah menebusnya, Vin. Sudah cukup. Sekarang, kamu atur waktumu pulang ke Sidoarjo ya... Mama kenalin kamu sama anak dari teman ieiemu di Krian. Dia cantik dan cukup matang. Dia pasti mau dan bisa menerima Alvin."

"Cukup, ma!" Kevin tanpa sadar membentak ibunya. "Maaf, ma... Tapi tolong, jangan bahas ini. Buat Kevin, Alvin saja sudah cukup. Sudah ya... Nanti Kevin hubungi kalau waktunya luang." Ia segera mematikan sambungan telepon dan menonaktifkan ponselnya.

Kevin tahu siapa yang dimaksud ibunya. Wanita itu bernama Vania. Anak dari rekan bisnis tante Lin, adik ibunya. Tahun lalu, tante Lin pernah menyinggung hal yang sama saat Kevin pulang untuk peringatan pernikahan kedua orangtuanya. Ia mendesah berat. Sebenarnya apa yang kamu cari, Vin? Tanya hatinya.

***

Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Alea percaya hal itu. Terlebih saat ia akhirnya melihat pria yang ia yakini sebagai Kevin Hamidjoyo melangkah keluar dari pintu kaca otomatis setelah tiga jamnya yang membosankan. Alea berlari dengan cepat meninggalkan emperan pos jaga yang tadi ia duduki. Setelah tinggal beberapa meter, mendadak Alea merasa ragu. Apakah ini benar? Harus bagaimana ia bicara? Mulai dari mana? Apakah menyapa dulu? Dengan embel-embel apa ia memanggil pria itu? Pak? Mas? Kakak? Langkahnya surut. Namun sialnya, Kevin Hamidjoyo sudah terlanjur melihatnya saat pria itu berbalik.

Sekian detik yang menyita oksigen dalam paru-parunya. Saat Alea telah menemukan kembali ritme tarikan napasnya, ia melihat sebuah mobil meluncur mendekati Kevin. Tidak. Dia harus bicara sebelum pria itu pergi. Kevin berpura-pura tak mengenali Alea. Ia membuang pandangannya kearah mobil yang datang. Atau.... Dia memang sudah lupa?

"Kevin...." Alea bersumpah demi hidupnya, ia bisa melihat keterkejutan dalam sorot mata pria itu. Dan ia mengagumi ketenangan Kevin dalam mengabaikannya. "Masih ingat aku, kan?" Ia mengutuk langkah sialannya dan juga mulutnya yang lancang tanpa pertimbangan lebih jauh.

"Oh..." Kevin memandanginya dari atas sampai bawah, dari bawah sampai atas lagi. "Saya ingat. Ada apa ya? Apa masih ada urusan yang belum selesai diantara kita? Saya tidak ingin berbasa-basi. Dan saya tahu dulu saya melakukan kesalahan pada anda. Tapi saya rasa bentuk tanggung-jawab saya sudah cukup. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"

God!!! Alea bungkam. Untuk sesaat, ia menyesali keputusannya menemui pria ini. "Ada beberapa hal yang harus kita omongin, tapi gak disini?"

"Hal... Apa?" Kening pria itu berkerut. "Saya buru-buru dan harus menjemput putra saya."

"Banyak, Kevin. Banyak! Dan... Bisa gak cara ngomong kamu biasa aja?"

Alea gerah sendiri. Dulu, dia memang akan bicara sangat kaku pada pria ini. Tapi dia lelah. Ia merasa kosakata baku untuk Indonesianya sedikit memburuk selama ia tinggal diluar negeri. Dia terbiasa berkomunikasi dengan teman-temannya di Indonesia dengan bahasa nonformal. Tidak ada orang sejenis Kevin diantara teman-temannya itu.

"Maaf, lain kali saja." Kevin mengangguk sopan dan bergerak saat supirnya membuka pintu mobil.

Alea bergerak cepat. Setengah berlari ke pintu sebelah dan membukanya lalu masuk dengan cuek. Dia nekat. Dia cari mati! Ya! Alea mengenali itu dari tatapan Kevin. "Kita masih punya banyak urusan. Kamu mau jemput Alvin, kan? Aku ikut."

***

"Apa kita akan terus berdebat, Kevin?" Alea mulai pusing. "Anak itu anakku, sudah jelas." Mereka berdebat ditepi jalan setelah Kevin memerintahkan supirnya berhenti dan menarik Alea keluar.

"Anda tidak melihat jika dia mirip saya?"

Anda mulutmu... Aduh untung ganteng aja kamu, Vin.

"Aku Alea, bukan anda!" Bentaknya kesal. "Pakai kamu kek."

"Anak yang kamu sebut-sebut itu sudah mati. Ibunya meninggalkan dia sebelum dia sempat menyusu." Tatapan Kevin begitu dingin. "Alvin adalah putra saya dengan perempuan lain. Jadi kubur saja mimpimu untuk bisa ikut merawatnya!"

"Kamu bohong kan?"

Kevin tak menjawab. Ia berbalik dan melangkah tanpa mempedulikan Alea.

"Kevin!" Alea menahan lengan lelaki itu sebelum ia kembali ke mobil. "Please... Aku tau aku salah. Jangan gini, please...."

"Kamu tidak mengerti juga ya? Alvin-bukan-lagi-anakmu-sejak-kamu-meninggalkannya. Ingat itu baik-baik, Alea."

Kevin melangkah lebar-lebar, masuk ke mobil dan menutup pintunya dengan satu bantingan keras. Ia tidak akan membiarkan Alea menemui putranya lagi. Sementara Alea yang terperangah bahkan tak menyadari jika ia sudah ditinggalkan ditempat asing dibawah terik matahari. Apakah sakit hati merubah orang? Kevin yang tadi bukanlah Kevin yang dulu selalu bersikap baik padanya. Alea menangis.

IT HAS TO BE YOU《JACKSON YI》ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang