32. Pertandingan Babak Ketiga

3.5K 49 1
                                    

Kedua orang dara itu lantas menyahut dan maju kedepan. Liem Tou lantas memberi pesan beberapa patah kata kepadanya akhirnya si gadis cantik pengangon kambing mengundurkan diri ke samping ayahnya untuk melindungi keselamatan dari Lie Loo jie sedangkan Lie Siauw Ie bertindak sebagat saksi.

Lie Siauw Ie serta si gadis cantik pengangon kambing yang mendengar Tbian Pian siauw cu hendak menggunakan cara ini untuk bertanding dalam hati merasa amat kuatir sekali buat diri Liem Tou, air muka mereka berubah semakin tegang. pertandingan yang berada diluar ilmnu silat ini siapa pun tiada yang merasa punya pegangan untuk memenangkannya.

Padahal Thian Pian Siauw cu sendiripun tidak punya pegangan yang kuat untuk menangkan pertandingan ini, cuma saja dia yang mengerti babak kedua pasti akan menemui kekalahan lantas memikirkan sstu cara, yang unik bersamaan pula diapun sudah menang satu kali sekalipun babak ini menemui kekalahan di tangan Liem Tou dia masih punya satu kesempatan terakhir untuk menangkan Liem Tou, karenanya dia tidak merasa begitu tegang seperti diri Liem Tou.

Tangannya segera digape, mendadak dari sisi puncak meloncat keluar seorang bocab cilik berbaju putih yang meloncat ke samping Liem Tou dan Siauw Ie. Bocah cilik ini juga bertindak pula sebagai saksi.
Lie Loo jie sendiripun merasa keringat dingin mulai mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya. Walaupun dia terluka tetapi dengan paksakan diri berdiri juga untuk menonton pertandingan itu.

Pertandingan dimulai dengan Thian Pian siauw cu yang menyambit semua orang melihat dia mencocokkan tempat serta tenaganya dahulu kemudian dengan menimbulkan desiran yang amat keras batunya dengan sangat tepat sekali melayang sejauh dua ratus tindak.

Dia merasa amat puas sekali dengan hasil yang didapatkan ini, dengan pandangan mengejek dia memperhatikan diri Liem Tou lalu tertawa dengan kerasnya.
Haaa . . . haaa . . . sekarang giliranmu serunya
Dengan termangu mangu Liem Tou memandang batu sebesar kepalan yang ada ditangannya dia merasa tidak punya pegangan untuk menangkan diri Thian Pian siauw cu, tetapi lemparan ini akan menentukan nasib selanjutnya.
Liem Tou benar benar merasa amat tegang keningnya sudah penuh dibasahi oleh peluh yang menetes keluar dengan amat derasnya, sewaktu dia hendak melemparkan batunya itulah tiba tiba . . . .
' Tahan!" terdengar Lie Loo jie membentak keras.
Setelah itu dengan langkah yang sempoyongan dia berjalan mendekati diri Lem Tou.
"Sutit, hatimu merasa tegang pikiran tidak tenang. bagaimana bisa lemrar jauh batu ini ?" tegurnya. "Ingat ! menyambit batu adalah menggantungkan tenaga dari jari, pergelangan tangan, pinggang serta kaki lalu bersama sama mendorong ke depan, kalau tidak begitu kau bakal kalah, oleh karena itu pikiran barus tenang hati harus mantap sehingga dengan demikian baru bisa menangkan pertandingan babak ini."
Karena lukanya belum sembuh dan sekarang dia harus banyak berbicara napas dari Lie Loo jie jadi tersengal sengal, dengan perlaban dia mengundurkan diri dua langkah ke belakang.
"Ingat! Pantangan yang penting hati tak boleh tegang !" peringatnya.
Agaknya Thian Pian siauw cu sudah merasa tidak sabaran lagi, dia segera lertawa dingin tiada hentinya.
"Lie Sang, kedahsyatan tenaga dalam Liem Tou apa perlu kau ajari lagi ?" ejeknya.

"Ke Hong, kau bangsat berhati licik apa ini yang disebut pertandingan tenaga pukulan?" Balas ejek Lie Loo jie sambil tertawa dingin. "Bilamana sungguh sungguh mengadu tenaga pukulan, cukup satu setengah jurus saja sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawamu"
Thian Pian Siauw cu tidak suka beribut lagi dengan Lie Loo jie. dia segera menoleh dan memandang ke arah Liem Tou yang siap siap hendak menyambitkan batunya.
Liem Tou ternyata menurut saja apa yang sudah dinasehatkan oleh Lie Loo jie pikiran nya segera dipusatkan hawa murninya disalurkan ke seluruh badan lalu dikerahkan ke arah jari tangan kanannya serta pergelangan tangannya.
Seluruh jalan darah maupun urat urat nadi penghalang tubuhnya sudah berhasil ditembusi, sudah tentu hawa murninya dengan amat lancar sakali berhasil disalurkan ke arah pinggang serta kakinya.
Setelah pikirannya berhasil ditenangkan, hawa murninya disalurkan keseluruh tubuh kemantapan hatinya semakin bertambah, rasa tegang yang semula meliputi hatinyapun jadi lenyap tak berbekas Mendadak „. . . !
"Enci Ie, lihat baik baik 1" teriaknya keras.
Tubuhnya maju dua langkah ke depan pinggangnya sedikit ditekuk tangannya diayunkan ke depan.
Sreeet . . . dengan disertai suara desiran yang amat tajam batu itu bagaikan berkelebatnya sinar kilat dengan cepatnya meluncur ke depan.
Hanya dalam sekejap saja batu itu sudah melampaui batas dari Thian Pian siauw cu dan jatuh beberapa puluh kali di depannya.
Lie Siauw Ie yang melihat kejadian ini saking girangnya lalu berteriak teriak:
Akh . . . adik Tou kau menang . „ . . kau menang teriaknya keras.
Semangat Lie Loo jien pun berkobar kemboali, karena hatinya lega badanpun tak kuasa lagi jatuh terduduk kembali ke atas tanah
Liem Tou sendirpun segera menghembuskan napas panjang, keringat yang membasahi keningnya setetes demi setetes meluncur keluar hagaikan curahan hujan. membuat seluruh pakaiannya jadi basah kuyup.
Dengan kemenangan ini ketegangan yang mencekam seluruh hati Liem Tou pun jadi buyar dia lalu menoleh memandang kearah Thian Pian siauw cu yang lagi berdiri termangu manggu.
Wajahnya kelihatan amat kesal, kini tinggal satu babak saja. bila dia menang masih tidak mengapa, bila kalah . . .
Untuk pertama kalinya pada ujung bibir Liem Tou tersungging satu senyuman.
Ke siauw cu sekarang menang kalah sudah seimbang, dan kini aku ingin menjajal barisan burung terkutukmu itu ujarnya sambil tertawa.
Heee .... heee .... baik kau jangan memandang rendah burung burung eangku. me reka bisa menghancurkao selurub tubuhmu hingga koyak koyak Teriak Thian Pian siauw cu sambil tertawa dingin.
Saat ini semangat dari Liem Ton sudah berkobar kobar mendengar perkataan itu dia lantas tertawa terbahak bahak dengan amat nyaringnya. Haaa . . . haaa . . . Ke siauw cu. aku lihat binatang binatang berbulu itu semuanya panya sifat ganas dan buas, aku mau tinggali seekor saja untuk kau bawa pulang.
Mendadak pikiran licik kembali berkelebat di dalam benak Thian Pian Siauw cu denggan meminjam kesempatan inilah dia kepingin mencari kemenangan di dalam babak yang terakhir ini.
Bagus sekali, kita putuskan demikian saja, bentaknya dengan suara yang keras. Bilamana kawanan burung elang itu kau basmi sehingga ketinggalan seekor saja maka angaap saja aku yang kalah sejak ini hari Thian Piaa siauw cu tidak bakal muncul kembali di dalam Bu lim, bilamaaa masih ada seekor saja yang berhasil terbang di angkasa maka kaulah yang bakal kalah.
Begitu perkataan tersebut diucapkan keluar. Lie Loo jie. Lie Siauw Ie maupun si gadis cantik pengangon kambing jadi merasa terkejut.

Raja Silat (Yu Long Yin Feng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang