Jilid 39 : Sin Beng Kauw Dipimpin oleh Sun Ci Sie

3.7K 41 1
                                    

Wajah yang penuh dihiasi senyuman itu semakin kelihatan bertambah cantik. Belum sampai di hadapan Boe Beng Tok-su serta Pouw Siauw Ling mereka berdua sudah merasakan segulung bau yang amat harum menusuk hidungnya.

Pouw Siauw Ling begitu mencium bau harum itu seperti orang mabok saja, dengan hati kacau mulai menggerakkan kakinya menyambut datangnya perempuan tersebut.
Mendadak terdengarlah Boe Beng Tok-su mendengus dingin; dengan nada yang amat dingin bagaikan es bentaknya;
"Dengan malam yang sunyi ini apalagi kita tidak pernah saling berkenalan buat apa nona mengganggu kami? Lebih baik kau pulang saja ke rumah, kami masih ada urusan penting yang harus diselesaikan; terima kasih atas kebaikanmu itu."

Sehabis berkata dia lantas menarik tangan Pouw Siauw Ling dan mengundurkan diri sejauh beberapa kaki, di dalam hatinya kembali berkelebat berpuluh-puluh pikiran membingungkan, pikirnya:
"Sungguh aneh sekali, di tengah malam buta seperti ini apalagi di tempat yang begini sunyi, bagaimana mungkiu bisa muncul seorang gadis cantik yang usianya delapan, sembilan belas tahunan. Hal ini benar-benar merupakan satu peristiwa yang belum pernah aku alami."

Mendadak ia teringat kembali akan mayat dari Hek Loo jie dari Siok to Siang Mo serta Loo toa dari Heng San Jie Yu yang berada di sungai dalam keadaan telanjang bulat, walaupun dia sendiri adalah seorang iblis pembunuh manusia tanpa berkedip tidak urung hatinya rada bergidik juga. Rasa curiganya terhadap gadis berbaju putih yang ada di hadapannya ini semakin tebal.

Sewaktu dia menoleh dan melihat sikap dari Pouw Siauw Ling yang kesemsem sehingga tak sadarkan diri bahkan sampai saat ini masih melototi gadis berbaju putih itu terus dengan pandangan terpesona, dengan cepat dia berjalan mendekat dan menepuk pundaknya dengan keras.
"Pouw Siang cu, ayo cepat lanjutkan perjalanan; waktu tak panjang lagi," serunya keras.
Pouw Siauw Ling yang kena ditabok oleh Boe Beng Tok su ini segera jadi sadar kembali, hatinya pun merasa amat malu.
"Baik, kita pergi saja!" serunya kemudian dengan rasa penuh penyesalan.
Selesai berkata dengan langkah lebar mereka berdua segera menerjang ke depan.
Siapa tahu mendadak gadis berbaju putih itu mementangkan sepasang tangannya merintangi jalan pergi dari mereka berdua.
"Heee... heee... kalian berdua sudah lewat pintu rumahku tanpa mampir, bukankah sama saja dengan tidak memandang sebelah mata pun kepadaku!?" teriaknya sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Lebih baik kalian berdua jangan pergi dulu, tapi minumlah secawan air teh !"
Sewaktu berbicara seluruh tubuhnya ikut bergoyang terutama anggauta terlarangnya itu turut menggetar amat keras, membuat setiap orang yang melihat pasti merasa napsu birahinya terangsang.
Pouw Siauw Ling yang dasarnya memang seorang yang gemar akan pipi licin mana kuat menahan godaan tersebut? Napsu birahi mulai berkobar di hatinya.
"Kauw cu!" ujarnya kemudian kepada Boe Beng Tok su. 'Mari kita ikuti saja permintaannya untuk minum air tehnya dulu. Hanya duduk-duduk sebentar, bukannya tak mengapa?"
Terhadap diri Pouw Siauw Ling agaknya Boe Beng Tok su memang sudah rada murka, kini melihat dia orang tidak suka mendengarkan perintahnya dia jadi semakin gusar.
"Pouw sian cu! Apa maksud perkataanmu itu?" bentaknya keras"Di tengah malam buta, bagaimana mungkin bisa muncul seorang gadis cantik di tengah kuil yang sunyi? Bukankah kau sudah melihat mayat..."
Sebetulnya dia ingin mengungkap soal ditemuinya mayat di tepi sungai untuk, menyadarkan Pouw Siauw Ling, tetapi kembali satu ingatan berkelebat di hatinya, perkataan yang hendak diucapkan pun dibatalkan kembali.
Pouw Siauw Ling yang mendengar perkataan terakhir dari Boe Beng Tok su ini pikirannya jernih kembali, saking terperanjatnya keringat dingin mulai mengucur deras keluar membasahi wajahnya.
Lama sekali dia termenung kemudian dengan hormatnya menjura ke arah perempuan berbaju putih itu.
"Cayhe hanya sedang lewat saja di tenpat ini, dengan nona pun sama sekali tidak kenal, apakah kiranya nona sudi memberitahukan namamu agar di kemudian hari kalau ada waktu cayhe akan datang menyambangi?" tanyanya.
Gadis berbaju putih itu rada tertegun setelah mendengar perkataan tersebut, tetapi sebentar kemudian sudah tertawa kembali.
"Kau si manusia goblok! Aku adalah seorang gadis yang tinggal di dalam kuil seorang diri, buat apa kau tanya nama segala?"
Sehabis berkata dengan menggunakan sepasang biji matanya yang jeli dia mengerling sekejap ke arah Boe Beng Tok su lalu tertawa.
Tetapi sebentar kemudian senyuman yang semula menghiasi bibirnya kembali lenyap tidak berbekas berganti dengan wajah yang sangat serius, ujarnya;
"Terus terang saja aku beritahukan kepada saudara berdua; siauwli sendiri tahu perbuatanku menghalangi perjalanan orang di tengah malam buta adalah suatu perbuatan yang memalukan sekali, tetapi hal ini terpaksa harus aku lakukan. Dan sebetulnya siauw li adalah penduduk daerah Sam Siang yang hidupku bergantung dari menjual silat dengan ayah, tak disangka sewaktu melakukan perjalanan melewati tempat ini, ayahku menderita sakit dan tidak bisa bangun lagi, terpaksa kami meminjam pondokan kuil ini untuk merawat sakit. Untuk makan sehari tiga kali serta membeli obat buat ayah, uang kami akhirnya habis juga. Bilamana kalian suka membantu . . ."
Bicara sampai di sini tidak tertahan lagi dia melelehkan air mata dan menangis dengan amat sedihnya, hanya di dalam sekejap saja seorang gadis genit dan merangsang sudah berubah menjadi manusia penuh air mata, keadaannya pada saat ini benar-benar menyedihkan.
Boe Beng Tok su yang mendengar kisahnya itu walaupun di luarnya masih mendengus dingin tapi rasa gusar yang berkecamuk di hatinya pun sudah rada tenang beberapa bagian.
Sebaliknya Pouw Siang Ling yang mendengar perkataan ini jadi amat girang, dengan nada penuh kegembiraan ujarnya kepada Boe Beng Tok su:
"Kau w cu! Coba kau dengar, kiranya dia adalah seorang perempuan miskin yang patut dikasihani. Marilah kita masuk ke dalam untuk melihat-lihat sebentar. Ada kemungkinan dia memang sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan kita."
"Pouw siangcu! kalau kau hendak pergi, pergilah sendiri. Aku tidak punya banyak waktu lagi untuk ikut mengurusi urusan tetek bengek!" ujar Boe Beng Tok su kheki.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambil mendengus dingin sambungnya:
"Kalau kau orang memang bermaksud untuk menolong dirinya, kenapa tidak lemparkan saja sekeping uang perak? Kita masih ada urusan penting yang harus diselesaikan secepat mungkin. Jangan dikarenakan dirinya kau sudah menyia-nyiakan waktu yang berharga."
Pouw Siauw Ling yang melihat Boe Beng Tok su benar-benar dibuat gusar oleh perbuatannya sendiri tidak berani banyak tingkah lagi maka dari dalam sakunya segera mengambil keluar sekeping uang perak dan dilemparkan kepada gadis berbaju putih itu.
Dengan sebatnya gadis berbaju putih itu menerima uang perak tersebut, dan mendadak dia tertawa keras dengan suara seramnya. Suara tertawanya kali ini mirip dengan jeritan setan yang memekikkan telinga!
Baik Pouw Siauw Ling maupun Boe Beng Tok su yang mendengar suara tertawa ini segera menjerit kaget. Kiranya bukan saja suara tertawa tersebut tidak enak didengar bahkan membuat telinga terasa amat sakit sekali.
Begitn merasa keadaan tidak beres, buru-buru mereka pada mengerahkan tenaga dalamnya untuk menindas suara tertawa tersebut.
Pada saat itulah tangan gadis berbaju putih yang mencekal uang perak itu dirapatkan sehingga membuat uang tersebut kontan jadi hancur lebur bagaikan kapur disusul tangannya diayunkan ke depan. Dengan menimbulkan suara desiran angin yang amat tajam sekali, hancuran perak itu meluncur ke depan mengancam seluruh tubuh kedua orang itu.
Bersamaan itu pula tubuh gadis berbaju putih itu bagaikan kilat cepatnya menerjang ke hadapan mereka berdua; di antara ayunan sepasang telapak tangannya tahu-tahu dia sudah mengancam jalan darah "Sian Khie" di depan dada mereka berdua.
Boe Beng Tok su segera membentak keras, tubuhnya memutar dan meluncur ke samping sedang tangan kirinya dengan cepat balik mencengkeram urat nadi dari gadis berbaju putih itu.
Agaknya si gadis berbaju putih itu sama sekali tidak menyangka kalau Boe Beng Tok su memiliki kepandaian silat yang demikian dahsyatnya bahkan kecepatan geraknya tidak ada taranya. Setelah berdiri tertegun beberapa saat lamanya dia baru alihkan pandangannya ke arah orang itu.
Dengan mengambil kesempatan itulah Pouw Siauw Ling sudah mengundurkan diri lima langkah ke belakang. Di antara berkelebatnya bayangan tangan tahu-tahu dia kini sudah mencabut keluar cambuk Pek Kut Mo-Piannya kemudian dengan mengerahkan tenaga murni yang dahsyat dia menusuk dada gadis berbaju putih itu.
Dengan lincahnya gadis berbaju putih itu menyingkir ke samping kemudian tertawa keras lagi dengan seramnya. Kepada Boe Beng Tok su lantas ejeknya:
"Hee . . . heee ... lebih baik kau pun cabut keluar senjata tajammu."
Walau dalam hati Boe Beng Tok su merasa terperanjat akan kecepatan gerak dari gadis berbaju putih itu dan kesempurnaan dari tenaga dalamnya, tetapi pandangannya masih dingin, dengan perlahan dia baru mencabut keluar pedangnya dan bertanya:
"Hmm, lebih baik sebutkan dulu asal-usulmu sebelum bergebrak!''
"Aee.....hee . . . Lo nio adalah Boen Ing; apakah kau belum kenal? Bilamana kini sudah tahu diriku, lebih baik dengan baik-baik menurut saja perintahku untuk masuk ke dalam kuil, aku tanggung pasti kau bakal merasakan nikmatnya sorga dunia sehingga hati jadi terasa mau copot.
Boe Beng Tok su sama sekali belum pernah mendengar nama dari Boen Ing ini, apalagi sebagai seorang kauw cu suatu perkumpulan besar, sudah tentu dia orang tidak suka menunjukkan kelemahannya.
Di tengah suara tertawanya yang amat keras tampak sinar gelap berkelebat, pedang hitamnya sudah dicabut keluar dari sarungnya sehingga memancarkan hawa yang dingin menyeramkan. Sekali pandang saja, perempuan berbaju putih itu lantas tahu kalau pedang itu pasti adalah sebilah pedang pusaka yang sangat berharga.
Sejak Boen Ing kena dikurung selama seratus tahun lamanya di dalam gua kemudian untuk pertama kalinya keluar dari gua kelima jarinya sudah kena ditabas oleh pedang pusaka Lan Beng Kiam, hal ini boleh dikata membuat hatinya merasa mendendam terhadap setiap pedang pusaka. Kini begitu melihat Boe Beng Tok su mencabut keluar pedang meh Kiamnya, bukan saja membuat hatinya jadi terperanjat bahkan amat gusar sekali.
Ujung bajunya yang berwarna putih itu dengan cepat diayunkan ke depan melancarkan tiga serangan sekaligus, Boe Beng Tok su segera merasakan kalau setiap serangan yang menyambar datang ke arahnya itu dahsyatnya bagaikan ambruknya gunung dan longsornya tanah.
Dia tidak berani bertindak gegabah, maka pedangnya dengan cepat diputar sedemikian rupa sehingga membentuk kabut hitam yang melindungi seluruh tubuhnya.
Boen Ing yang melihat tiga buah serangan dahsyatnya itu tidak berhasil menguasai diri Boe Beng Tok su maka kini hatinya semakin gusar, dengan diselingi suara jeritan yang sangat mengerikan, gerakannya telah berubah. Tubuhnya dengan cepat berkelebat dan berputar tiada hentinya disekeliling tubuhnya, dan dengan aneh, ujung bajunya melancarkan serangan-serangan tiada hentinya.
Di dalam keadaan seperti ini terpaksa Boe Beng Tok su hanya bisa memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin dan hujan tak mungkin bisa tembus, tubuhnya dengan terpaksa harus mengikuti gerakan Boen Ing untuk berputar. Ini lama kelamaan membuat hatinya jadi cemas, diam-diam pikirnya:
"Ilmu silatnya ini bagaimana mungkin bisa begitu aneh? Suhuku pun tempo hari belum pernah membicarakan kalau ada ilmu silat yang demikian anehnya!"
Sembari memainkan pedang hitamnya, pikirannya terus berputar, dia merasa gemas juga terhadap Pouw Siauw Ling yang tidak turun tangan memberi bantuan kepadanya.
Matanya dengan cepat melirik keluar kalangan. Tampaklah pada waktu itu Pouw Siauw Ling sedang mementangkan matanya lebar-lebar berdiri melongo-longo di samping kalangan. Jika ditinjau dari sikapnya jelas kalau ia tidak bermaksud untuk turut tangan memberi bantuan.
Semakin lama Boe Beng Tok-su semakin gusar, akhirnya tak kuasa lagi ia membentak keras:
"Pouw Siauw Ling, kau lagi berbuat apa?"
Mendengar suara bentakan tersebut Pouw Siauw Ling jadi amat kaget dan tersadar kembali dari lamunannya.
"Aneh! sungguh aneh sekali !" teriaknya berulang kali. "Di kolong langit, mana mungkin ada cara bergebrak semacam ini? Aku tidak tahu seharusnya ikut melancarkan serangan dari arah sebelah mana?"
Walaupun pada mulutnya berbicara begitu tetapi cambuk panjangnya tetap digetarkan membentuk tiga kuntum bunga-bunga cambuk yang dengan cepat menghajar tubuh Boen Ing.
Siapa sangka kalau gerakan dari Boen Ing jauh lebih cepat dari dirinya. Belum sampai ujung cambuk tersebut mengenai tubuhnya, segulung angin pukulan yang amat dahsyat sudah menyambar keluar dari ujung bajunya yang memaksa Pouw Siauw Ling untuk meloncat mundur sejauh tujuh, delapan depa untuk menghindarkan diri.
Waktu itulah Boen Ing kembali sudah berputar satu lingkaran, menanti Pouw Siauw Ling hendak menubruk ke depan untuk kedua kalinya, mendadak Boen Ing tertawa keras.
"Haaa . . . haa ... haaa ... kalau kau berani maju lagi, aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu," bentaknya keras.
Di antara kebutan kebutan ujung bajunya tahu-tahu dia sudah berada di sudut lain dan melihat akan hal itu Pouw Siauw Ling mulai berpikir;
"Biarlah aku coba-coba menerima datangnya pukulan tersebut dengan keras lawan keras, sekalipun kepandaian silatnya amat lihay rasanya tidak akan bisa mengapa-apakan diriku!"
Berpikir sampai di sini diam-diam dia pun mulai mengerahkan tenaga sakti 'Kioe Im Tong Ci Lo Han Kang'nya ke arah telapak tangan, menanti Boen Ing memutar badannya kembali mendadak dia membentak keras:
"Cambuk di tangannya dibabatkan ke depan laksana sambaran ular keperak-perakan, sesaat ujung cambuknya itu mendekati tubuh lawan, telapak kirinya bagaikan kilat cepatnya sudah melancarkan satu pukulan dahsyat menyambut datangnya tubuh musuh.
Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pouw Siauw Ling pada saat ini walaupun belum bisa dikatakan telah mencapai pada taraf kesempurnaan tetapi orang kangouw biasa saja bila mana terkena pukulannya ini tentu tidak bakal tahan.
Cuma sayang, Boen Ing bukanlah manusia yang mudab dapat dirubuhkan, kembali terdengar dia tertawa seram lalu meloncat ke samping laksana meletiknya ikan lele saja, dan bukannya sedang melancarkan serangan sebaliknya meloncat ke arah lain, hal ini tanpa terasa sudah memancing pukulan dari Pouw Siauw Ling ini mengancam tubuh Boe Beng Tok su.
Melihat kejadian tersebut dengan perasaan kaget dan terperanjat buru-buru ia menarik kembali serangannya itu dan mundur ke belakang.
Waktu itulah Boen Ing tanpa mengeluarkan sedikit suara pun sudah putar badan dan mendorong telapak tangannya ke depan.
Pouw Siauw Ling sama sekali tidak mengetahui kalau kini Boen Ing sedang melancarkan serangan dahsyat. Menanti dia orang siap-siap melancarkan serangan untuk ketiga kalinya, mendadak segulung angin pukulan yang amat dahsyat sudah menerjang dari belakang punggung, dengan hati yang amat terperanjat tubuhnya segera memutar ke belakang.
Apa yang dia lihat? Sesosok bayangan manusia pun tak kelihatan di belakang tubuhnya. Kiranya dia sama sekali tidak mengetahui kalau dirinya sudah kena ditipu oleh pukulan Hwee Sian Ciang yang amat lihay dari aliran Heng san.
Dan karena dia putar tubuhnya inilah sudah membuang suatu kesempatan yang bagus untuk menghindarkan diri. Walaupun serangannya itu amat dahsyat dan kelihatannya sudah hampir mencapai pada tubuhnya, Pouw Siauw Ling yang sebagai anak murid dari seorang jagoan, sudah pasti tidak sampai jadi bingung; dengan cepat tubuhnya miring ke samping, bersama itu pula telapak diayunkan ke samping memunahkan datangnya terjangan angin pukulan "Hwee Sian Ciang" dari Boen Ing ini.
Sekali pun begitu, tubuhnya tak kuasa lagi untuk berdiri tegak maka kakinya bergeser mundur setengah langkah ke belakang sedang darah di dalam dadanya bergolak amat keras.
Buru-buru dia atur pernapasannya untuk meredakan hawa murninya yang bergejolak itu.
Semula Boe Beng Tok su bukannya menemui kekalahan di tangan Boen Ing hanya selama bertempur dia terus bertahan karena belum mengetahui jalannya ilmu silat dari Boen Ing. Kini melihat Pouw Siauw Ling dapat dikalahkan hanya dalam tiga jurus saja, hawa amarahnya lantas memuncak, teriaknya:
"Pouw siaag cu! Malam ini sekalipun harus rugi, aku tetap akan batalkan rencana semula. Dan sebelum berhasil mengalahkan dia orang, aku tidak akan berhenti. Aku mau adu jiwa dengan dirinya."
Pouw Siauw Ling yang melihat kawannya Boe Beng Tok su sudah nekat, buru-buru memberi peringatan.
"Kauw cu! Lebih baik sedikit berhati-hati, serangannya amat kukoay dan ganas."
"Hmm!! Bagaimana kalau dibandingkan dengan Liem Tou?" dengus Boe Beng Tok-su dingin.
"Sama sekali beda!! Sama sekali beda! sahut Pouw Siauw Ling sesudah berpikir sejenak. "Jika dibandingkan dengan Liem Tou sama sekali berbeda walaupun kepandaian silat Liem Tou amat tinggi tapi jalannya jurusnya masih bisa diraba; sebaliknya serangan yang dilancarkan oleh perempuan ini sungguh-sungguh sukar diraba. Terang-terangan dia melancarkan serangan ke depan, bagaimana mungkin angin pukulannya bisa memutar ke belakang punggung? Sungguh telah ketemu setan!"
Boe Beng Tok-su yang mendengar perkataan itu seperti teringat akan sesuatu urusan, mendadak wajahnya berubah hebat, pedang hitam di tangannya kembali berputar semakin santar lagi laksana amukan angin taufan serta hujan badai.
Boen Ing pun dengan cepat membentak keras, ujung bajunya berturut-turut melancarkan kebutan-kebutan berantai yang membuat angin pukulan menderu-deru dan menggulung seluruh ruangan seluas tiga kaki dari dirinya.
Melihat datangnya angin pukulan yang amat dahsyat itu, Boe Beng Tok-su jadi nekad, tanpa menghindarkan diri lagi, pedang di tangannya digetarkan sehingga beribu-ribu rentetan cahaya tajam menembusi ujung baju Boen Ing menusuk ke depan.
Dengan amat cepatnya pedang hitam itu sudah berada di dada dada perempuan tersebut, tiba-tiba ujung pedangnya berubah jadi berpuluh-puluh bunga pedang bersama-sama mengurung seluruh tubuh bagian tengah dan atas dari perempuan tersebut.
Boen Ing sama sekali tidak menyangka kalau Boe Beng Tok-su berani melakukan tindakan nekad, saking terdesaknya terpaksa dia menarik kembali ujung bajunya ke belakang.
Mengambil kesempatan itulah Boe Beng Tok su segera meloneat keluar dari kalangan dan membentak keras:
"Tahan! Apakah nona adalah anak murid dari Heng san Pay?"
"Perduli aku adalah murid dari siapa? Buat apa kau ikut campur?" sahut Boen Ing dengan wajah dingin seram. "Aku lihat ilmu pedangmu lumayan juga. Mari... mari... mari kita bergebrak kembali!"
Selesai berkata kembali dia merentangkan tangannya siap-siap melancarkan serangan kembali.
Boe Beng Tok-su mana suka dikurung kembali olehnya? Maka dengan cepat dia melompat mundur ke belakang dan berdiri sejajar dengan Pouw Siuw Ling.
"Ilmu pukulan Hwee Sian Ciang dari Heng San pay sudah lama lenyap hampir mendekati seratus tahun lamanya. Terang-terangan malam ini nona menggunakan ilmu telapak tersebut; apakah kau kira masih bisa mengelabuhi juga diri kami?" bentaknya gusar.
Mendadak Boen Ing tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
Haa... haa... kalau sudah tahu ilmu yang baru saja nona besarmu gunakan adalah Hwee Sian Ciang dari Heng San Pay seharusnya kalian pun tahu bilamana nonamu tidak menaruh belas kasihan terhadap kalian, sejak tadi kamu berdua sudah tak bernyawa lagi!"
Dengan cepat Boe Beng Tok-su mendengus dingin, bahan pembicaraan pun segera berganti.
"Nona! sebetulnya apa maksudmu? Di antara kita tidak saling mengikat dendam atau pun permusuhan, kenapa sikapmu begitu ketus dan bersikeras untuk menahan kami di sini? Hmm! Kau harus tahu, aku Sin Beng Kauw cu bukanlah manusia yang takut mati, apalagi menghadapi kau seorang perempuan yang berada sendirian."
"Sin Beng Kauw? Haaa... haa... selama ini aku Boen Ing baru mendengarnya..... Kau punya berapa orang sih? Ayoh, suruh mereka keluar semuanya....."
Berbicara sampai di sini mendadak dari tempat kejauhan terdengar suara derapan yang semakin lama semakin mendekat; tak terasa lagi ia mengirim satu kerlingan mata ke arah Boe Beng Tok su kemudian sambungnya lagi:
"Tetapi aku tadi dengar kau menyebutkan nama Liem Tou, apakah kau kenal dengan dirinya? Dan sekarang dia ada di mana? Aku pun memang sedang mencari dirinya."
Suara derapan itu pun semakin mendekat lagi bahkan suaranya semakin jelas... Bagi Boen Ing yang memiliki tenaga dalam hasil latihan seratus tahun sudah tentu dapat mendengarnya dengan amat jelasnya.
"Oouw ... ada orang datang lagi, apakah orang orang dari Sin Beng kauw kalian?? Haa ... haa... Kalau begitu sangat kebetulan sekali!!" ujarnya lagi.
Waktu itu kentongan ketiga sudah berlalu, bilamana ingin mempercepat larinya masih ada waktu untuk tiba di atas gunung Cing Shia, maka dengan cepat Boe Beng Tok-su memutar pikirannya lalu katanya:
"Kalau nona memang bermaksud akan mencari Liem Tou, marilah kita berangkat bersama-sama. Dia kini berada di perkampungan Ie Hee San Cung di bukit Ha Mo San di gunung Cing Shia, dan nanti pada malam Tiong Chiu ini dia akan menikah dengan si gadis cantik pengangon kambing, puteri kesayangan si cangkul pualam serta Lie Siauw Ie, muridnya. Kau suka pergi atau tidak, itu urusanmu. Sekarang aku tidak punya waktu lagi untuk menemani dirimu lebih lama lagi."
Sambil berkata sambil menarik tangan Pouw Siauw Ling, mereka lantas berlalu dengan langkah lebar.
Sungguh aneh sekali, kali ini Boen Ing sama sekali tidak menghalangi mereka berdua bahkan menyingkir dua langkah ke samping serta memberi jalan.
"Apakah perkataanmu itu sungguh-sungguh?" tanyanya kemudian.
"Buat apa kauw cu menipu dirimu?" seru Pouw Siauw Ling dengan cepat.
Setelah berhasil melewati diri Boen Ing, mereka pun lantas dengan cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya meloncat sejauh dua puluh kaki lebih.
"E e e i .... tunggu aku sebentar, aku hendak berangkat bersama-sama kalian," tiba-tiba Boen Ing si perempuan berbaju putih itu berteriak.
Baru saja perkataannya selesai diucapkan tubuhnya sudah meloncat ke samping tubuh mereka berdua.
"Ayo jalan!" ajaknya sambil tertawa.
Boe Beng Tok-su serta Pouw Siauw Ling lantas miringkan badannya menyingkir ke samping sejauh tiga depa lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke depan.
Jika ditinjau dari gerak-geriknya, Boen Ing sama sekali tidak membuang banyak waktu tetapi selama ini belum pernah ia ketinggalan dari kedua orang itu bahkan sering kali menoleh dan mengirim senyuman manis ke arah mereka.
Kurang lebih satu li kemudian jalan yang mengikuti tepi sungai itu pun sudah berubah jadi tebing gunung dan akhirnya merupakan sebuah gunung yang tinggi, keadaannya amat curam dan bahaya sekali.
Mendadak Boe Beng Tok-su menghentikan langkahnya.
"Nona, silahkan kau berlalu dulu," serunya.
"Ouuw..... kalian masih takut padaku?" goda Boen Ing sambil tertawa manis dan menggoyang-goyangkan badannya. "Terus terang saja aku katakan, setelah mengetahui jejak dari Liem Tou aku sama sekali tidak tertarik dengan kalian. Ayoh jalan!"
Ternyata gadis itu tak suka banyak omong lagi. Dia pun berjalan terlebih dulu, tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak dia membentak keras, ujung bajunya diayunkan ke atas melancarkan dua pukulan dahsyat sedang tubuhnya pun dengan cepat melayang mundur sejauh tiga, empat langkah melalui atas kepala Boe Beng Tok-su serta Pouw Siauw Ling.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini seketika itu juga membuat Boe Beng Tok-BU maupun Pouw Siauw Ling jadi melengak karena mereka sama sekali tidak menyangka kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Boen Ing ternyata sudah mencapai pada taraf yang demikian sempurnanya.
Pada saat itulah terdengar suara tindakan kaki yang keras disusul munculnya sesosok bayangan manusia di sana.
Pouw Siauw Ling yang melihat munculnya orang itu seperti menjerit kaget;
"Oei Poh!!"
Orang yang baru saja datang memang Oei Poh adanya. Setelah ia meninggalkan lembah mati hidup di atas gunung Heng san, dengan cepat menuju ke gunung Cing Shia.
Tetapi waktu itu Liem Tou belum pulang ke gunung sehingga walaupun sudah mencuri masuk sebanyak dua kali tidak ditemui juga pemuda musuh besarnya itu.
Kalau begitu di atas perkampungan sudah ada si cangkul pualam Lie siang serta Cung cu dari perkampungan Ie Hee Cung si "Hauw Jiauw" Lie Kiam Poo yang sedang repot-repotnya mendirikan rumah baru dan menghiasi perkampungan serta mengatur ruangan Cie Ing Tong.
Bukan begitu saja, bahkan seluruh anak murid perkampungan yang mengerti kepandaian silat sudah dikirim turun gunung untuk mengirim surat undangan kepada para ciangbunjien partai-partai besar serta jago-jago kenamaan untuk ikut menghadiri perkawinan dari Liem Tou ini.
Sebetulnya Oei Poh menaruh rasa dendam yang amat mendalam dengan diri Liem Tou, tetapi penyelidikannya selama dua kali naik ke gunung dan baru berhasil membuktikan kalau Ang In Sin Pian benar-benar sudah dibunuh mati oleh Liem Tou bahkan saat saat kematiannya persis seperti yang dikatakan Liem Tou. Tanpa terasa lagi, dendam di hatinya ikut musnah juga separuh bagian.
Dengan demikian terhadap maksudnya untuk membalas dendam pun jadi goncang, dia tidak mengerti kini harus berbuat bagaimana baiknya, sehingga hatinya benar-benar jadi amat sedih.
Karena jaraknya dengan malam Tiong Cbiu masih ada beberapa hari lagi maka dia pun lantas jalan-jalan menyusuri tepi sungai, dia tidak ingin menyudahi dengan begitu saja sakit dirinya, karena dia merasa kakinya yang terputus ini pun adalah gara-gara Liem Tou.
Tidak disangka, malam ini di tepi surgai dia bertemu kembali dengan Pouw Siauw Ling serta Boen Ing dan terhadap kedua orang ini dia memang pernah bertemu tapi terhadap Boe Beng Tok su sama sekali tidak pernah kenal.
Oei Poh yang begitu melihat Pouw Siauw Ling jadi amat terkejut, karena teringat dia adalah putra dari pembunuh ayahnya. Dendam lama pun mulai berkobar di dalam hatinya, matanya memerah lalu tertawa keras dengan seramnya:
"Pouw Siauw Ling! Kau masih ingat bukan dengan aku Oei Poh? di manakah kini yayamu?"
Oei Poh adalah orang yang berhasil lolos dari cambuk Pouw Siauw Ling, apalagi dia tidak tahu kalau pemuda itu kini sudah belajar ilmu silat di gunung Heng san, sudah tentu terhadap dirinya dia tidak memandang sebelah mata pun.
"Haaaa . . . haaa . . . Oei Poh! Kalau sudah tahu buat apa tanya lagi?" serunya sambil tertawa sombong. "Apa maksudmu menghalangi perjalanan dari kauw cu serta diriku?"
"Heee . . . heee . . . Kauw cu! Siang cu siapa yang jadi kauw cu? Siapa yang jadi Siang cu?" teriak Oei Poh sambil tertawa seram. "Yang aku maui cuma Pouw Siauw Ling kau bangsat terkutuk! Aku tidak perduli kauw cu maupun siang cu!"
Mendadak ujung kakinya yang merupakan kayu itu menutul permukaan tanah, telapak tangannya dengan menimbulkan segulung angin pukulan yang dahsyat menghajar tubuh Pouw Siauw Ling.
Melihat datangnya serangan tersebut Pouw Siauw Ling tertawa dingin.
"Oei Poh! Kau adalah manusia yang tidak tahu kekuatan sendiri, kau sendiri sekarang yang cari mati," bentaknya.
Menanti angin pukulan Oei Poh hampir mendekati tubuhnya, tanpa menghindar lagi dia memperkuat kuda kuda kemudian dengan u pukulan gencar ke depan.
"Brakk . . . !" dengan amat dahsyatnya kedua gulung angin pukulan itu terbentur satu sama lainnya membuat tubub Oei Poh tidak kuasa untuk bertahan diri dan kena terdesak mundur satu langkah ke belakang.
Kembali Pouw Siauw Ling tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
"Oei Poh? Haa . . . haa . . . tidak kusangka perpisahan kita selama setahun ini kau masih tetap goblok seperti gentong nasi haa . . . haa ... agaknya walaupun sepuluh tahun lagi tidak bakal kau bisa mengapa-apakan diriku! Sana pergi! Pergi! Jangan menjual malu di hadapan orang lain!"
Saking gusarnya seluruh tubuh Oei Poh gemetar amat keras; dia tidak menyangka kalau selama setahun ini Pouw Siauw Ling pun mendapat kemajuan yang amat pesat sehingga dia teta p jauh lebih kuat dari dirinya.
Pikirannya dengan cepat berputar mendadak angin pukulan berubah dengan menggunakan ilmu pukulan "Hwee Sian Ciang-hoat" dari Heng san pay yang berhasil dipelajari dari Cing jie.
Pouw Siauw Ling yang berlaku gegabah kembali kena dihantam punggungnya.
Walau pukulan ini tidak sampai menimbulkan luka dalam tetapi cukup membuat pemuda itu jadi gembar-gembor dan mencak-mencak saking gusarnya.
"Wuah ... waah . . . ketemu setan! Ketemu setan! Cucu kura-kura, anak sundal! Kentut!" makinya. "Oei Poh! Apakah ilmu pukulan ini pun berhasil mempelajarinya dari suhumu yang sudah mati?"
Oei Poh tahu kalau Pouw Siauw Ling tidak bakal bisa menahan pukulan 'Hwee Sian Ciang' yang amat aneh ini tanpa mengucap kata-kata lagi sepasang telapak tangannya kembali melancarkan tiga pukulan dahsyat dengan mengambil arah dari samping badan pemuda tersebut menggencet ke depan.
Agaknya dia punya maksud untuk menghabiskan nyawa Pouw Siauw Ling, maka serangannya yang ke depan kembali menjadi jurus; sepasang telapak tangannya merangkap dengan tubuhnya menekan ke bawah, suatu pukulan yang menghasilkan tenaga pukulan yang amat dahsyat menekan ke depan.
Sewaktu Oei Poh melancarkan pukulan Hwec Sian Ciang ini untuk ke tiga kalinya Pouw Siauw Ling, sudah merasa keadaan tidak beres bahkan gerak-geriknya mulai kacau dan kalang kabut; sewaktu pukulan yang keempat menerjang datang itulah dirinya baru merasa kena digencet sehingga tak ada cara lagi untuk menangkis.
Di dalam keadaan yang amat kritis itulah mendadak tampak bayangan putih berkelebat, mendadak Oei Poh berteriak keras dan mundur sejauh tujuh, delapan langkah ke belakang dengan sempoyongan.
Dengan rasa terperanjat dan mangkel Boen Ing munculkan dirinya di sana, lalu sambil menuding ke arah Oei Poh makinya:
"Kau! Cing moay sudah mengajarkan berapa banyak kepadamu? Sehingga kau berani mencari gara gara?"
Terhadap Boen Ing si perempuan berbaju putih itu, Oei Poh memang rada jeri. Begitu mendengar perkataan tersebut bukannya menjawab sebaliknya malah putar badan dan pergi. Terdengarlah dia bergumam seorang diri:
"Aku tidak akan bergebrak dengan dirimu! Aku tidak akan bergebrak dengan dirimu !"
Baru saja berjalan dua langkah ke depan, mendadak dia putar badan dan membentak lagi:
"Pouw Siauw Ling! Malam ini aku ampuni dulu nyawamu."
Sehabis berkata dia lantas enjotkan badannya dan melayang setinggi lima kaki.
Tubuhnya yang ada di tengah udara segera berjumpa'itan beberapa kali dan meluncur ke arah depan.
Melihat kejadian itu, Boen Ing segera enjotkan badannya pula ke atas sedang ujung bajunya dengan menimbulkan satu pukulan yang dahsyat menghantam Oei Poh yang masih berada di tengah udara itu.
Di dalam anpgapannya, Oei Poh tak bakal berhasil meloloskan diri dari kebutannya itu, siapa tahu tiba-tiba Oei Poh tekuk badannya sedangkan sepasang telapak tangannya mengebut pula ke bawah dan meluncur kembali setinggi tiga kaki dengan amat manisnya dia berhasil menghindarkan diri dari serangan kebutan tersebut.
"Bangsat cilik, ternyata kau punya simpanan juga!" bentak Boen Ing sambil tertawa dingin.
Kakinya kembali menjejak tanah membuat tubuhnya meluncur setinggi dua kaki dari sana dia kembali melancarkan serangan dengan menggunakan ujung bajunya.
Dengan perbuatan dari Boen Ing ini, pemuda tersebut jadi kegirangan. Dia memangnya mengharapkan perempuan itu agar berbuat demikian. Tiga jurus mematikan dari Heng san pay selama ini belum pernah dipelajari oleh Boeu Ing hingga sekalipun ilmu meringankan tubuh darinya amat lihai pun tidak lebih cuma bisa mencelat dua kali saja di tengah udara.
Oei Poh melihat Boen Ing mengejar dirinya diam-diam lantas tertawa dingin, terlibatlah tubuhnya sedikit menggetar dengan amat lincahnya sudah memutar ke belakang punggung Boen Ing lalu bagaikan kilat cepatnya melancarkan satu serangan menghajar jalan darah Giok Coe Hiat pada punggung perempuan itu.
Boen Ing pun bukan manusia sembarangan, begitu merasa adanya angin pukulan yang menyambar punggungnya, dengan cepat dia mengerahkan ilmu bobot seribu kati meluncur ke bawah.
lnilah suatu kesempatan yang tidak mudah didapati selama ribuan tahun, sudah tentu Oei Poh tidak akan melepaskannya dengan begitu saja, tubuhnya ikut meluncur ke bawah, sedang sepasang telapak tangannya melancarkan babatan berantai.
Hanya di dalam sekejap saja Boen Ing segera merasakan adanya angin pukulan bagaikan air bah hebatnya mengurung seluruh tubuhnya yang membuat dia tak sempat untuk menghindar lagi.
Dalam hati dia lantas tahu kalau keadaan tak beres maka itu tubuhnya buru-buru diluncurkan ke bawah, dia bermaksud menggunakan tenaga jatuhan itu untuk melancarkan satu serangan balasan ke arah dirinya Oei Poh.
Sekalipun dalam hati tahu kalau tenaga dalamnya tak bisa menangi perempuan itu tapi Oei Poh mana suka melepaskan begitu saja? Telapak tangannya dengan amat dahsyat mengirim satu pukulan menghajar punggung Boen Ing sedang tangan kanannya menghantam pundaknya.
Boen Ing yang kena dua buah pukulan dahsyat itu mana kuat bertahan diri? Terdengar dia menjerit ngeri, tubuhnya sudah terlempar sejauh tiga kaki oleh tenaga pukulan Oei Poh itu dan jatuh ke atas tanah sehingga untuk beberapa saat lamanya tak bisa bangun.
Dengan meminjam tenaga pantulan dari pukulannya tadi Oei Poh melayang turun ke atas sebuah batu cadas di samping kirinya. Begitu mencapai tanah buru-buru dia tarik napas panjang-panjang lalu enjotkan badannya kembali meluncur ke bawah gunung dan lenyap di tengah kegelapan.
Penderitaan yang diterima oleh Boen Ing kali ini benar-benar amat besar sekali, ketiga pukulan tadi membuat darah di dadanya bergolak keras sedang matanya berkunang-kunang dan kepalanya jadi pening, cuma untung sekali tenaga dalam yang dimiliki Oei Poh tak begitu tinggi sehingga tak sampai membuat dia terluka parah. Bilamana harus berganti dengan Cing jie mungkin dia bakal mati atau sedikitnya terluka parah.
Lama sekali dia duduk di atas tanah sambil mengatur pernapasannya, sedang dalam hati merasa gemas karena ini hari harus jatuh kecundang di tangan seorang pemuda yang tidak bernama.
Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling yang melihat dia berada dalam keadaan bahaya untuk menolong tadi tidak sempat maka kini buru-buru mereka mendekat dan bertanya:
"Nona bagaimana dengan lukamu? Tak mengapa bukan?"
Boen Ing sama sekali tidak menggubris terhadap omongan mereka itu, sebaliknya hanya bergumam sendiri.
"Apakah suhu masih ada simpanan yang tidak diturunkan kepadaku? Tentu dia orang tua sudah tinggalkan sedikit sekali."
Tetapi sebentar kemudian dia sudah gelengkan kepalanya berulang kali dan berkata kembali;
"Tidak mungkin! Jurus serangan yang demikian sempurnanya itu belum pernah suhu menggunakannya, kalau begitu pastilah Liem Tou yang turunkan kepadanya, tetapi dia tidak akur dengan Liem Tou, bagaimana mungkin Liem Tou suka memberi pelajaran ilmu silat kepadanya?"
Sewaktu dulu Boen Ing berhasil melarikan diri. dari lembah mati hidup, dia masih menganggap Liem Tou masih ada di dalam lembah itu. Oleh karena itu, dia jadi punya pikiran demikian.
Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling yang melihat pertanyaan mereka sama sekali tidak digubris oleh Boen Ing si perempuan berbaju putih itu jadi melongo lalu saling bertukar pandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Nona, sebetulnya bagaimanakah lukamu?" tanya Boe Beng Tok su kemudian dengan sinis. "Bilamana lukamu tidak berat, baiklah melanjutkan kembali perjalanan, kalau tidak kami akan berangkat lebih dulu."
Setelah termenung beberapa saat lamanya, dengan perlahan Boen Ing baru dongakkan kepalanya; tetapi sewaktu dilihatnya Oei Poh sudah pergi dari situ dengan gemasnya lalu berseru;
"Lain kali bilamana berjumpa kembali dengan diriku, tidak bakal semudah ini kau orang bisa meloloskan diri."
Sehabis berkata dan melirik sekejap ke arah Boe Beng Tok su kemudian dengan perlahan baru merangkak bangun.
Waktu itulah dia mulai merasakan seluruh badannya sakit, sehingga tak terasa lagi sudah kerutkan alisnya rapat-rapat. Mendadak sinar matanya dialihkan ke atas wajah Boe Beng Tok-su.
Boe Beng Tok su yang melihat sikapnya yang sangat aneh itu hatinya jadi rada tidak sabaran, bentaknya dengan suara rendah:
"Nona Boen, sebetulnya kau mau pergi tidak? Terus terang saja aku beritahu kepadamu, aku tidak butuh dengan segala macam pelukan mesra dari dirimu. Bila kau tidak suka pergi, biarlah kami segera akan berangkat lebih dulu."
"Kauw cu! Apakah kau adalah seorang lelaki yang masih jejaka?" tanya Boen Ing secara tiba-tiba dengan nada yang amat aneh sekali.
Begitu mendengar perkataan tersebut, saking khekinya Boe Beng Tok su segera melototkan matanya lebar-lebar.
"Kau bilang apa?" bentaknya.
Air mukanya kontan jadi pucat kehijau-hijauan, dengan cepat dia menarik tangan Pouw Siauw Ling untuk diajak pergi.
"Pouw siang cu, ayoh jalan!" Sehabis berkata dia lantas berlalu dengan langkah lebar dan tidak menoleh lagi.
Boen Ing masih tetap duduk di atas tanah sambil memandang bayangan punggung mereka berdua lenyap ditelan kegelapan, sinar mata yang sangat aneh itu masih berkelebat pada sepasang matanya, kemudian terdengar tertawa dingin tiada hentinya.
"Heee.... heee.... kau tidak bakal dapat pergi jauh," gumamnya seorang diri. "Kauw cu! Kau harus kumiliki, siang cu itu sudah bobrok dan badannya habis sedang kau masih padat dan jejaka. Liem Tou adalah nomor satu, sedang kau nomor dua".
Sembari berkata dia menggosok-gosok kakinya lalu tertawa cekikikan seorang diri.
Si perempuan tunggal Touw Hong yang selama ini menguntit terus dari belakang Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling dapat melihat semua kejadian dengan jelas.
Kini melihat Pouw Siauw Ling berdua sudah pergi, sebaliknya Boen Ing masih tetap duduk di sana seorang diri sambil tertawa ce kikikan, batinya jadi jengkel bercampur cemas karena untuk menaiki gunung itu dia melalui tempat itu.
Lama sekali Boen Ing menggosok-gosok kakinya, setelah rada baikan dia baru bangun dengan perlahan dan berjalan menuju ke kuil bobrok yang sunyi itu.
Si perempuan tunggal Touw Hong yang bersembunyi di pinggir jalan tidak berniat mengganggu dirinya. Menanti setelah ia pergi jauh, dengan perlahan baru munculkan dirinya dan melanjutkan perjalanan menyusuri sungai tersebut.
Pada kentongan keempat dia pun baru berhasil tiba di kaki gunung Cing Shia cuma waktu itu sudah kehilangan jejak dari Boe Beng Tok su maupun Pouw Slauw Ling.
Beberapa saat kemudian kentongan kelima sudah menjelang datang sedang hari pun mulai terang, dalam hati diam-diam pikirnya:
"Bagaimana juga jarak dengan malam Tiong Chiu masih ada dua hari lamanya sedang perkumpulan Sin Beng Kauw pun sudah siap mencari gara-gara pada malam Tiong Chiu, asalkan aku tiba lebih cepat dan beritahukan urusan ini kepada suheng agar dia mengadakan persiapan, bukankah urusan akan jadi beres ?"
Berpikir sampai di situ dia pun lantas mencari tempat yang sunyi untuk menyembunyikan dirinya dan duduk mengatur pernapasan.
Teringat akan puteri satu-satunya dari encinya yaitu Sun Ci Si kini sudah berubah sifatnya bahkan berbuat begitu jahat, hatinya jadi amat sedih sekali.
Sewaktu pikirannya lagi melayang tiada ujung pangkalnya itulah mendadak terdengar langkah manusia berjalau mendekati.
Si perempuan tunggal yang takut kalau Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling berjalan kembali lagi, buru-buru alihkan pandangan ke depan.
Tampaklah kurang lebih puluhan tindak dari tempat persembunyiannya berdirilah se orang perempuan berbaju singsat dengan sebilah pedang panjang menghiasi punggungnya.
"E e e e. . . dia lagi berbuat apa berdiri di sana? Siapakah dia orangnya?" pikir si perempuan tunggal keheranan.
Si perempuan tunggal Touw Hong bukanlah seorang manusia yang suka ikut campur di dalam urusan orang lain apalagi melihat pada punggungnya tersoren sebilah pedang maka ia lantas tahu kalau orang itupun merupakan jagoan dunia persilatan, karena itu dia lantas pejamkan matanya tidak mengambil gubris lagi.
Tidak lama kemudian tiba-tiba si perempuan tunggal mendengar lagi suara orang itu yang bergema datang tertiup angin.
"Sungguh aneh sekali, jika dilihat dari hiasan yang diatur di atas gunung, jelas lagi mempersiapkan satu pesta perkawinan, tapi kenapa tidak melihat adanya Liem Tou ?"
Dari arah berasalnya suara itu, si perempuan tunggal Touw Hong lantas bisa tahu kalau suara itu berasal dari perempuan tadi, maka terdengar dia menghela napas panjang dan berkata:
"Tidak, lebih baik aku Siauw Giok Cing menghilangkan niatku ini saja! Orang lain sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepadaku, bagaimana mungkin aku bisa begitu tidak tahu malu dengan mati-matian memikirkan orang lain? Aku harus pulang ke gunung dan berdiam di dalam gua batu yang sunyi itu saja. Heei . . . tidak seharusnya aku keluar dari gunung, memang nasibku harus hidup dengan keadaan tetap perawan."
Si perempuan tunggal yang mendengar suara gumaman tersebut hatinya rada keheranan, pikirnya di hati.
"Kembaii seorang perempuan mencari Liem Tou. Eeeei . . . sungguh lucu sekali, bagaimana mungkin Liem Tou bisa berkenalan dengan perempuan yang demikian banyaknya ? Karena dilihat sikapnya tidak mirip dengan seorang yang cabul dan suka main perempuan, apakah mungkin secara diam-diam dia mencari kesenangan dengan bunga-bunga di tempat luaran ? Kalau memang benar-benar begitu macam apakah dia orang? Urusan ini sungguh membingungkan sekali !"
Semakin berpikir si perempuan tunggal Touw Hong jadi semakin terharu, mendadak dia bangun berdiri dan berjalan menuju ke arah perempuan itu hingga beberapa langkah di belakangnya tanpa diketahui oleh perempuan itu, dan pada saat itu terdengar dia bergumam.
"Tidak; aku tidak boleh pulang, aku harus melihat Liem Tou menjalankan upacara perkawinannya.
Si perempuan tunggal Touw Hong hanya merasakan kalau kewaspadaan dari perempuan itu terlalu kurang, tapi waktu teringat ada kemungkinan dia cuma seorang jagoan Bu-lim biasa tanpa mempunyai kepandaian yang berarti maka dalam hatinya pun menaruh beberapa bagian tidak pandang mata.
Waktu itulah dia baru dapat melihat kalau gadis itu bukan lain adalah seorang nona yang cantik dengan wajah yang putih bersih dan berusia kurang lebih delapan belas tahunan.
Waktu itu gadis itupun jadi kaget dengan munculnya si perempuan tunggal Touw Hong, tampaklah dia memandang ke arahnya dengan pandangan melongo.
"Nona, ada urusan apa di tengah malam buta begini berdiri seorang diri di sini?" tanya si perempuan tunggal dengan suara perlahan.
Cing jie tidak menjawab sebaliknya matanya memperhatikan perempuan di hadapannya itu dengan sangat tajam.
Si perempuan tunggal Touw Hong yang melihat dari sepasang matanya memancarkan cahaya yang amat tajam laksana bintang di malam hari, hatinya jadi keheranan, pikirnya: "Jika dipandang dari sinar matanya, jelas kalau kepandaian silat yang dimilikinya sudah berhasil mencapai pada taraf kesempurnaan, tapi kenapa reaksinya begitu lambat waktu aku mendekati dirinya?"
Pada waktu itulah terdengar Cing jie sudah membuka mulutnya bertanya : "Siapa kau ? Buat apa kau ikut campur urusanku ?"
Suaranya amat lembut dan lemah sekali sedang sinar matanyapun melengos ke arah lain.
"Aku bertanya kepada nona karena mendengar nona terus menerus menyebutkan nama Liem Tou. Entah secara bagaimana nona bisa berkenalan dengan diri Liem Tou?" ujar si perempuan tunggal Touw Hong sambil tertawa.
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, bagai kena disetrom Cing jie menoleh ke belakang.
"Jadi kaupun kenal dengan Liem Tou ? Lalu bagaimana kau sendiri bisa berkenalan dengan dirinya?"
Saat ini si perempuan tunggal Touw Hong sudah bisa melihat seluruh wajah dari gadis tersebut, setelah dirasakan orang itu tidak mirip dengan seorang perempuan jahat, ia baru tertawa.
"Kau ingin tahu ? Baiklah! Aku akan beri tahukan secara terus terang saja. Liem Tou memanggil aku dengan sebutan Susiok !"
Mendengar perkataan tersebut Cing jie jadi amat terperanjat; sepasang biji matanya yang jeli dipentangkan lebar-lebar itu memperhatikan perempuan itu tajam-tajam, akhirnya dia gelengkan kepalanya.
"Tidak mirip, tidak mirip, aku tidak percaya terhadap omonganmu itu. Liem Tou dengan dirimu hampir sama besar usianya, bagaimana mungkin kau adalah susioknya ?"
"Suka percaya atau tidak, itu urusanmu sendiri. Kini aku sudah memberitahukan kedudukanku, seharusnya kau pun memberitahukan kepadaku siapakah kau orang ?"
Dengan perlahan Cing jie mengangguk.
"Aku datang dari lembah mati hidup di gunung Heng san, tahun ini berusia seratus lima belas tahun. Dan Liem Tou pernah jadi tetamu di dalam lembahku maka itu aku kenal dengan dirinya."
"Aaakh.....! Nona jangan bergurau," ujar si perempuan tunggal Touw Hong sambil tertawa geli. Aku tidak usah mempercayai kalau kau sudah berusia seratus lima belas tahun dan kaupun tidak usah percaya kalau aku adalah susiok dari Liem Tou, tetapi yang jelas baik kau maupun aku sama-sama kenal dengan Liem Tou . . . ."
Baru saja berbicara sampai di situ, mendadak satu ingatan berkelebat di dalam benaknya, diam-diam lantas pikirnya :
"Walaupun dari nada ucapannya tidak bermaksud jahat terhadap Liem Tou, tetapi apakah kawan atau lawan aku belum bisa menentukan, lebih baik aku pancing supaya dia suka berbicara sendiri."
Karenanya sambil tertawa lantas ujarnya lagi:
"Sekarang aku mau tanya padamu, bilamana Liem Tou lagi menemui kesusahan, apakah nona suka turun tangan membantu?"
Cing jie yang mendengar perkataan tersebut kembali merasa terperanjat; dia mengira yang dimaksudkan oleh si perempuan tunggal adalah Oei Poh, di dalam urusan ini dia memang lagi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan terpaksa kepalanya digelengkan berulang kali. "Aku tidak tahu, aku tilak tahu," katanya.
"Kalau begitu, nona adalah musuh dari Liem Tou?"
"Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Cing jie dengan nada keras matanya melotot lebar-lebar. "Aku tidak pernah bercerita kalau dia adalah musuhku."
Si perempuan tunggal Touw Hong dibuat semakin keheranan lagi.
"Nona bukan kawan dari Liem Tou lalu mengapa kau tidak suka turun tangan membantu dirinya??"
Seketika itu juga Cing jie dibuat bungkam seribu bahasa oleh perkataan tersebut.
Pada saat dia lagi serba salah itulah mendadak mendengar perempuan tunggal Touw Hong menjerit kaget.
Buru-buru Cing jie pun menengok ke arah samping terlihatlah di atas permukaan sungai berkelebat datang sesosok bayangan putih.
"Oouw.... sesosok bayangan manusia," serunya cepat.
"Eeem.... dia adalah seorang perempuan," sahut si perempuan tunggal sambil kerutkan alisnya rapat-rapat. "Aku kenal dirinya bahkan kepandaian silat yang dimilikinya sangat tinggi sehingga sukar diukur, pada saat kentongau ketiga tadi dia sudah pukul rubuh Sin Beng Kauw cu serta Pouw Siauw Ling, dan dia pun merupakan salah seorang yang lagi mencari Liem Tou."
Bayangan putih itu sudah tentu adalah Boen Ing, saat ini dia telah berada di tengah sungai untuk menyeberang kemari.
Dengan ketajaman mata dari Cing jie sudah tentu dia pun bisa mengenal kembali bayangan putih tersebut.
"Akh.... Boen Ing si perempuan cabul itu," serunya tak terasa.
"Bagaimana? Kau pun kenal?"
Dengan perlahan Cing jie mengangguk, mendadak dia bersuit nyaring dan mencabut keluar pedang Lan Beng Kiam yang tersoren pada punggungnya itu dan ujung kaki sedikit menutul di permukaan tanah tubuhnya laksana seekor burung walet meluncur sejauh tujuh, delapan kaki dengan tersalto di tengah udara dan meluncur ke tengah sungai.
Gerakan yang dilakukan secara tiba-tiba ini seketika itu juga membuat si perenpuan tunggal jadi melongo-longo; pikirnya :
"Orang yang aku temui malam ini sebagian besar adalah jago-jago yang memiliki kepandaian silat amar tinggi sedang di dalam Bu-lim sama sekali tidak pernah mendengar nama mereka, sungguh aneh sekali."
Tubuh Cing jie yang meluncur ke tengah sungai hanya di dalam sekejap saja sudah berada beberapa puluh kaki jauhnya tanpa melayang turun ke atas tanah, menanti jaraknya tinggal duapuluh kaki dari Boen Ing dia baru melayang turun ke atas permukaan air sungai.
Si perempuan tunggal yang melihat begitu sempurna dan dahsyatnya tenaga dalam yang dimiliki gadis itu dalam hati benar-benar amat terperanjat. Dia tidak menyangka kalau gadis yang usianya kelihatan masih muda itu sudah demikian lihaynya.
Selagi dia orang berpikir keras itulah dari tengah sungai berkumandang datang suara bentakan yang amat keras disusul dengan suara suitan yang memekikkan telinga, sekali dengar perempuan itu lantas tahu kalau suara bentakan itu pasti berasal dari Cing jie.
Hatinya mulai kebingungan sedang otak berputar tiada hentinya.
"Haruskah aku orang ikut turun tangan membantu gadis berbaju hijau itu?"
Tetapi sewaktu teringat kalau ilmu meringankan tubuhnya belum berhasil mencapai taraf dapat bergerak di atas permukaan air dengan perlahan dia pun membatalkan kembali niatnya tersebut.
Suara tertawa seram dari perempuan berbaju putih itu semakin menyeramkan sedang Cing Jie pun waktu itu sudah berada beberapa kaki di hadapannya, jelas kalau suatu pertempuran yang amat sengit segera akan berlangsung.
"Susiok! Liem Tou datang menghunjuk hormat !" tiba-tiba terdengar suara seseorang berkumandang keluar dari belakang tubuhnya.
Si perempuan tunggal jadi amat terperanjat, dengan cepat dia putar badan sambil melintangkan telapak tangannya di depan dada siap menanti serangan.
Kiranya orang yang ada di belakangnya pada saat ini bukan lain adalah Liem Tou yang sudah ada setahun lamanya tidak bertemu, dia tidak menyangka bila tenaga dalam dari pemuda itu sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat sekali.
Saking terkejut dan bercampur girangnya untuk beberapa saat lamanya tidak sepatah kata pun bisa diucapkan keluar.
Waktu itu Liem Tou memakai jubah berwarna hijau dengan wajah penuh dihiasi senyuman; apalagi dengan wajahnya yang tampan itu sehingga membuat pemuda itu kelihatan semakin menarik.
"Susiok selama setahun ini apakah baik-baik saja ??" tanyanya lagi sambil memandang tajam wajah gadis itu.
Terhadap kejadian yang berlangsung di tengah sungai antara Cing jie serta Boen Ing, dia orang sama sekali tidak memandang sekejap pun.
"Sutit! Kau datang dari mana? kedua orang yang ada di atas permukaan sungai itu...."
Belum habis si perempuan tunggal melanjutkan kata-katanya, Liem Tou sudah memotong dengan cepat.
"Selama setahun ini sutit mengasingkan diri di tengah pegunungan yang sunyi sehingga memperoleh kemajuan yang pesat, dan malam ini aku bermaksud kembali ke gunung Cing shia. Susiok, apakah kau sudah memasuki perkampungan ??? bagaimana keadaannya supek serta enci Ie dan adik Wan sekalian??"
Si perempuan tunggal cuma tersenyum saja sedang matanya dengan amat tajam memperhatikan diri pemuda tersebut, dia merasa
Liem Tou yang ada di depannya pada saat ini jauh berbeda dengan Liem Tou setahun yang lalu.
Liem Tou yang melihat perempuan itu tidak menjawab bahkan memandang dirinya dengan tajam lantas kirim satu senyum manis.
Beberapa saat kemudian si perempuan tunggal baru menghela napas panjang.
"Sutit! Aku lihat agaknya kau banyak berubah!" ujarnya dengan perlahan. "Bilamana dugaanku tidak salah maka setahun ini banyak kejadian yang tidak tersangka sudah menimpa dirimu."
"Susiok bagaimana kau boleh bicara begitu??" seru Liem Tou sambil gelengkan kepalanya. "Sutit tetap sutit, apanya yang sudah berubah ?? Cuma saja penghidupan selama setahun ini membuat hatiku rada tenang."
Si perempuan tunggal tidak mendesak lebih lanjut lagi, dia pun lantas mengganti bahau pembicaraan, ujarnya tiba-tiba:
"Ini hari susiok kembali ke gunung Cing Shia untuk turut merayakan perkawinanmu. Di sini susiokmu memberi selamat dahulu!"
Bicara sampai di sini tak terasa lagi dia merasa hatinya berdebar-debar sedang wajahnya terasa rada panas mendadak dalam benaknya dia teringat kembali akan maksud Boe Beng Tok su, Pouw Siauw Ling serta Boen Ing yang lagi mencari balas terhadap dirinya, hanya di dalam sekejap saja membuat pikirannya segera berubah.
"Tetapi... aku rasa banyak urusan yang tak terduga bakal terjadi perkawinan dari sutit rasanya tak bisa berlangsung dengan lancar," serunya sambil menghela napas panjang.
Mendengar perkataan tersebut Liem Tou rada melengak tetapi sebentar kemudian sudah tertawa.
"Susiok agaknya di dalam hatimu ada sesuatu rahasia bolehkah kau katakan kepada sutitmu?"
Bicara sampai di situ dia dongakkan kepala nya memperhatikan sejenak keadaan cuaca lalu sambungnya lagi:
"Susiok, coba kau lihat hari sudah terang tanah, bagaimanapun sebelum tanggal lima belas bulan delapan sutitmu tak bisa kembali ke gunung Cing Shia, bagaimana kalau kita mencari suatu tempat sunyi untuk bercakap-cakap ?"

Selama ini Liem Tou tidak pernah melirik atau memandang sekejap pun ke tengah permukaan sungai di mana sedang berlangsung suatu pertempuran yang amat sengit antara Cing Jie dan Boen Ing, hal ini membuat si perempuan tunggal menjadi curiga, pikirnya:
"Bilamana membicarakan soal kepandaian yang dimiliki sutit pada saat ini, jangankan dikata di permukaan sungai yang hanya berjarak seratus kaki itu, seharusnya ia dapat melihat, sekalipun jaraknya lebih jauh beberapa kali lipatpun pasti dapat melihatnya. Apakah mungkin saat ini ia pura-pura tak melihat ?? Tetapi tentunya dalam hati ia tidak bermaksud menemui kedua orang itu."
Sehabis berpikir secara demikian si perempuan tunggal Touw Hong pun tidak angkat bicara lagi dan mengikuti diri Liem Tou ini mengitari jalan pegunungan menuju ke atas gunung dengan mengambil sebuah jalan kecil.

Sembari berjalan tanpa terasa kepalanya menoleh ke arab permukaan sungai, tampaklah bayangan hijau serta putih saling terjang menerjang dengan samarnya bahkan jikalau ditinjau dari kecepatan putaran tubuh mereka berdua agaknya suatu pertempuran yang amat sengit sedang berlangsung.

Raja Silat (Yu Long Yin Feng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang