3. Remember

16K 959 42
                                    

Happy reading :)

Author PoV-

Rissa sedikit berlari menuju lift. Suara sepatu hak-nya terdengar nyaring di lorong yang memang sudah sepi, karena ada rapat pagi ini.
Ia kembali melihat jam tangan dan mempercepat larinya. Mungkin karena melihat bayangan seseorang berjalan tergesa, dan mendengar suara sepatu yang terdengar dengan tempo cepat, membuat seseorang di dalam lift menahan pintu benda yang akan tertutup itu.

Rissa bersyukur atas ke-peka-an siapapun orang itu dan ingatkan dia untuk berterimakasih nanti. Tanpa melihat orang di dalam lift, Rissa segera masuk. Ia mengatur napas sebentar, sebelum mengucapkan terimakasih sambil mendongak melihat orang tersebut. Namun ucapan terimakasih nya terhenti sebelum selesai, desahan lega yang tadi di keluarkan pun tertahan.

"Aris..." Bisik Rissa pelan, sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Alasan keterlambatannya hari ini ada di sampingnya. Ya, setelah semalam memutuskan menangis meratapi nasibnya, berakibat hari ini Rissa yang bangun kesiangan. Dan sekarang, mungkin orang di sampingnya akan menjadi alasan lagi untuk Rissa kalau tiba-tiba ia badmood dan meneriaki seluruh bawahannya.

Bukankah ini hari yang buruk?

Terlihat jelas keringat bercucuran di dahi dan pelipis Rissa. Ia sangat gugup sekarang. Lebih gugup dari kemarin malam, saat ia hanya berdua di mobil bersama orang yang sekarang di sampingnya. Kakinya mulai mengetukkan sepatu tidak sabaran pada lantai lift, dan tangannya memainkan bibir pelan. Kebiasaan saat perempuan itu sedang gugup dan gelisah. Rissa bahkan tidak berani mengalihkan tatapannya dari sederetan angka pada dinding lift, ia takut kalau tiba-tiba matanya tergoda untuk melirik ke samping, apalagi kalau kepalanya ikut menoleh.

Wangi parfum tercium samar di dalam lift yang hanya diisi dua manusia itu. Rissa tau ini bukan bau parfumnya, dan ia yakin ini wangi parfum orang di sebelahnya. Karena ia sangat mengingat wangi ini sejak mereka dekat........dulu.

Lift terbuka dilantai tujuan Rissa. Secepat mungkin perempuan itu melangkah, sambil berpura-pura melihat jam tangan. Menutupi ke gugupannya. Sampai akhirnya Rissa sampai di ruangannya dan meletakkan tubuhnya di sofa.
Untung saja ia tidak mengikuti meeting pagi ini.

Pikirannya kembali kacau, apalagi perasaannya. Apa mungkin cinta yang menurut orang-orang dan Rissa sendiri adalah cinta monyet itu, ternyata salah? Perasaan selama kurang lebih 9 tahun atau mungkin sampai sekarang itu, sepertinya semakin subur setiap harinya. Bahkan rasanya lebih besar dari sekedar cinta anak SD. Entah karena dia yang memang terlalu jatuh pada laki-laki itu, atau memang karena tidak -atau belum- ada yang bisa menggeser posisi laki-laki itu dari hatinya.

Rissa tau hatinya masih berpihak pada laki-laki itu sampai kapanpun, tapi ia tetap saja menolak mengakui untuk saat ini. Karena faktanya ia benar-benar tidak bisa menghilangkan rasa itu, hatinya tak pernah bisa diajak bekerja sama. Dan sekarang pikirannya pun memilih bersekutu dengan hatinya. Bahkan hanya dalam jangka waktu satu minggu -setelah bertemu kembali- ia langsung bisa menyatakan bahwa ia masih mencintai laki-laki tadi.

Aku mencintainya?

Rissa benar-benar ingin menangis lagi saat ini. Ia juga marah. Marah terhadap dirinya sendiri, kenapa tidak bisa menghilangkan nama laki-laki sialan itu dari hati dan pikirannya. Sejak dulu. Meskipun ia tak pernah melihat Aris selama 5 tahun setelah kelulusan SMA, bukan berarti ia tidak pernah memikirkan laki-laki itu.

Entahlah........

Kalau boleh jujur, Rissa ingin sekali menarik laki-laki tadi dan memeluknya. Sepuasnya. Menenggelamkan wajahnya ke dalam dada laki-laki sialan itu dan menangis sampai ia merasa lega.
Rissa ingin sekali memeluk laki-laki itu. Sangat ingin. Sampai rasanya ia rela melakukan apa saja agar bisa berlari ke dalam pelukan hangat itu.

Into the Arms (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang