Happy reading :)
Rissa—
Aku gugup. Serius.
Ini pertama kali aku menginjak rumah Aris setelah sekian puluh tahun lamanya.
Rumah ini masih sama. Tidak ada bedanya sama sekali. Di samping rumah Aris masih ada taman bunga kecil dan kolam ikan. Tempat yang paling aku sukai ketika berkunjung ke sini karena ada ayunan di sana. Dulu.
Dulu.
Mengingat dulu, seketika membuatku ingat tujuan ku ke sini.
Semalam, Aris kembali datang ke rumah. Memintaku mau ke rumahnya hari ini untuk menemui Mama nya dan menyelesaikan semua tentang kami. Menyelesaikan apapun yang sudah membuat kami kehilangan belasan tahun lalu. Lalu memulai semuanya lagi dengan lebih baik, dan lebih indah.
Dan aku merasa hatiku mulai tidak tenang. Entah nanti Aris memang akan menceritakan alasannya atau tidak. Karena aku justru tidak siap. Tidak siap jika nantinya dia akan menjauh lagi atau kemungkinan terburuk, dia akan pergi. Mengingat alasan itu yang membuatnya pergi.
Tidak Rissa. Aris bilang akan menyelesaikan semuanya dan memulai yang baru. Artinya, dia tidak akan pergi.
Oke. Itu cukup membuatku sedikit tenang, meskipun aku masih tidak siap.
"Kamu kenapa?" suara Aris sedikit mengejutkanku. Dan sadar akan sikapku yang sedikit aneh, dia mengambil telapak tanganku. Menggenggamnya. Menenangkan.
Harusnya aku yang melakukan itu. Harusnya aku yang menenangkan dia karena dia yang akan membuka memori lamanya. Memori yang aku tebak sangat menyakitkan untuk kembali diingat, karena sampai membuat Aris memilih pergi dari rumahnya. Dari keluarganya. Dari aku.
Aku melepas genggamannya, beralih menautkan jemari kami dan memberi seulas senyum tulus ketika ia menatapku.
Sebuah senyum ikut lolos dari bibir Aris. Wajahnya yang sejak tadi terlihat kaku sedikit rileks. Laki-laki itu lalu menarikku masuk lebih dalam ke rumahnya.
Ngomong-ngomong, Aris tadi menjemputku. Padahal jarak rumah kami tidak lebih dari 50 meter, dan masih satu blok.
Aku kembali memfokuskan langkah ketika Aris menarikku ke lantai dua.
"Mama kamu dimana?" tanyaku pelan, tidak ingin mengusik suasana sunyi di dalam rumah ini.Aris menoleh padaku, memberi senyum tipis. "Di kamar."
Aku mengangguk. Jadi, aku akan diajak ke kamar Mamanya. Tanpa bisa ditahan, aku mengedarkan mataku pada lantai atas. Mencari pintu berwarna abu-abu dengan stiker Batman yang menutupi setengah pintunya. Pintu kamar Aris.
Tanpa sadar aku tersenyum. Aris kecil yang tengil dulu suka dengan Super Hero. Dia mengoleksi banyak miniatur Super Hero dan hampir seluruh barang-barangnya berbau tokoh kartun yang menyelamatkan dunia itu.
Langkah kami terhenti. Aris menatapku sebelum mengetuk pintu dan masuk.
Aku melangkah ragu. Kulihat, di atas kursi roda, ada seorang wanita paruh baya sedang duduk menghadap jendela kamar. Dan wanita itu menoleh ketika Aris memanggilnya. Laki-laki itu memindahkan Mamanya ke atas tempat tidur. Dan dengan isyarat tangan, dia memintaku mendekat.
Sesampai aku di depan Mama Aris, beliau menarikku lembut untuk duduk di atas ranjang. "Rissa ya?" tanyanya dengan suara parau.
Aku mengangguk. "Iya, Tante."
"Akhirnya tante bisa ketemu kamu." ujar Mama Aris dengan senyum lembut. Beliau memintaku semakin mendekat padanya.
"Tau nggak? Aris dulu itu suka banget cerita tentang kamu." Mama Aris mulai berbicara, dengan tawa kecil di akhir kalimatnya. Wajahnya terlihat lebih ceria dari saat aku baru masuk kamar ini tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Arms (TAMAT)
RomanceWanita kaku, keras, dan anggun. Bukan hal mudah saat ia hampir bisa move on dari cinta pertamanya, tetapi kembali dipertemukan dengan si cinta pertama. Meskipun nyatanya, hatinya selalu dimiliki si cinta pertama. Kalau begitu, terus berada di bel...