Happy reading :)
Mataku terbuka perlahan. Mencoba duduk dan menguasai tubuhku yang masih lemas. Kepalaku berkunang-kunang. Dengan sedikit memaksa akhirnya aku bisa terduduk. Lalu mengedarkan pandangan pada segala arah.
Ngomong-ngomong, pukul berapa ini?
Ya Tuhan, menggerakkan kepala saja sangat sulit sekarang. Aku kenapa sebenarnya.
Dan masih dengan sedikit memaksa, aku menoleh ke arah kanan. Pada jam dinding yang menunjukkan pukul 01.25 WIB, tengah malam-mungkin. Karena tirai putih di bawahnya tidak menunjukkan cahaya sedikitpun. Masih gelap.
Tunggu. Sebelumnya aku tidur di sofa. Dan Aris ada di sebelahku. Tapi sekarang, aku sudah berada di kamar. Parahnya, tidak lagi mengenakan setelan kantorku. Aku mengenakan piyama. Tidak.
Suara pintu yang terbuka membuatku refleks menolehkan kepala. Dan God! Pusing sialan!!
Di depan pintu, Aris berdiri membawa sebuah nampan dengan satu mangku dan gelas di atasnya.
"Kamu bangun." gumamnya pelan yang bisa ku dengar.
"Pusing?" tanyanya ketika sudah meletakkan nampan di atas nakas dan berjongkok di samping tempat tidur.
Aku mengangguk sangat pelan.
Aris berdiri, lalu duduk di pinggiran ranjang. Tangannya terangkat untuk menyentuh dahiku. Dan aku tidak bisa menolak karena pusing sialan ini. "See? Kamu yang sakit." ujarnya dengan nada tajam, namun juga khawatir. Aris khawatir padaku.
Aku mengangguk lagi. Tidak ingin mendebat ucapannya mengingat tubuhku masih lelah, dan memang aku merasa sakit sekarang.
"Makan, minum obat, istirahat. Oke?"
Sekarang aku menggeleng.
"Aku nggak bisa makan tengah malam." tolakku pelan. Aku harus menolak kali ini. Aku memang tidak bisa makan di tengah malam.
Aris mengangkat satu alisnya. Bertanya tanpa suara.
"Makan tengah malam bisa naikin berat badan. Aku lagi diet."
Dan keningnya menjadi mengerut tidak suka. Oh, aku merasa salah bicara.
"Kamu sakit, dan masih mikirin diet?" tanyanya datar, namun sekali lagi, juga terdengar khawatir.
"Nggak juga, sih. Tapi aku benar-benar nggak bisa makan tengah malam." bantahku lagi, masih bernada pelan.
Aris tidak menjawab lagi. Tapi tatapannya berbicara. Mata sayunya terlihat marah, dan khawatir.
Oke. Aku mengalah. Akhirnya, aku menghela napas dan mengangguk. Seulas senyum tipis tercetak pada bibir Aris yang terlihat kering. Itu lebih baik.
Laki-laki itu kemudian mengambil mangkuk berisi bubur yang aku tidak tau darimana. Tangannya dengan lihai menyendok dan menyuapkan bubur padaku. Tapi hanya bertahan beberapa sendok sampai aku minta berhenti.
Aris kembali meletakkan mangkuk di atas nampan. Beralih mengambil gelas dan sebuah obat yang sudah dia siapkan. Dengan cepat, kegiatan ini selesai. Aris keluar membawa semua yang tadi ia bawa. Lalu kembali masuk dan duduk di ujung ranjangku.
"Istirahat Rissa. Aku harus pulang."
Setelah mengucapkan itu, ia beranjak mendekat. Mencium kening dan pipiku.
Aku tertegun. Dan hatiku bergetar.
Dia bangkit, dan berjalan menuju pintu.
"Aris." panggilku sebelum ia sempat menyentuh kenop pintu. Dia berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Arms (TAMAT)
RomanceWanita kaku, keras, dan anggun. Bukan hal mudah saat ia hampir bisa move on dari cinta pertamanya, tetapi kembali dipertemukan dengan si cinta pertama. Meskipun nyatanya, hatinya selalu dimiliki si cinta pertama. Kalau begitu, terus berada di bel...