Happy reading :)
Larissa-
Bukan hal baik menyetir sendiri ke Semarang dengan keadaan kacau seperti ku. Jadi aku memilih mengalah dan setuju berangkat bersama Aris. Juga karena Aris laki-laki paling keras kepala yang aku temui. Dengan segala ego dan gengsinya yang sangat tinggi itu, tidak mau kalah dalam hal apapun. Jadi lebih baik, aku menghabiskan perjalanan panjang ini untuk tidur dan...memikirkan Gilang mungkin.
Aku tidak tau apa yang membuatnya tiba-tiba mengucapkan kata berdampak besar seperti itu. Ketika ia memelukku dan tiba-tiba mengucapkan kata akhir. Akhir dari pertemanan kami dan akhir dari hubungan sepasang kekasih yang kami jalani sampai kemarin. Aku merasa kacau.
Berkali-kali aku menghubungi handphonenya, tapi tidak aktif. Dan sayangnya, aku tidak mengenal orang yang sekiranya sangat dekat dengan Gilang, setidaknya untuk aku menanyakan kabar laki-laki itu. Karena setahuku, hanya aku yang paling dekat dengannya selama bekerja di sini. Bahkan aku tidak tau di mana tempat tinggal keluarganya yang berada di Indonesia. Aku, tidak tau apapun tentang Gilang.
Dan rasanya, seperti kehilangan. Ketika setiap pagi dia yang selalu menelfon untuk mengucapkan selamat pagi, kini tidak ada. Dia juga yang sedikit banyak membantuku melupakan Aris, meskipun dia tidak mengetahui apapun tentang Aris. Terlebih, dia juga sudah berperan sebagai pelindungku. Aku kehilangan seorang teman, seorang sahabat terbaik.
Gilang...
Baru sehari aku sudah merindukannya. Rindu godaan kacangannya. Rindu suara jailnya. Rindu senyum tulusnya. Sepertinya saat ia pergi ke Chicago selama 5 bulan, aku tidak pernah merindukannya sampai seperti ini.
Gilang...
Laki-laki terbaik yang pernah aku kenal, dan dengan bodohnya aku selalu menyakiti hatinya. Bahkan aku tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu yang berharga untuknya.
"Rissa?"
Aku membuka mata ketika merasakan tubuhku terguncang pelan. Dan menemukan Aris yang sudah menatapku cemas. Aku membenahi dudukku dan sedikit menjauh darinya.
"Sudah sampai? Sepertinya baru seben—" ucapanku terhenti saat menatap pemandangan di depanku yang jauh berbeda dari pikiranku.
"Kenapa ke pantai? Reuninya di sini? Bukan di Semarang?" tanyaku lagi yang membuat senyum kecil lepas dari bibir Aris.
"Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu ke sini sebentar, ayo turun." setelah berkata itu, Aris keluar dari mobil terlebih dahulu. Memutari mobil dan berhenti di depan pintu penumpang depan. Membukanya dan mengulurkan tangan padaku. Meski ragu, aku menyambutnya.
Sepi. Tenang.
Sedetik kemudian aku sudah tersenyum, menyukai suasana tempat ini. Bahkan tanpa sadar mengeratkan genggaman tanganku pada Aris.
"Kenapa ke pantai?" tanyaku membuka pembicaraan. Kami masih berdiri sambil bergandengan tangan. Kapan terakhir kali aku merasa sedekat ini dengan Aris?
"Kamu butuh tempat ini sepertinya." jawabnya sambil memandang lautan lepas. Matanya menerawang jauh.
"Maksudnya?"
"Kamu tadi menyebut nama—Gilang, saat tidur."
Aris segera mengalihkan pandangannya ke sisi kiri, berlawanan denganku. Dan kurasakan genggamannya pada tanganku mengerat. Aku sedikit menarik tanganku karena sakit. Tapi sebelum terlepas, Aris melonggarkan genggamannya.
"Maaf."
Aku mengangguk. Benarkah aku sampai mengucapkan nama Gilang? Lalu kenapa sampai ia berpikir aku butuh tempat ini? Memangnya apa yang bisa aku lakukan di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Arms (TAMAT)
RomanceWanita kaku, keras, dan anggun. Bukan hal mudah saat ia hampir bisa move on dari cinta pertamanya, tetapi kembali dipertemukan dengan si cinta pertama. Meskipun nyatanya, hatinya selalu dimiliki si cinta pertama. Kalau begitu, terus berada di bel...