Prolog

9.7K 315 6
                                    

Gadis itu berjalan dari arrival bandara sambil menyeret koper yang berada di tangan kanan. Mata bulat yang bersinar itu menelusuri setiap sudut bandara yang ramai. Tiba-tiba seorang cowok berlari dari arah berlawanan menabraknya hingga terjatuh. Ia mendongak menatap orang itu yang meliriknya tajam. Tanpa ucapan maaf, pemuda itu berlalu pergi. Ia menatap kesal punggung yang mulai menghilang di antara keramaian.

Segumpal rasa kesal di hati, ia berdiri, namun, kenyataan kembali menyentaknya pada rasa sakit. Seorang pemuda lain menabraknya lalu pergi begitu saja tanpa melirik dan mengucapkan sepatah kata pun. Ia kembali berdiri dengan rasa dongkol yang telah sampai di ubun-ubun.

Di tempat lain, seorang pemuda berkaos hitam terlihat tengah mengamati setiap orang yang keluar dari arrival bandara. Ia melirik jam tangan dan menghembuskan napas, sudah lebih dari dua jam ia di sini. Pemuda itu mengerjap seketika merasakan ponselnya bergetar. Ia melirik sekilas sebelum menempelkan benda tersebut ke telinganya.

"Hallo."

"Belum, Tan. Tante bisa kirim fotonya?"

"Baik."

Tut tut ....

Terdengar jaringan telpon terputus dari seberang sana. Selang beberapa waktu, foto yang ia minta kepada lawan bicaranya tadi, masuk ke ponselnya.

Seketika matanya membulat saat melihat siapa yang ia tunggu sejak tadi. Ternyata gadis yang sempat ia temui sebelumnya. Ia belok kanan lalu berlari mencari orang yang tadi di tabraknya hingga berhenti tidak jauh dari tempat kursi menunggu, di sana terlihat gadis itu tengah asik dengan cemilannya. Tanpa menunggu lama--Alvin-- pemuda itu menghampiri dan merampas makanannya. Membuat orang itu mendongak lalu mendengkus kesal seraya mencoba merebut kembali makanannya.

"Balikin makanan aku!" ucapnya mencoba menggapai tangan pemuda itu. "Mau kamu apa, sih?" Melihat Alvin bergeming, ia melengos lalu duduk lagi."Kamu cowok tadi yang nabrak aku tanpa minta maaf 'kan? Bukannya ke sini minta maaf, malah cari ribut. Dasar Cigaso!"

Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. Shilla kembali membuang napas pendek."Cina nggak sopan!" Detik berikutnya, Shilla mengaduh ketika Alvin menjitak kepalanya. "Apa sih, sakit tau. Kenal enggak punya hubungan keluarga juga enggak. Kamu udah main kasar aja. Cowok kok--"

"Cerewet lo. Ikut gue!" ujarnya seraya menarik paksa tangan gadis itu.

"Eh, eh, apa-apan, nih! Kamu mau berbuat jahat. Mau culik aku? Jangan macem-macem! Lepasin nggak atau aku teriak!" ancam Shilla takut.

Ia baru dan tidak mengenal siapa-siapa di sini. Seharusnya ia tengah menunggu orang suruhan ibunya untuk menjemputnya, tapi kenapa ada cowok asing yang main tarik tangannya tanpa permisi? Jelas hal itu membuat Shilla ketakutan.

Brukk

"Aduh," Shilla meringis saat jidatnya membentur punggung Alvin yang berhenti tiba-tiba. "Kenapa berhenti? Sakit tau," ucapnya saat Alvin memutar tubuh berhadapan dengan Shilla yang sedari tadi membuatnya jengkel.

"Iya, gue mau nyulik lo. Puas?" Pengakuan Alvin dengan sorot mata meyakinkan itu membuat Shilla melangkah mundur. Alvin memutar mata malas. "Gue di suruh nyokap lo ngejemput anaknya yang cerewet," lanjutnya.

Shilla terlihat memikirkan sesuatu dan memilih untuk mencoba mempercayai ucapan Alvin.

"Kamu beneran nggak mau nyulik aku 'kan?" tanyanya memicing mata yang dibalas dengan kepergian Alvin dari hadapannya. "Ish. Kok bisa papa punya keponakan seperti dia?" gumamnya.

Pangeran Es [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang