Selama di perjalanan menuju sekolah, Shilla dan Alvin saling diam. Ada kecanggungan di antara mereka. Sesekali Alvin melirik Shilla yang menatap ke luar jendela mobil melalui ekor matanya lalu menghela napas berat. Perasaannya berkecamuk di dalam sana.
Ketika mobil yang mereka tumpangi masuk ke halaman parkiran sekolah, berhenti. Shilla keluar terlebih dahu tanpa menoleh dan mengucapkan apapun pada Alvin yang melihat kepergiannya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvin menghela napas, mengusap wajahnya kemudian mengambil tas yang di letakkan di jok belakang lalu keluar dan melangkah gontai menuju kelas.
Ketiga temannya menatap Alvin heran. Penampilan Alvin pagi ini terkesan berantakan dan wajah datarnya terlihat lesu. Rio mengernyit bingung melihat Alvin yang duduk di sebelahnya. Biasanya sebelum duduk Alvin selalu melemparkan senyum pada, tapi kali ini tidak.
"Lo kenapa?"
Salah, kalau kalian menganggap yang bertanya itu Rio. Ya, Cakka yang duduk di depan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Alvin.
Hening.
Ketiga saling tatap dan mengendik.
"Lo kenapa?"
Nada datar itu keluar dari mulut Rio. Berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Alvin menggeleng pelan.
"Jangan bohong!" Lagi, Rio yang berbicara.
Alvin kembali menggeleng.
Rio mengendik bahu. Jika seperti ini, dia harus mendiamkan Alvin untuk sementara waktu sampai cowok itu menceritakan masalahnya-- yang sebenarnya Rio sudah tahu. Meskipun tidak semuanya, tapi ia mengetahui intinya. Alvin menyukai Shilla, Via menyukai Alvin, dan sayangnya, Shilla tidak mencintai Alvin. Jadi, tidak ada kisah cinta segitiga di sini. Namun, di sini Shilla yang merasa bersalah. Bisa di katakan, kisah cinta yang rumit.
"Vin, kita sahabatan dari orok kali. Gue kenal tabiat lu. Jadi, cerita ke kita. Lo kenapa?" kata Cakka mendesak.
Alvin berdehem lalu menggeleng. Cakka menghela napas dan menggebrak meja, matanya menatap Alvin nyalang lurus yang kini menelungkup 'kan kepala di meja. Ia tidak terganggu sedikit pun oleh suara dan getaran yang diberikan Cakka akibat gebrakan itu.
"Oh, jadi sekarang lo nggak nganggep kita sahabat lagi, gitu? Oke, lo nggak usah cerita apa pun masalah lo ke kita. Lo ingetkan janji kita dulu, RACI itu saling terbuka apa pun masalahnya, nggak ada ditutup-tutupi gini. Belakangan ini lo berubah, Vin. Kelewatan berubah!" amuk Cakka kemudian keluar dari kelas.
Gabriel menghela napas sambil melirik kepergian Cakka lalu beralih ke Rio yang menatap Alvin dalam diam.
"Yo."
Rio menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Kayaknya Cakka juga punya masalah deh, sensitif banget tu anak."
Rio mengangkat bahunya.
"Ya udah, lo temenin Alvin di sini. Biar Cakka gue yang susul, gimana?" usul Gabriel.
Rio mengangguk setuju. "Sana. Lo redain tuh, emosinya."
Gabriel mengangguk dan beranjak pergi dari kursinya.
¶Yoshil¶
"Shil, are you okey?" tanya Acha yang duduk di depan sambil melambaikan tangan di wajah Shilla yang semenjak masuk kelas melamun tak jelas.
Acha melirik Gita yang duduk di sebelah Shilla. Gita menggendikkan bahu lalu mengoyangkan lengan Shilla. Shilla tersentak dari lamunannya dan menatap Gita dengan sebelah alis yang terangkat. Seakan bertanya 'apa'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Es [End]
Fanfiction[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu yang nauzubillah menyebalkan dan mengenal Mario, yang kerap di sapa Rio adalah satu hal yang patut ia syukuri. Copyright ©2015 Salam, Anak...