Siang yang cerah. Rumah besar bak istana yang terbiasa sunyi, kini ditempati oleh dua pemuda yang membuat suasana sepi menjadi riuh. Kali ini terasa hidup dan terlihat layaknya rumah yang memang berpenghuni.
"Alvin mana?" kata seorang cowok yang tiduran di sofa.
"Tauk," balas seseorang yang duduk di lengan sofa, sambil mengendikkan bahu.
"Tu anak gue lihat akhir-akhir ini sering nggak ngumpul bareng kita."
"Bener tu, Ka," ujarnya mengiyakan ucapan orang yang di panggil Ka atau lebih tepatnya Cakka yang tengah tiduran di sofa.
"Lo ngapain sih, Iel? Sibuk dengan ponsel mulu," tanya Cakka kesal. Pasalnya lawan bicaranya itu tidak menatapnya saat berbicara.
"Main game. Lo mending diem jangan ganggu konsentrasi gue!" ucapnya dengan mata yang fokus pada benda ditangannya.
Seorang cowok lain yang baru datang langsung merebut paksa ponsel di tangan Gabriel. Membuat Iel mendongak sekaligus menatap pasrah melihat siapa si pelaku. Sumaph serapa yang mendadak muncul di kepalanya terpaksa di telan kembali di tenggorokannya. Ia tidak bisa berkutik jika itu berhadapan dengan si pemilik rumah.
"Mending lo hubungi Alvin!" Perintahnya sambil duduk dan melemparkan ponsel itu kembali ke pemiliknya.
Iel mendengkus kesal."Kenapa harus gue? Kan ada Cakka," ujarnya tidak terima.
"Lakuin aja!" ujarnya datar, tapi terdengar memerintah.
Mendengar itu membuat Gabriel cemberut dan Cakka tertawa senang melihat sohibnya yang terkena sial.
"Aduh, Bang Iel ... jangan cemberut gitu dong, ntar cakepnya hilang loh," godanya setelah mampu meredakan tawanya.
Gabriel mendelik kesal pada Cakka. Rasa nya ia ingin melempar pemuda itu dengan ponselnya, tetapi sayang, gawai itu baru saja ia beli awal bulan lalu. Berusaha mengabaikan Cakka yang masih meledeknnya, ia langsung menghubungi Alvin yang sekarang entah di mana. Beberapa menit panggilan itu terhubung dan terdengar suara orang di seberang sana.
"Hallo,"
"Lo di mana?" tanyanya to the point.
"Kenapa?"
"Jawab napa! Lo di suruh Rio ke rumahnya sekarang!" ujarnya kesal.
"Gue gak bisa."
Setelah kata itu, panggilan pun berakhir secara sepihak. Membuat Gabriel berkomat-kamit, ketidaksukaan atas kebiasaan temannya yang satu itu.
"Dia nggak bisa," ujarnya melihat Rio malas.
Rio menatap Gabriel dengan sebelah alis terangkat.
"Jangan tanya alasannya apa, karena gue juga nggak tau kenapa."
¶Yoshil¶
Kantin adalah tempat perkumpulan para siswa-siswi yang merasa lapar, haus atau pun bahkan cuma sekadar menumpang duduk.
Jam istirahat waktu yang sangat pas untuk memenuhi kantin. Suara tawa serta obrolan kecil dari seluruh penjuru ruangan membuat kantin terdengar bising.
Ke dua gadis itu memasuki kantin dan berjalan ke arah satu meja yang terletak diujung ruangan. Satu dari mereka pergi ke sebuah warung, beberapa menit Via kembali dengan nampan di tangannya.
"Nih, Shil pesenan lo. Siomay pedas," kata Via meletakkan mangkok di depan Shilla.
Shilla tersenyum tulus. "Thanks, Vi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Es [End]
Fanfiction[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu yang nauzubillah menyebalkan dan mengenal Mario, yang kerap di sapa Rio adalah satu hal yang patut ia syukuri. Copyright ©2015 Salam, Anak...