Bab 1

318 14 1
                                    


Chapter 1
Rindu

Aku bisa merasakan kehadiranmu, walaupun kita berbeda
-kejora

  KELAS unggulan terasa sepi, hanya ada beberapa murid yang bertengger tetap disana. Termasuk si gadis ceria, Kejora. Bibirnya ditekuk kebawah, matanya hitam pada bagian kantungnya, rambutnya sedikit berantakan, dan sekarang wajahnya sedang disembunyikan dibalik tangan yang dilipat. Kebiasaan gadis itu, tidur hingga pagi menjelang. Entah itu belajar, mengerjakan soal, latihan dan bla bla bla.

Hari ini, sepertinya hari ter-hoki. Kalian tahu, semua guru mengadakan rapat sampai jam dua belas siang. Katanya mau membahas soal kelas tambahan untuk semua murid. Sekarang, jam baru menunjukkan ke angka sembilan. Kejora memilih berdiam diri dikelas, eh ralat lebih tepatnya tidur dikelas daripada bercengkrama di kantin.

"Jo, lo kenapa? Sakit ya, mau gue anter ke Uks?" Ucap seorang gadis yang baru saja datang.

Kejora mendongak, lalu tersenyum teduh,"Gue gak pa-pa kok, lo gak usah khawatir. Lebay deh."

"Pasti bergadang lagi. Jo, gak usah segitunya deh. Gue yakin, kalo beasiswa itu rezeki lo. Lo bakalan dapet kok."

"Usaha juga perlu, ven. Kalo gue diem aja, mana mungkin beasiswa itu dateng ke gue?" Vena, menggelengkan kepalanya. Percuma, mau dia berbicara samapai berbusa pun. Kejora akan tetap batu. Karena memang itu sifatnya.

"Jo, dicariin abang lo di lapangan. Disuruh kesana." Teriak salah satu murid.

"Oke. Thanks infonya. Gue ke lapangan dulu ya, Ven?" Pamitnya, lalu bergerak keluar kelas.

Ada apa abangnya memanggil? Biasanya kalau begini ada hal penting. Apa jangan-jangan?
Kejora yang tadinya berjalan santai, kini berlari kilat dengan mimik wajah yang cenderung khawatir.

"Abang, gimana? Mau ngomong apa? Dia udah ketemu, 'kan?" Tanyanya beruntun.

"Sabar dulu, Jo. Dia belum ketemu sampe sekarang, dan asal lo tau. Dia ikutan balapan sebelum kejadian itu." Mata Kejora membulat.

"A–apa, balapan? Ini salah gue bang, coba aja waktu itu dia gak ngikutin gue, coba aja dia gak dengerin semua omongan dokter, coba aja—"

"Lo gak usah nyalahin diri lo sendiri. Percuma, dia gak bakalan pulang." Potong Reval, kakaknya.

"Gue emang bodoh, seharusnya gue gak matahin kepercayaannya. Seharusnya gue gak nyembunyiin ini semua dari dia. Seandainya gue bilang dari awal ke dia, mungkin dia gak bakal kecewa sama gue?!" Bulir-bulir kecil meluruh tembus ke pipinya.

Reval merengkuh sang adik,"Kita cari dia pulang sekolah. Gue yakin, sekarang dia ada di tempat balap." Ajaknya pada Kejora.

"Jo pulang jam tujuh malem. Abang pulang dulu aja, nanti jam tujuh jemput aku di sekolah." Nada bicaranya berubah menjadi aku-abang. Biasanya kalau sudah begitu, Kejora mulai merasa lelah.

Reval memaklumi itu,"Iya, nanti abang jemput. Jangan telat minum obatnya, Jo." Kejora mengangguk.

Keduanya meninggalkan lapangan. Kejora kembali ke kelasnya sambil menunduk. Air matanya mengering, jadi sebelum ia masuk ke kelas. Kejora memutuskan pergi ke toilet, sekedar membersihkan bekas air matanya tadi. Kebetulan, toilet sedang kosong. Jadi, tidak ada yang tau kalau dia baru saja menangis. Keran dikucurkan, mengeluarkan air segar. Kejora membasuh mukanya pelan.

Diam menatap lewat kaca, dirinya terlihat seperti monster seram. Matanya yang di kelilingi lingkaran hitam, seperti kuntilanak di film-film horor. Dia berkaca kembali, Kejora merasa kalau dirinya itu pembawa sial. Entah mengapa, tapi pikirannya memang begitu.

Bintang KejoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang