Dila
Selama perjalanan ke rumah sakit, gue masih terus menangis.
Namun kali ini dalam diam karena sepertinya suara gue sudah habis.
"dil, plis tenang. michael ga bakal kenapa kenapa. dia baik baik aj-", kata ka Dika hendak menenangkan tapi langsung gue potong.
"engga! kaka bohong! dia ga baik baik aja! liat kan tadi dia tergeletak gitu aja sementara badan dia berdarah semua?! itu yang kaka bilang baik baik aja?!", ucap gue spontan berteriak.
"dil, gue tau kondisi dia emang parah. tapi gue bisa janjiin lo ini, dia pasti baik baik aja nanti. lo sekarang tenang ya.", katanya lembut tanpa memikirkan perkataan kasar gue barusan.
Gue mengangguk lemah, "o-oke."
--
Sesampainya di rumah sakit, gue bergegas membuka pintu mobil dan menutupnya kencang sedangkan ka Dika hanya menghela nafas melihat tingkah gue.
Pintu ambulancepun terbuka dan menampakkan tim medis yang buru buru mengangkat tubuh lemahnya.
Matanya masih terpejam.
Tanpa aba aba, gue berlari ke arahnya.
"mba, jika ada keperluan, silahkan ikut kami. tapi sebelumnya, apa mba tau nomor keluarga korban yang bisa dihubungi?", tanya seorang perawat yang juga berjalan mengikuti.
"ga, mba.", jawab gue seadanya sambil terus berjalan gelisah.
Setelah agak lama berjalan, tim medis itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk melakukan pengobatan.
"mba, silahkan tunggu di luar dulu ya.", kata perawat yang sama sambil masuk ke ruangan itu.
Gue hanya menghela nafas frustrasi sambil duduk di sebuah kursi.
Ka Dika ikut duduk.
"dil, ini prosesnya masih lama. lo mau makan di luar dulu?", tanya ka Dika sambil mengusap tangan gue.
"ga. ga selera.", jawab gue tanpa menatapnya melainkan menatap kosong dinding putih polos di depan gue.
Mata gue bengkak dan merah sekarang. Rambut gue acak acakan.
"oke, gue aja yang beliin.", ujarnya sambil beranjak keluar rumah sakit.
Gue tidak menatap kepergiannya.
Yang gue pikirkan hanya Michael.
Benar benar hanya dia.Gue takut dia kenapa kenapa.
Gue bukan bermaksud berlebihan, karena liat aja tadi?
Dia terbaring gitu aja di aspal dan ga ada satu orangpun yang nampak peduli sama dia.
Ya gimana gua ga marah?
Gue tau ada dari mereka yang nelpon ambulance, tapi ya mau gimana?
Gue udah terlanjur hancur.
Hancur karena lihat sekujur tubuhnya berdarah.
Hancur karena lihat wajah manisnya itu harus bergesekan dengan aspal dan kerikil yang tajam.
Hancur karena lihat senyum indahnya harus hilang saat pingsan tadi.
Hancur karena percakapan terakhir kami, adalah percakapan yang tidak menyenangkan.
Sedih lebih tepatnya.
Kenapa? Kenapa harus sekarang?
"nih, dil, kebetulan ada warung bubur di dekat sini.", kata ka Dika dan langsung duduk lagi di sebelah gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY
Teen FictionDila, seorang gadis yang bisa dibilang sempurna untuk anak remaja, jatuh cinta untuk pertama kalinya di sekolah barunya. Alex, seorang pemuda yang juga dikagumi di kalangan remaja wanita, jatuh cinta kepadanya. Michael, salah seorang anak yang digem...