8. Warning!

27.5K 1.3K 57
                                    

Lily's pov

Tangan besarnya memainkan rambutku dan mengelusnya penuh sayang. Sedangkan lengan yang lain mendekapku erat, tak membiarkanku bergerak barang seincipun. Bibirnya tanpa melayangkan kecupan yang terasa menusuk di puncak kepalaku.

Dia berdiri terlalu dekat hingga mmebuatku bisa merasakan aura dingin yang menguar dari tubuhnya, kembali mengingatkanku akan malam pembantaian orang tuaku.

Lantai yang sedingin es.
Angin bertiup kencang sama sekali tak mempedulikan diriku yang meringkuk di sudut ruangan saat menyaksikan pembantaian itu dengan menangis histeris.
Tenagaku terkuras habis. Bahkan, hanya untuk sekadar menggerakkan kaki saja aku tak mampu.

Hanya ada aku, mayat orang tuaku yang tak lagi berbentuk, dan..

Dia.

Aku menutup mataku,
membiarkan air mata membasahi pipiku.
Aku tak tau lagi apa yang harus kulakukan.

"I miss you so bad, My Lily." ucapnya, menghirup aroma dileherku, memberi kecupan kecil disana. Tubuhku gemetar hebat karena perlakuannya, pandanganku pun mulai buram karena air mata. Aku menutup mataku lagi, membiarkan air mata itu membasahi pipiku.

Tiba-tiba, lelaki itu menggeram.
Alarm di otakku menyala,
menandakan bahaya yang mengintaiku.
Seketika itu juga, tanganku bergerak liar, berusaha memukul apa saja, menendang apa saja. Akhirnya, ia melepaskanku.

Baru saja aku akan berlari,
tubuhku diputar lalu dibanting dengan keras ke dinding. Aku meringis merasakan sakit luar biasa di punggungku. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, sebuah benda bergerak dengan kasar di bibirku.
Mataku membelalak, tanganku mendorong sekuat tenaga badan besar di hadapanku. Tapi semua itu sia-sia, dia malah memperkuat ciumannya, membuatku menjerit kesakitan. Air mata putus asa mulai mengalir di pipiku, tapi kakiku tetap tak berhenti menendang.

"L-llepaskan aku! K-kkau monster!" teriakku. Tiba-tiba, sebuah tamparan melayang mengenai pipi kananku,
membuat tubuhku tersentak.

"Diam atau kubunuh kau sekarang juga!" Iris gelapnya menyorotku tajam sekaligus dingin. Tangannya memegang daguku erat, membuatku meringis kesakitan.

Aku terdiam beberapa saat,tak berani membuka mulutku.
Hanya membiarkan air mataku mengalir. Aku bisa merasakan tanganku yang gemetar, nafasku yang pendek-pendek. Aku melirik ke arah lain, tak berani menatap matanya.

"Lihat aku, sialan!" bentaknya sambil meninju dinding di sebelahku. Aku memejamkan mataku erat-erat, tak berani untuk membukanya barang sedetikpun.

"Sudah kubilang, lihat aku!"
teriaknya murka, lalu menampar pipi kiriku kuat-kuat hingga membuat kepalaku terhempas kuat membentur dinding.

Sakit luar biasa di kepalaku bertambah parah saat kurasakan perih di kedua pipiku. Akhirnya, aku menatap manik gelap itu sambil menangis ketakutan.

Dia mengerikan.
Dia monster.
Dia pembunuh.

Dia balik menatapku dengan senyum keji.

"Itu hukumanmu karena membantahku. Tapi kita belum selesai bermain, sayang." ucapnya dengan senyum iblis.

Aku hanya bisa menangis saat dia mencium leherku kasar, menyedotnya kuat-kuat. Dapat kupastikan kulitku akan membiru keesokan harinya.
Tangan besarnya dengan kasar bergerak di dalam kaosku, membuatku berteriak panik. Dia membenturkan punggungku berkali-kali karena mencoba untuk kabur.

Dia terus menggigiti leherku,
membuat lebih banyak kissmark.
Seakan tidak puas, ia kembali mencium bibirku seakan tak ada hari esok. Dia tak berhenti, sikapnya hanya menambah memar di seluruh tubuhku.

Psycho Admirer ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang