Lily's pov
Hal pertama yang kurasakan adalah sakit tak terkira di sekujur tubuhku. Tubuhku seakan remuk dan tak berbentuk lagi.
Kupaksakan untuk membuka mataku yang langsung menutup kembali. Aku mengerang karena cahaya dengan ganasnya menusuk-nusuk mataku.
Kubuka mataku perlahan dan mengerjap, berusaha menyesuaikan mataku dengan penerangan di ruangan ini.
Kudapati diriku terbaring di ranjang king size berwarna hijau gelap. Tanganku bergerak menyusuri seprai yang terasa lembut di tanganku. Kamar ini didominasi oleh warna hijau lembut yang memberi kesan damai dan menyenangkan. Membuatku merasa berada di tengah hutan.
Dengan penglihatanku yang semakin membaik, terlihat jelas beberapa lukisan serta patung-patung kuno yang tak bisa dipungkiri, memiliki nilai jual yang tinggi. Di sudut kamar terdapat sebuah grand piano yang terlihat berdebu seperti tak tersentuh oleh tangan-tangan berbakat selama berabad-abad.
Perhatianku teralihkan pada beberapa foto serta miniatur menara eiffel yang ditata dengan indah di atas sebuah meja belajar.Aku terdiam beberapa lama.
Mulai memutar otakku, berusaha memanggil memoriku. Berusaha mempertahankan segenap kesadaran yang kumiliki.1 detik.
2 detik.
3 detik.
Aku menyerah.
Otakku buntu.
Pening di kepalaku semakin parah.
Ruangan ini berputar-putar, membuatku kehilangan fokus.Aku mengerang memegangi kepalaku, yang langsung kusesali karena pergelangan tanganku memar dan kelihatan bengkak.
Saat sibuk dengan penderitaanku, pintu kamar menjeblak terbuka. Tampaklah Alaric, rambut coklat gelapnya berantakan. Terdapat garis-garis cemas di sekitar mulutnya serta mata abu-abunya yang menatapku khawatir.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Lily." ucapnya, berjalan cepat kearahku.
Aku berusaha untuk duduk yang membuatnya mendelik padaku karena tak menurutinya. Dia langsung mengangkatku agar duduk dipangkuannya.
Dia mengelus rambutku dan mencium puncak kepalaku penuh sayang lalu membawaku ke pelukan hangatnya yang membuatku merasa nyaman dan aman.
"Bagaimana perasaanmu?" ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dariku barang sedetikpun.
"Entahlah, kepalaku seakan mau pecah." ucapku sambil meringis.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa kau yang menyelamatkanku? Kenapa aku tak bisa mengingatnya dengan jelas?" tanyaku bertubi-tubi.
Semua emosi bercampur dalam diriku. Frustasi, kesal, bingung, takut, membuat sakit kepalaku menjadi-jadi.
"Pertanyaanmu terlalu banyak, Lil." ucapnya sambil mengacak rambutku yang kubalas dengan melotot padanya.
"Jangan melotot, Lily. Kau terlihat semakin imut." ucapnya lalu mencium pipiku.
"Berhenti memanggilku imut!" ucapku kesal.
"Kau memang imut, lil' girl." ucap Alaric sambil terkekeh geli.
"Aku bukan bocah, Alaric!"
"Okay, okay. Ya, aku menyelamatkanmu saat bajingan itu menciummu! Aku bersumpah akan mengoyak-ngoyak tubuhnya dan membakar mayatnya dengan tanganku sendiri!" ucapnya sambil memelukku erat yang membuatku meringis dan bergidik ngeri. Mata abu-abunya menggelap dan menatap tajam.
Aku menatapnya takut, berusaha melepaskan pelukannya. Aku tak pernah percaya bahwa Alaric bisa semengerikan ini.
Seakan tersadar, dia melonggarkan pelukannya tapi tak melepaskanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Psycho Admirer ✔
Romance= Dark Romance = Lily, gadis bertubuh mungil dengan kehidupan yang serba sempurna. Tapi, kehidupan yang sempurna itu berubah menjadi malapetaka. Lily melihat langsung pembantaian orang tuanya yang membuatnya terguncang. Siapa sebenarnya pembunuh ora...