14. Then Die!

17K 961 219
                                    


Lily's pov

"Turunkan aku! Turunkan aku, Blaze!"

Dengan sekuat tenaga kupukul bahu lebarnya dan menendang tanpa henti. Pukulanku terhenti saat ia melemparkanku ke bagasi dengan kasar dan menguncinya. Pandanganku menjadi gelap. Dengan panik aku memukul dan menendang, tapi berakhir dengan sia-sia. Udara terasa kelewat pengap,
membuatku sulit bernafas.

"Lucien... Hiks..."

Aku mengusap kasar air mata yang mengalir tanpa henti di pipiku. Karena terlalu lelah dengan semua ini akupun tertidur.

*****

Lelaki berambut pirang itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tak diperdulikannya bunyi klakson serta makian karena tingkah berandalnya.
Setelah beberapa menit, mobil itu mulai melaju pelan. Blaze mulai duduk dengan tenang, deru nafasnya mulai teratur dan stabil.

"Satu hal yang membuatku cukup puas hari ini, Lily bersamaku. Ya, aku belum puas sepenuhnya. Belum, sampai semuanya tercapai." ucapnya dengan senyuman licik.

Mobil itu mulai menelusuri jalanan sepi, tampak sekelilingnya pohon-pohon yang menjulang tinggi menghiasi sepanjang jalan. Hari mulai gelap, membuat udara menjadi lebih dingin dan cenderung mencekam.
Tampak sebuah rumah yang cukup besar dan indah tapi terkesan misterius dan dingin.
Mobil itu berhenti. Lampu sen masih setia menyorot bangunan itu. Hari yang gelap membuat cahaya lampu itu cenderung mencolok diantara gelapnya malam.

Blaze turun dari mobilnya. Dengan langkah tergesa-gesa dibukanya bagasi mobil dan mendapati gadis mungil itu meringkuk layaknya janin.
Sejenak rasa prihatin hinggap dalam dirinya, tapi segera diabaikannya. Tangannya mulai merengkuh tubuh Lily, membawanya ke dalam rumah itu.

Gadis itu tampak tertidur pulas, tak terganggu sedikitpun oleh langkah Blaze. Lelaki itu menghela nafas lega saat mendapati gadis itu tetap terlelap hingga mereka sampai di sebuah kamar.

Dengan hati-hati Blaze membaringkan tubuh Lily di kasur besar itu. Tangannya bergerak mengelus rambut biru gadis itu, mengecup keningnya dan berlalu meninggalkan kamar.

*****


Ruangan itu berantakan,tak ada lagi bagian yang benar-benar sesuai dengan aslinya. Vas bunga yang dulunya tertata rapi sekarang hancur berkeping-keping mengotori lantai. Meja yang tadinya ditata dengan elegan sekarang sudah hancur, menyisakan potongan serta serpihan kayu yang tak berarti.

Keadaan pemiliknya juga tak lebih baik. Pria berambut gelap itu masih setia menutup matanya. Luka disekujur tubuhnya masih basah oleh darah. Nafasnya yang awalnya stabil mulai memberat dan terputus-putus.

Tiba-tiba, sepasang iris gelap itu terbuka bersamaan dengan dirinya yang terbatuk keras.
Pundaknya berguncang hebat, tangannya mencengkram erat karpet yang didudukinya yang sudah basah oleh darahnya sendiri.

Ringisan kesakitan lolos dari bibirnya. Dengan tangan gemetar Lucien memegang kepalanya yang seakan mau pecah.

Matanya yang biasa menatap tajam sekarang tampak sayu dan redup. Dengan susah payah ia berusaha mengembalikan kesadarannya. Sejenak pikirannya hanya terfokus pada segala macam luka yang dideritanya. Detik berikutnya, Lucien menghentikan segala ringisan yang dikeluarkannya dan terdiam.

Blaze!
Lily!

Seakan ditampar kenyataan Lucien tiba-tiba bangkit dari duduknya, membuat luka di perutnya terbuka.

Lucien mengumpat keras merasakan betapa dalamnya hujaman pisau jahanam itu. Dia tak menyangka bahwa luka itu mampu melumpuhkannya dalam sekejap.

"Lily." ucapnya pelan, nyaris berbisik.

Psycho Admirer ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang