Waktu 2: Rasa

1.3K 96 6
                                    

Semarang, Februari 2014.

Kebahagiaan terpancar jelas terlihat di wajah-wajah yang memakai toga di kepalanya. Wajah riang yang penuh tawa karena satu langkah sudah mereka lalui. Masih banyak langkah yang mereka harus lalui, sebelum mencapai sukses menurut pribadi mereka masing-masing.

Banyak buket bunga yang terlihat. Ucapan selamat tak hentinya terdengar dari mulut-mulut manusia yang berdatangan untuk menyaksikan sebuah tradisi yang menjadi ajang untuk memupuk percaya diri.

Dan ada sebagian yang hanya menikmati euforia ini sesaat. Beberapa orang itu mengerti, jika ini hanya kesenangan belaka dan pada akhirnya, ada sesuatu yang harus mereka lakukan. Banyak cara yang mereka harus tempuh demi menadapatkan sebuah status karyawan yang menjadi mindset mereka.

Masih banyak yang harus mereka lakukan agar menjadi manusia yang mandiri demi negeri tercinta ini. Mementingkan bagaimana nanti bisa hidup enak, namun kebanyakan lupa tentang bagaimana mati enak. Menanggalkan sebuah prinsip sejenak, memberikan sebuah toleransi dalam diri untuk berkaya lain. Namun sejatinya, tak ada yang mereka rengkuh kecuali kesia-siaan.

"Habis ini mau kemana?" tanya seorang perempuan berhijab dengan toga yang melingkari kepalanya.

"Mungkin kembali ke Jakarta," balas orang yang ditanya sambil membawa buket bunga yang ia terima saat tadi keluar dari ruang auditorium kampus. "Lo sendiri, nggak mau nyoba kerja di Jakarta. Balik lagi gitu?"

Tak ada jawaban dari perempuan itu. Hanya sebuah senyuman manis yang terukir di bibirnya. Entah mengapa, waktu terasa begitu cepat bagi mereka. Sepertinya baru kemarin mereka mengenal, namun kini hanya ada perpisahan di depan mata mereka.

"Kita lihat aja nanti, Ka. Apa gue mau balik ke Jakarta atau tetap bahagia bekerja di sini," balas perempuan itu.

"Ayolah balik. Kapan lagi bisa ngumpul coba? Apalagi nanti gue bisa traktir lo. Balas jasa gitu selama gue berada di sini kan, lo yang traktir gue."

"Gue mah ikhlas kali dengan apa yang udah terjadi. Kagak usah ada bales-balesan segala," balas perempuan itu. Langkahnya terhenti sejenak sambi memandang lelaki yang ada di sebelahnya. "Lo kalo mau balas jasa, balas jasa ke nyokap bokap lo aja. Buat mereka bahagia. Dengan gitu, lo udah balas jasa ke gue."

Lelaki itu berhenti sejenak. Memandang perempuan yang sudah ia kenal selama beberapa tahun terakhir ini. Perempuan yang selalu tersenyum, tertawa seperti tidak ada beban pada hidupnya. Namun sejatinya, lelaki itu mengerti bagaimana keadaan perempuan itu.

"Lo harus ke Jakarta. Lo harus ngerasain kerja di sana, Nin. Pokoknya gue nggak mau tau, gue bakalan nguber lo sampai kembali ngerasain Jakarta," ucap lelaki itu dengan yakin.

"Silahkan saja Tuan Dika," tantang perempuan itu. "Gue tunggu ucapan lo."

"Woi lo berdua lama bener, udah ditungguin sama anak-anak di selasar," ucap seorang lelaki dengan pakaian yang sama. Toga melingkar di kepalanya. "Ka, lo dicari nyokap lo. Hanin, dicari sama keluarganya Tata."

Perempuan dan lelaki itu hanya tersenyum. Kaki mereka melangkah mendekat ke arah selasar kampus. Sudah banyak orang-orang yang menunggu mereka.

Mungkin waktu ini hanya sementara untuk mereka rasakan. Kebahagiaan sesaat yang membuat rasa bangga terungkap. Lama sudah mereka menanti. Dan sudah terbayar setengah kini. Sisanya, akan mereka lunasi ketika mereka mengukir cita mereka yang dinamis. Bergerak sesuai dengan ambisi dan situasi.

Namun diantara rekah senyum yang terukir. Ada banyak rasa yang tersimpan dalam hati. Tak banyak orang yang mengetahui. Mereka hanya berharap, rasa ini akan tetap sama seiring mereka bekerja untuk mencari modal demi melangkahkan kaki ke tahap yang lebih hakiki.

¤¤¤

"Emang dia siapa?" tanya seorang perempuan yang memakai hijab seadanya. Maklum, ia baru memakai hijab beberapa bulan lalu. Masih dikatakan baru, walaupun ia Islam dari kecil. Kayla Hanindya.

"Siapa?" tanya seorang lelaki yang sedang asik memakan loteknya. Ergiansyah, teman dekat Hanin semenjak masuk kuliah.

"Yang barusan ngehampiri kamu," balas Hanin. Kini dia sudah duduk di hadapan Ergi.

"Kenapa? Suka?" balas Ergi to the point.

"Idiiih ... cuma nanya aja kali," balas Hanin sewot.

"Andika Afnan, kamu pasti sering denger," balas Ergi tenang. Ia menyuapkan kembali sayuran ke mulutnya. Mengunyah dan menelannya. "Aku juga baru kenal sih. Nggak sengaja dikenalin sama Satria."

"Yang anak Jakarta itu? Yang ..."

"Iya bener," potong Ergi tanpa mendengar penjelasan dari Hanin. "Yang ... yang ... selalu kalian bicarakan."

Hanin hanya mendecih. Sebal karena pembicaraannya dipotong kayak kertas. BETEK!

"Ternyata dia asik juga kok anaknya. Nggak kayak digosipkan selama ini."

"Emang kamu denger apa yang digosipkan tentang Dika?"

"Ceileeeh ... manggilnya aja udah Dika. Fix ini kamu kepoin dia!"

Bayangan hampir lima tahun lalu terbayang dikepala Hanin. Pertemuan pertama dengan Dika walaupun tak saling sapa.

Baru kemarin ia merasakan sebuah rasa, namun Hanin pupus karena kenyamanan sebagai teman, berlanjut ke sahabat. Dan rasa itu tak pernah menyapa, sampai beberapa hari kemarin.

Bolehkah Hanin berharap lebih dengan apa yang sudah ada? Bolehkah Hanin meneruskan rasa ini menjadi sesuatu yang lebih fana? Bolehkah Hanin menetapkan hatinya bahkan sebelum ia mengetahui kepastiannya?

¤¤¤

Ketika kamu jatuh cinta, jatuh cintalah dalam porsi yang wajar. Cintailah dia karena Allah. Sayangi dia atas izinNya. Tidak perlu berlebihan, agar Allah tidak merasakan kecemburuan. Jangan terlalu berharap pada manusia, sebab kamu bisa merasakan sesal dan kecewa. Cukuplah menggantungkan seluruh harap, hanya pada Allah semata. Niscaya kamu akan selalu hidup dengan berkah dan cintaNya. Jika memang kamu bisa, berusahalah untuk selalu mengimbangi rasa. Agar hatimu senantiasa terjaga. Untuk belahan jiwa yang akan Allah hadiahkan nantinya. - coretanharianku

¤¤¤

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang