Jakarta, Maret 2016.
"Lo kenapa sih, Nin?" tanya Alea, teman sekantor Hanin. Hanin hanya menatap Alea. Berusaha fokus. "Are you allright?"
"Gue baik-baik aja kok, Al. Maaf tadi gue agak blank," balas Hanin sambil duduk di balik meja kerjanya. "Thanks a lot for today. Lo udah nyelamatin gue."
"Lo ada masalah?" tanya Alea. "Nggak biasanya lo kayak gini. Apalagi di meeting saat klien penting. Lo biasanya lancar."
"Gue lagi nggak enak badan aja kali ya," ucap Hanin beralasan. "Beberapa hari terakhir gue lembur terus soalnya."
"Lo lagi ngalihin perhatian ke kerja, Nin. Masalah nggak akan selesai kalo lo menghindar," balas Alea. Alea mengerti perubahan sikap Hanin. Hanin memang competible banget sebagai karyawan. Apalagi dia termasuk jajaran karyawan teladan. Tapi Hanin melakukannya dengan cara yang cerdas. Bukan bekerja lembur demi naik jabatan atau mengejar setoran. Bukan juga tipe yang menunda dan mengakhirkan kerjaan ketika besok deadline. Dan akhir-akhir ini, Hanin bekerja melebihi kapasitasnya. "Gue tau, lo bukan tipe anak yang bisa sembarang curhat. But please, Nin. Bersikap cerdas lah. Jangan kayak orang yang nggak punya solusi."
Hanin terdiam. Alea benar. Ia salah dengan mengalihkan rasa sakitnya dengan bekerja melampaui kapasitas. Tapi ... ia masih belum punya sebuah jawaban bagaimana ia harus menjawab semua rasa sakitnya. Semua rasa gundahnya. Semua air matanya yang tak bisa ia keluarkan sembarangan. Karena Hanin bukanlah tipe orang yang mampu memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain.
"Wake up, Nin. Sebelum ini menjadi semakin buruk buat situasi lo sama diri lo sendiri," jelas Alea sambil meninggalkan Hanin.
Hanin menghela napasnya. Jawaban atas sakit hatinya. Jawaban atas segala kegelisahannya. Bodohkah ia memilih pria yang belum tentu akan menjadi masa depannya.
"Kenapa harus mikir-mikir sih, Nin? Udahlah pindah aja. Biar ngumpul jadi satu di sini," balas lelaki yang berada di ujung sana. "Ntar gue anterin cari kos deh yang dekat-dekat kantor lo. Kantor deket juga sama rumah gue, jadi gampanglah nanti kalo main."
Hanin teringat percakapan antara dirinya dan Dika di awal tahun. Hanin bercerita tentang surat pemindahannya ke Jakarta.
Dan entah mengapa, Dika yang menghubungi Hanin. Entah karena apa. Dan Hanin langsung membicarakannya.
"Ntar kan lo bisa main sama nyokap gue. Nyokap gue penasaran banget sama elo, Nin."
Hanin hanya menghela napasnya. Kini kenangan-kenangan yang menjadi alasannya untuk pindah ke Ibukota terasa hambar tak terasa. Malah terasa pahit. Namun, tak bisa dihindari oleh Hanin.
"Lo kalo ketemu sama cewek yang Dika pilih, lo pasti ..."
"Cewek yang Dika pilih?" tanya Hanin memotong obrolan yang sedang berlangsung. "Dika udah punya calon?"
"Dika belum cerita ke elo?" tanya Deo bingung.
Hanin menggelengkan kepalanya. Akhir-akhir ini memang ia dan Dika tak pernah bertemu. Bahkan obrolan di aplikasi online pun jarang. Telepon? Tak pernah. Dika memang memberitahu Hanin jika ia akan sibuk tiga bulan ke depan. Tapi Hanin ya Hanin, iya percaya tanpa ada rasa was-was.
"Udah ... udah woi. Ngeghibah ntar jatohnya," balas Irsyad. Teman kuliah mereka dan juga teman dekat Dika semenjak SMA. "Ini gue habisin ye ..."
Hanin memandang langit Jakarta yang cerah siang ini. Hujan sudah semakin jarang. Paling hanya sesaat, kemudian Jakarta akan diterangi oleh matahari.
Hanin hanya bisa terpekur dalam kesendiriannya. Menatap langit cerah ibukota. Mengilas balik apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Rasa yang telah lama ia pendam. Rindu yang hanya kesemuan belaka. Sayang yang tak pernah ia ungkapkan. Cinta? Semua hanya sebuah jebakan belaka.
Lalu ... mengapa Hanin disini? Mengapa ia berada di sini? Bukankah kepindahan dia untuk mendekatkan? Bukankah kepindahan dia untuk menghapus jarak? Lantas, mengapa semua malah berbalik dari apa yang ia harapkan? Mengapa? Mengapa?
Hanin memandang layar smartphone nya. Ada beberapa chat yang belum ia balas. Salah satunya dari Fiza. Ya ... mungkin untul saat ini ia akan nongkrong dengan Fiza. Melupakan sejenak masalah yang dia buat sendiri. Semoga ada angin segar dalam pikirannya.
Semoga ...
¤¤¤
Sekarang banyak orang yang terjebak terhadap cinta yang salah. Orang banyak terjebak terhadap rindu yang salah. Orang banyak terjebak dalam kasih sayang yang salah. Siap memulai cinta, harus siap tersakiti oleh cinta. Terjebak dalam cinta yang salah, maka siaplah berakhir dengan sesuatu yang salah. Tapi memulai cinta yang benar, maka bersiaplah menghadapi sesuatu yang benar itu dengan kekuasaan yang begitu besar. - Ust. Handy Bonny
¤¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu
Short StoryPercayalah, sesuatu yang menurutmu buruk, belum tentu buruk di hadapan Allah. Sesuatu yang baik menurutmu, belum tentu baik dimata Allah. . Jika kamu menjaga Allah, maka Allah akan menjagamu. ¤¤¤