Jakarta, Desember 2016.
"Gue rasa, Dika nyembunyiin sesuatu deh, Syad. Nggak mungkin Dika berubah gitu aja," jelas Hanin ragu. "Apa gue ngomong langsung sama Dika ya?"
"Lo mau ngomong apa? Alasan kenapa Dika nikahin Fiandra? Atau tentang perasaan elo yang belom tersampaikan?" tanya Irsyad telak.
Hanin terdiam. Seribu bahasa. Ini bukan tentang perasaannya. Tapi ... memang ada sesuatu yang janggal tentang Dika.
"Dika udah gede. Udah ngerti mana yang benar dan mana yang salah," balas Irsyad. "Keputusan dia bulat. Nggak ada yang bisa mecah. Lo tau sendiri kan?"
"Lo udah nyoba ngingetin?" tanya Hanin ragu.
Tak ada jawaban dari Irsyad. Hanya sebuah helaan napas panjang.
"Gimana kalo gue ..."
"Nin," potong Irsyad sebelum Hanin menyelesaikan omongannya. "Setelah lo ngomong apa yang ada dipikiran lo ke Dika, apakah lo mampu bersikap sama ke Dika? Setelah lo berbicara dengan maksud baik ke Dika, apakah lo siap nerima putusan Dika?"
"Tapi ..."
"Setelah lo ngomong ke Dika, apa perasaan lo bakalan tetap sama?" tanya Irsyad lugas. "Lo pernah hancur gegara cinta yang nggak pernah pasti, sekarang? Apa lo masih mengharapkan cinta itu?"
Hanin terdiam. Mulutnya terkunci jika itu sudah masalah hati. Hanin bukanlah tipe orang yang bisa mencurahkan isi hatinya.
"Lebih baik lo nggak tau tentang semuanya, Nin. Daripada lo tau dan malah elo kecewa," jelas Irsyad. "Gue anter lo ke kosan lo. Jangan lupa jahitan lo sama jahitan Tata."
"Lo tau semuanya, Syad?" tanya Hanin menghentikan gerak Irsyad yang sudah bangkit berdiri. "Lo ... udah tau alasannya?"
Hanin hanya bisa menghela napasnya ketika mengingat pembicaraannya dan Irsyad pulang kantor tadi. Tentang idenya untuk berbicara kembali pada Dika.
"Pernikahan mereka udah di depan mata, Nin. Lo mau ngomongin apalagi?"
Hanin memejamkan matanya sejenak. Benar perkataan Irsyad. Ikatan akad mereka sudah di depan mata. Mungkin sudah terlambat atau ... Allah memang sudah menyiapkan seperti itu?
Hanin hanya bisa memandang baju seragamnya yang kini sudah terpajang rapi dibalik pintu kosannya. Dua minggu lagi acara itu akan dimulai. Dua minggu lagi Dika dan Fiandra akan mengikat janji suci mereka.
Hanin menghela napasnya. Panjang ... sambil merebahkan tubuhnya. Matanya memandang langit-langit kamar kosannya.
Mungkin hatinya sudah tak berlabuh pada sebuah cinta semu khayalan belaka. Mungkin hatinya sudah berhenti mengenal kata cinta yang hanya sementara saja. Tapi mulutnya tam pernah berhenti untuk berdoa yang terbaik bagi teman-temannya.
Jika memang ini sudah jalan Allah yang sudah dipersiapkan, maka jalan inilah yang terbaik, gumam Hanin dalam hati.
¤¤¤
"Teh, Mas," ucap seorang perempuan yang lebih muda empat tahun dari Irsyad menaruh secangkir teh di hadapan Irsyad. "Mas kayaknya capek banget?"
"Alhamdulillah, makasih ya, Ar," balas Irsyad sambil mengambil secangkir teh buatan adik perempuannya ini. "Mas nggak apa-apa kok, Ar. Mungkin lagi banyak kerjaan."
"Ada undangan dari Mas Dika," balas Arsy. "Mas Dika udah milih yang lain, Mas," tambah Arsy. "Kenapa Mas Irsyad nggak sama Mbak Hanin?"
"Udah malam, kamu nggak tidur? Ntar kesiangan tahajudnya," ucap Irsyad mencoba mengalihkan pembicaraan tentang Hanin.
"Mas mau sampai kapan kayak gini terus? Kalo emang udah yakin, kenapa nggak ngelamar aja? Jangan jadiin Mbak Hanin fitnah, Mas."
"Ar ..."
"Mama sama papa pasti setuju banget, Mas. Apalagi Adnan, pasti ..."
"Ar, nggak semudah itu Mas melangkah ..."
"Pilihan Mas Irsyad cuma dua, Mas. Halalkan atau lupakan," balas Arsy tegas. "Kalo memang Mas hanya menganggap Mbak Hanin sebagai sahabat, maka jaga perasaan Mas Irsyad agar tak melewati batasnya. Kalo nggak sanggup, maka lupakan."
"Ar ..."
"Arsy sayang sama Mbak Hanin, Mas. Arsy pengen Mbak Hanin jadi kakak Arsy. Tapi ... kalo ujung-ujungnya Mbak Hanin hanya jadi fitnah buat Mas Irsyad, lebih baik Arsy nggak mengharapkan lebih."
Irsyad terdiam sejenak mendengar perkataan Arsy. Fitnah buat dirinya? Ya Allah, kenapa Irsyad melupakan itu? Ya Allah, sejauh inikah ia berlaku futur?
"Arsy tidur dulu, Mas. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumussalam warohmatullah."
¤¤¤
Memang status tidak jelas itu mempersulit suasana. Karena itu perjelas kalau memang ini sudah beranjak dewasa, kira-kira mampu tidak dalam persahabatan itu menjaga adab pergaulan? Mampu tdak untuk tidak berkhalwat? Mampu tidak untuk menjaga sebagian pandangan? Saling menyayangi sebagai sahabat ini sangat sulit diterjemahkan. Karena apa? Karena resikonya. Memang persahabatan terbaik itu, persahabatan suami dan istri. Nah kalau bisa diproses kesana, segera lapor ayah-bunda. Kalau memang tidak mampu menjaga adab-adab pergaulan. Tidak mungkin segera diproses ke pernikahan, maka cut dulu sementara. Sampai tiba waktunya cinta bisa diterjemahkan menjadi hal yang paling indah. Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Israa': 32) - Ust. Salim A. Fillah (Persahabatan Suami Istri)
¤¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu
Short StoryPercayalah, sesuatu yang menurutmu buruk, belum tentu buruk di hadapan Allah. Sesuatu yang baik menurutmu, belum tentu baik dimata Allah. . Jika kamu menjaga Allah, maka Allah akan menjagamu. ¤¤¤