Waktu 7: Hijrah

469 60 0
                                    

Semarang, Februari 2010.

"Eh, pada tau kan kalo Hanin udah pake kerudung?" tanya seorang perempuan yang sedang duduk di depan Dika. "Ih ... nggak cocok banget ya. Kelakuan masih kayak gitu."

"Berkerudung sih nggak menjamin kalo dia bakalan berubah kali. Mungkin nanti malah tambah parah kelakuannya," balas seorang lelaki yang berada di samping perempuan itu. "Malah ngejelekin kerudungnya tau nggak?"

"Iya ya?" balas si perempuan yang sibuk melihat dirinya di cermin kecil yang selalu dia bawa. "Mending hijabin hati dulu."

Dika hanya tersenyum sinis mendengar pembicaraan orang-orang dikelasnya. Hari ini, mulai dari pagi, pembicaraannya tentang perempuan bernama Hanin. Bukannya ia tak tau yang mana Hanin, tapi ia memang belum kenal.

Dika bangkit dari duduknya. Tadinya ia ingin bersantai sejenak sebelum mata kuliah fisika dimulai, namun ... yang ia dapat hanyalah omongan. Ghibahan. Bukannya malah santai, hatinya malah makin kesal.

"Kenapa lo? Rejet amat?" tanya Irsyad yang memang sudah berada di depan kelas sambil memandang ke arah parkiran kampus di bawah sana.

"Sedari pagi, yang gue denger Hanin. Hanin dan Hanin," balas Dika.

Irsyad hanya tertawa mendengarnya. Memang benar apa yang dikatan Irsyad, sedari pagi, kupingnya selalu mendengar satu nama. Hanin. Anak kelas sebelah yang sudah mulai berhijab. "Yah ... konsekuensi kali."

"Gue bingung, ada yang berhijab, malah pada nggak rela," balas Dika bingung. "Nggak cocok lah, nggak pantas lah. Jilbab nggak sesuai dengan prilaku lah. Mending hijabin hati dulu lah. Hijab mah dipakai di kepala kali, kalo hijabin hati, ketutup atuh hatinya."

Irsyad hanya tersenyum tipis. Ia memandang sesosok perempuan yang baru datang sepertinya. Perempuan yang kuliah di kelas sebelah. Parempuan yang seharian ini tengah hangat dibicarakan. Kayla Hanindya. "Cuma teman-teman yang buruk yang berpikiran seperti itu. Temen yang baik adalah teman yang mengajak ke kebaikan. Mengajak mendekat ke Allah."

"Lo lagi nyeramahin gue?"

Irsyad tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia menatap Dika yang hampir empat tahun menjadi sahabatnya. "Gue cuma iri sama si Hanin ini. Dia udah ditampakkan mana teman yang benar-benar mendukung dia berubah dan mana teman yang hanya ingin tersenyum dan tertawa didepannya, namun nge-ghibah dibelakangnya. Allah pasti menyayangi dia."

"Lo kenapa melow gini sih?" tanya Dika ngeri.

"Ya Allah, gue ngomong bener, di bilang melow. Gue ngomong sinis dibilang PMS. Lo pade mau gue ngomong pegimane?"

"Nah gini nih ..." balas Dika sambil mengacung-acungkan telunjunya di muka Irsyad. "Ini baru Irsyad!"

"Ingin rasanya membanting elo," ucap Irsyad gemas.

Dika hanya tertawa. Matanya masih menatap perempuan yang sedang mengobrol sama Ergi. Kemudian matanya menangkap sosok dosen yang sedang naik tangga. "Pak Walid, masuk bro!" ajak Dika. Dika langsung mengacir ke dalam kelas.

Irsyad hanya tersenyum sambil memandang perempuan yang sama. Wajahnya menoleh ke arah sebelah kanannya. Ada seorang lelaki yang juga memandangi ke arah yang sama dengan dirinya. Ada kerutan di dahinya.

Kenapa dia tersenyum? Ke arah Hanin pula, tanya Irsyad dalam hati. Jangan-jangan ...

"Syad! Masuk!" teriakan Dika membuyarkan spekulasi Irsyad yang ia tanamkan kepada lelaki yang sedang memperhatikan Hanin itu.

Semoga tidak.

¤¤¤

"Lagipula kenapa sih kalo kita ikutan tradisi? Toh ini juga udah dilakukan sejak lama," ucap seorang lelaki gagah dengan tatapan yang tajam.

"Sampai meminum khamr?" tanya seorang lelaki yang menatap sama tajamnya. "Jika itu melanggar aturan, maaf. Mending kami dicap sebagai apatis."

"Ini tuh lingkungan kampus ..."

"Lingkungan kampus juga lingkungan kami. Di sini kami juga menuntut ilmu. Melaksanakan kewajiban yang tertera jelas di kampus."

Bayangan ketika dua kubu berkumpul dan berdebat antara kebaikan dan tradisi masih teringat jelas di dalam memori Irsyad. Irsyad memang tak membuka mulutnya, juga lelaki yang tersenyum ke arah Hanin itu. Deandra Pahlevi atau sering dipanggil Levi. Lelaki pendiam yang berbeda kubu dengannya. Namun, mengapa tersenyum menatap Hanin dari kejauhan? Apa itu hanya perasaannya? Tapi ia melihat dengan nyata.

"Kenapa lo?" tanya Dika yang sedari tadi memperhatikan Irsyad yang sedang melamun.

"Nggak apa-apa," balas Irsyad sambil meminum jusnya. "Lo ntar sore datang futsal nggak?"

"Nggak," balas Dika sambil mengerenyitkan dahinya. "Lo mau datang?"

"Nggak. Gue mau tidur," balas Irsyad. "Cabs yuk, gue ngantuk," tambah Irsyad tanpa menunggu Dika.

Dika hanya terdiam melihat sahabatnya. Ada tanya di kepalanya, namun Irsyad bukanlah orang yang mampu berbicara dengan lugas jika ditanya langsung. Dika harus menunggu untuk menanyakan tentang keanehan sahabatnya.

¤¤¤

Disaat kita keluar untuk mencari kebenaran. Disaat kita keluar untuk sholat ke masjid, ngaji di majelis ta'lim. Ada saja sebagaian orang beriman yang tak suka. Ini yang tak suka dengan kita keluar, bukan orang-orang kafir, non muslim, bukan. Tapi orang beriman yang tak suka kita ngaji. Ada kayak gitu? Ada. Ada mungkin keluarga kita yang tak suka kita ngaji. Ada kakak kita yang tak suka kita ngaji, ada kawan kita yang tak suka kita ngaji, ada orang diluar kita yang tak suka kita ngaji. Sama-sama orang beriman. Disaat kita memutuskan untuk berhijrah, kita pakai jilbab panjang. Disaat kita mulai menghapal Al-Qur'an, disaat kita mulai sholat ke masjid. Ada saja yang tak suka. Tapi walaupun begitu, teruslah keluar. Untuk apa? Untuk mencari ridhonya Allah. Karena dengan kita keluar ngaji inilah Allah senang. Karena ini perintah Allah. - Bang Berry El Makky (Ada Saja yang Tak Suka.)

¤¤¤

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang