Waktu 4: Lelaki

932 100 9
                                    

Jakarta, September 2016.

Jakarta masih saja kemarau walaupun bulan telah memasuki bulan September. Malam yang cerah, walau cahaya bintang kalah terang dibanding cahaya lampu gedung yang menghiasi malam.

Dan di waktu malam ini Hanin tengah berada di keramaian mall di bilangan Kasablanka. Ia sedang sibuk menyeruput kopi dari salah satu kedai kopi yang berada di sana. Menunggu teman-temannya yang sedang menuju ke sana.

"Woi! Udah lama?" sapa seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di hadapan Hanin. Irsyad Nur Rahman atau Hanin sering memanggilnya dengan Irsyad.

Hanin hanya bisa berjengit kaget karena kedatangan temannya itu. "Astagfirullah ..." balas Hanin. Untung saja ia nggak keceplosan berkata kasar. "Lo kalo datang bisa pake assalamualaikum nggak sih? Jangan kayak jelangkung dah," ucap Hanin ngedumel. Khasnya kalo kaget, marah-marah nggak jelas.

"Assalamualaikum, Mbak Hanin," balas Irsyad dengan senyum manis terukir di bibirnya.

"Wa'alaikumussalam," balas Hanin juga pada akhirnya. Walaupun dengan wajah yang cembetut kayak badut.

"Deo belum datang?" tanya Irsyad sambil mencomot cake cokelat khas dari kafe ini.

"Menurut lo? Ih ... Syad, cake gue," balas Hanin sambil mengambil piring cake dari hadapan Irsyad. "Ih ... gue belom merawanin, lo udah main embat aja!"

"Lo beli lagi gih, sekalian beliin gue matcha," balas Irsyad yang langsung mengambil kembali cake cokelat yang udah ia makan.

"Lo ya, udah datang telat, main comot aja, sekarang malah nyuruh gue. Pengen gue pites!" dumal Hanin kesal.

Irsyad hanya terkekeh. Udah enam bulan ini dia tidak mendengar cerocosan dari mulut Hanin. Ya ... enam bulan lamanya, Hanin berdiam diri, atau lebih tepatnya lebih menjadi pendiam. Enggan berkumpul dan entah menjadi lebih sibuk dengan kegiatannya.

"Udah sembuh lo?" tanya Irsyad sambil nikmat memcabik cake-nya.

"Emang gue sakit apaan?"

"Sakit hati?" balas Irsyad. Bercanda sih maksudnya, tapi malah nyebut kenyataannya.

Hanin terdiam. Tatapannya mulai berubah. Seulas senyum menghiasi bibirnya. Apa sedrastis itu tingkat kegalauannya? Apakah sedrastis itu perubahannya? Bahkan sampai seorang Irsyad menyadarinya? Padahal Hanin dan Irsyad termasuk dua manusia yang tak akrab, walaupun mereka bisa dibilang dalam satu perkumpulan yang sama.

"Kenapa?" tanya Irsyad membuyarkan lamunan Hanin.

Hanin memandang wajah Irsyad. Nampaknya sepotong cake sudah tandas. "Emang gue segitu berubahnya, Syad?"

"Yang gue tau, cewek cerewet itu bakalan pendiam kalo nggak bermasalah sama hati atau ..."

"Atau apa?"

"Galau ada yang nikah," balas Irsyad sambil terkekeh. "Waktu Tata nikah, lo berubah pendiam banget. Chat lama banget dibalas. Telepon nggak diangkat-angkat. SubhanAllah, ampe Ergi sama Deo bingung ketar-ketir."

Hanin menyipitkan matanya. Menghela napas panjangnya. Sabar, sabar, Hanin. Lo tau kan betapa reseknya Irsyad. Sabar, Hanin. Pahala lo ntar bertambah, ucap Hanin pada dirinya sendiri.

Hanin menyeruput kopinya. Ia masih melihat wajah Irsyad dengan senyuman reseknya. "Oiya, waktu Cita nikah, lo kemana ya, Syad? Kok barisan sakit hati nggak pada datang?" goda Hanin.

Irsyad terdiam. Matanya menatap Hanin tajam. Cita, sudah lama nama itu tak pernah ia dengar. Terakhir, terakhir kali saat Patra bilang jika Cita akan menikah dengan kakak angkatan mereka. Entah kakak angkatan yang mana. Irsyad pun tak pernah tau dan tak pernah mau tau.

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang