Waktu 6: Bimbang

783 85 3
                                    

Jakarta, Januari 2016.

Semarak tahun baru sudah lewat dua minggu lalu. Kini waktunya kembali ke kenyataan. Realitas sehari-hari yang biasa dilakukan. Tak banyak yang berubah seusai pergantian tahun. Semuanya masih tetap sama. Masih tetap dengan iramanya.

Dan Irsyad masih tetap berada di tempatnya. Bekerja dengan komputer di depannya. Menganalisa data yang entah benar apa tidaknya. Memilah berbagai parameter yang sudah ia kenal semenjak kuliah dulu.

Biasanya ia dengan senang hati mengerjakan pekerjaannya. Namun entah mengapa, untuk kali ini, ia tak mampu konsentrasi. Ada yang mengganggunya. Ada yang mengusiknya. Memorinya bermunculan. Kenangan-kenangan, ingatan-ingatan, seolah sedeng diputar seperti bioskop.

Irsyad memincingkan matanya. Kacamatanya seolah masih belum membantu penglihatannya. Ada yang ganjal dengan dua orang yang sedang ia lihat. Dua orang yang jelas bukan mahram. Karena yang Irsyad tau mahram buat lelaki itu hanya ibunya saja. Saudaranya? Ia tak punya adik atau kakak perempuan yang menjadi mahramnya. Lalu siapa perempuan yang sedang makan dengan lelaki yang ia kenal itu?

Deo: meetup mau kagak?

Deo: hanin lagi rapat di kantor gue

Irsyad membaca pesan online dari Deo.

Irsyad menimang smartphone nya. Ada kegundahan di sana. Apakah ia harus datang atau ...

Irsyad menghela napasnya. Kenangan yang ia rekam antara Hanin dan Dika seolah terputar tanpa di suruh. Kenangan bersama sebenarnya, namun ... namun Irsyad melihat sebuah ikatan lebih diantara mereka. Entah hanya perasaannya atau sekedar melihat. Namun, Irsyad sangat yakin dengan firasatnya.

Irsyad: I'm in

Irsyad: plasfest aja

Deo: siap boss!

¤¤¤

"Udah lama lo?" tanya Deo yang sedang menghampiri Irsyad di salah satu kedai donat.

"Lumayan lah habis satu avocado coffee," balas Irsyad.

Deo dan Hanin hanya nyengir kuda. Itu berarti cukup lama buat Irsyad karena Irsyad kalo minum kopi kayak kura-kura. Lelet.

"Makan apaan?" tanya Irsyad to the point.

"Lo maunya apaan, Nin?" tanya Deo.

"Terserah," ucap Hanin sambil mencomot donat Irsyad yang belum disentuh.

"Ini nih yang paling gue sebel dari elo, Nin. Makan bilang terserah, diskusinya ampe setengah jam. Sekalinya udah diputusin mau makan apa, ntar lo bilang mau makan ini. Mau makan itu. Ngiler ini, ngiler itu," cerocos Irsyad.

Biasanya sih kalo cewek beneran bakalan marah nggak sih kalo digituin? Dan bisa berujung berantem dan ngambek.

Tapi Hanin?

Ia hanya cengengesan. Membenarkan apa perkataan Irsyad. Lah memang dia begitu kok. Selama ini, kalo urusan perut adalah urusan paling lama. Diskusi hampir sejam, ujung-ujungnya mending bikin Indomie pake telor. Atau nggak pecel ayam depan kampus. Beres. Masalah selesai.

"Lo PMS apa gimana sih, Syad? Sensi amat," balas Deo bingung.

"Gue mau makan burger," balas Irsyad tanpa ditanya.

"Carl's?" tanya Deo.

"Terserah ..." balas Hanin.

Dasar emang cewek yaaa ...

"Yaudah, cabut sekarang. Biasa Carl's suka rame jam segini," balas Deo.

Mereka bertiga langsung beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing. Mereka melangkah ke arah gedung sebelah yang menyediakan makanan yang mereka ingini.

"Gue ke kamar mandi dulu, lo berdua duluan gih, gue nitip pesenan biasa yak," balas Deo sambil ngacir ke arah kamar mandi.

Irsyad dan Hanin hanya bisa menggelengkan kepala. Deo memang mereka kenal sebagai peninggal jejak dimanapun mereka berada.

Irsyad dan Hanin melanjutkan jalan mereka ke gedung sebelah. Hanya diam yang mereka lakukan. Memang bukan kebiasaan keduanya untuk memulai pembicaraan. Ditambah mereka memang tidak sedekat apa yang bisa dikatakan 'sahabat'.

"Dika apa kabar, Nin?" tanya Irsyad memecah keheningan.

"Lah bukannya lo temennya? Rumah lo deketan juga," balas Hanin.

"Kosan elo juga deket kali," balas Irsyad tak mau kalah. "Kayaknya dia diem-diem aja. Emang kemana?"

"Katanya sih lagi di lapangan, tiga bulan apa," balas Hanin setaunya dia. Santai, tanpa ada ragu.

Irsyad menghela napasnya. Berpikir sejenak. Apa kemarin hanya halusinasi dia atau ...

"Kenapa emangnya?"

"Lo udah punya calon?" tanya Irsyad.

Hanin berhenti melangkahkan kakinya. Menatap Irsyad bingung. "Ma ... ma ... mak ... sud lo?"

"Calon imam, calon buat dijadiin suami?" balas Irsyad. Ia berhenti melangkah juga. Badannya berbalik menghadap Hanin. "Lo udah punya?"

Hanin tak menjawab. Ada gundah di hatinya. Apakah ia harus menjawab iya atau tidak. Iya? Apakah apa yang Hanin sangkakan selama ini dengan Dika akan menjadi kenyataan? Hanin masih ragu dengan apa yang dilakukan Dika. Tidak? Hatinya ingin membantah, namun secara rasional, itulah jawaban yang ada.

"Kalo lo masih ragu sama seseorang, jangan pernah mengharapkan lebih darinya. Jangan mengharapkan terlalu tinggi dengannya. Karena nanti, ketika lo tau realita yang ada, semakin tinggi apa yang lo harapkan, semakin sakit yang lo rasakan."

"Syad ..."

"Kalo kesempatan buat menyelamatkan perasaan elo itu masih ada. Maka mulailah dari sekarang untuk menyelamatkan hati lo."

"Lo kenapa sih?" tanya Hanin bingung. "Emang lo tau siapa yang gue suka?"

Irsyad hanya terdiam. Enggan menjawab. Ia tau, ia berlebihan. Apalagi sikap itu berlebihan di depan Hanin. Irsyad memandang Hanin yang masih nampak keheranan. Sesaat kemudian, ia melangkahkan kakinya memasuki pelataran restoran yang ia tuju. Meninggalkan Hanin yang masih berdiri menatap bingung dirinya.

¤¤¤

Ternyata amal sholeh itu bukan cuma fisik atau dzahir, tapi juga perasaan, sehingga baper itu masuk hal yang penting dalam agama. Harus baper, tapi dalam hal apa dulu? Allah mengatakan bahwa, alssam'a wal bashara, pendengaran, penglihatan dan fu'ad, perasaan. Semuanya mas-uulaan, akan ditanya nanti di akhirat. Ternyata perasaan juga ditanya teman-teman. Jadi kalau kita ada rasa yang belum move on, padahal udah nggak boleh, itu ditanya. "Kenapa kamu nggak bisa move on?". "Ya Allah, akunnya itu setiap postingan bikin saya baper, gimana bisa move on?" Kalau kayak gitu perasaan kan terus menerus berbuat dosa. Jadi kita ngerasa sayang kepada orang yang belum halal buat kita, itu setiap hari kita bikin dosa lho, tanpa kita sadari. - Ust. Hanan Attaki (Hari-Hati dengan Rasa)

¤¤¤

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang