Waktu 18: Obrolan

377 58 0
                                    

Jakarta, Agustus 2010.

"Gimana kuliah, Mas?" tanya seorang lelaki yang berumur di pertengahan 40-an kepada anak sulungnya.

"Alhamdulillah lancar, Pa," balas sang anak sulung. "Papa mau pergi?"

"Pergi kemana?" tanya sang papa bingung.

"Biasanya kalo papa nyamperin Irsyad, papa minta anterin kemana gitu," balas sang anak sulung.

"Ya Allah, Mas. Memangnya kalo papa mau ngobrol sama kamu harus minta anterin dulu gitu?" balas sang papa tertawa. "Papa ke sini cuma mau ngobrol sama kamu kok. Kayaknya kalo kamu di libur, kamu sibuk sama teman-teman kamu atau di kamar terus."

Irsyad hanya tersenyum garing saat mendengar celoteh sang papa. Sakit tak berdarah memang.

"Kemarin katanya ada teman kamu yang ke sini?" tanya sang papa. "Siapa namanya?"

"Tata sama Hanin," balas Irsyad.

"Ah ... iya," balas sang papa. "Kata mama, yang katanya dari temen-temen kamu, kamu udah putus? Bener?"

"Bener," jawab Irsyad.

"Kenapa?"

"Ya ... nggak apa-apa," balas Irsyad. "Qodarullah, Pa. Allah ngasih jalan yang baik buat Irsyad."

"Masya Allah," balas sang papa dengan senyuman. "Jawaban kamu diluar dugaan papa."

"Ya ... mau jawab dia nggak kuat LDR-an juga itu karena Allah juga sih."

"Wuiih ... anak sulung papa udah gede nih, udah dewasa," balas sang papa sambil mengelus kepala anak sulungnya. Biasanya anak sulungnya enggan untuk di elus begitu, tapi entah mengapa sang anak sulung menerima saja. "Kamu senang kuliah di Semarang?"

"Senang nggak senang, dijalanin sih, Pa," balas Irsyad. "Semuanya disyukurin aja."

"Alhamdulillah," balas sang Papa. "Jadi kamu lanjutin kuliah di Semarang? Nggak mau pindah ke UI?"

Irsyad hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang papa. Baru beberapa bulan lalu ia ngomong kalo akan mengikuti tes ulang, tapi sebulan kemudian, pikirannya sudah berubah. Manusia memang.

"Kalo gitu, kamu nikmatin aja kuliah di Semarang," balas sang papa. "Ah ... iya, kata mama, orang tua Hanin sudah meninggal?" tanya sang papa. "Dia masih nerusin kan?"

"Alhamdulillah masih kok, Pa. Alhamdulillah, dia dapat beasiswa," balas Irsyad. "Orang tuanya juga ninggalin biaya buat Hanin."

"Alhamdulillah," balas papa. "Kalo ada apa-apa, kamu ngomong sama papa ya. Siapa tau, papa bisa bantu."

Irsyad terdiam sejenak. Ada sesuatu yang ia pikirkan. "Pa ..."

"Hm ..."

"Menurut papa, kalo menikah muda gimana?"

"Menikah sambil kuliah?" tanya sang papa. "Kamu mau?"

"Nanya aja, papa setuju nggak?" tanya Irsyad was-was.

"Setuju aja, kenapa nggak?" balas sang papa. "Malahan itu melatih sih, tapi ya harus dipikirkan dengan matang. Kamu siap atau nggak, atau calonnya kamu siap atau nggak. Emang calonnya kamu siapa? Hanin?"

"Kan Irsyad cuma tanya, Pa."

"Beneran juga nggak apa-apa," balas sang papa sambil tersenyum. "Siapa, Syad? Apa papa langsung bertindak nih?"

¤¤¤

Jadi jangan nunggu mapan. Ikhwan ini kalo nikah nunggu mapan, kalian hanya akan bertemu dengan istri yang siap hidup mapan, tidak siap berjuang. Dan kalo kalian menikah itu dalam keadaan wajah, penampilan, penghasilan masih diremehkan orang dan istri antum mau menikah sama antum, itu istri yang mau berjuang. Antum lebih suka mana, kalo di taman bermain naik kereta kelinci keliling atau naik roller coaster? Pilih mana kalo sama-sama gratis? Kereta kelinci atau roler coaster? Naik roler coaster kan? Nikah saat mapan itu kayak naik kereta kelinci. Datar saja jalannya, bosanlah kita ini. Tapi kalo nikah belum punya apa-apa, kayak naik roller coaster. Luar biasa. - Salim A. Fillah (Nikah Jangan Nunggu Mapan)

¤¤¤

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang