Jakarta, Februari 2017.
"Gue rasa bukan Dika yang nggak pantas sama elo."
"Maksud lo?"
"Ada saatnya elo akan mengerti kenapa dan bagaimana. Tapi percayalah, akan ada lelaki yang lebih baik dari Dika buat lo."
Percakapan antara Hanin dan Irsyad terulang lagi di memorinya. Percakapan singkat ketika beberapa bulan yang lalu. Tepat saat hari pertunangan Dika.
Hanin hanya bisa menghela napasnya. Menatap langit ibukota yang semakin senja. Memerah berganti gelap. Di bawah sana, jalanan arteri ibukota sudah penuh sesak dengan kendaraan yang saling berpacu menuju tujuan masing-masing.
Di setiap senja, Hanin memang lebih melambankan pulangnya. Bukannya gila akan kerja, melainkan agar tak terjerembab dengan ganasnya jam-jam sibuk ibukota. Itu sudah menjadi sebuah kebiasaannya. Toh juga jarak kantor dan kosannya cukup dekat.
BIP ...
Suara pesan masuk dari smartphone Hanin yang ia letakkan di meja kantornya. Hanin hanya melihat sekilas. Pesan dari Deo.
"Nin ..." sapa Deo ketika Deo dan Hanin sengaja bertemu sehabis pulang kerja. "Sorry ..."
"Buat apa?" tanya Hanin tak mengerti. Bukankah tadi Deo yang mengajaknya untuk bertemu. Memaksa lagi. Dan ... ucapan pertama yang Deo ucapkan adalah meminta maaf? Ada apa ini? "Lo kenapa sih?"
"Gue baru tau semuanya," balas Deo dengan wajah muram. "Lo ... Dika ..."
"Lo belum balik?" tanya Alea yang baru masuk ke dalam ruangannya.
"Lo sendiri?" tanya Hanin balik. Tersenyum.
"Nunggu macetnya kelar," balas Alea tersenyum. "Ini dokumen yang harus lo pelajari besok, lusa kita berangkat ke Singapur."
Hanin hanya melangkahkan kakinya mendekat ke arah meja kerjanya. Ia langsung duduk di kursinya yang nyaman. Membuka lembaran yang dibawa oleh Alea.
"Ada masalah?" tanya Alea yang sedang memandang Hanin. "Lo kelihatannya sedikit mikir akhir-akhir ini."
"Sedikit?" tanya Hanin sambil tertawa kecil. "Berarti gue selama ini kayak nggak mikir yak?"
"Bukan gitu ... tapi ... lo lebih diam aja," balas Alea. "Emang lo nggak sampai lost focus, tapi ... lo beda."
Hanin hanya bisa menghela napasnya. Menaruh kembali kertas yang barusan ia lihat sekilas. "Gue rasa, Allah sayang banget sama gue."
"Terus?"
"Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya," ucap Hanin mengutip hadist Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam. "Tanpa gue lanjutin, lo pasti tau kelanjutannya, Yo."
Deo hanya menghela napasnya.
"Gue?" tanya Hanin. Pada dirinya sendiri. "Gue mungkin belum baik akan agama. Ilmu gue masih comapng-camping. Futur gue masih sering. Mungkin ... Allah lebih memantaskan Fiandra untuk Dika."
"Dika bukan nyari itu di dalam Fiandra, Nin."
"Tau darimana lo?" tanya Hanin tersenyum. "Jangan su'udzon dulu, Yo. Apapun itu, itulah yang terbaik bagi Dika."
Hanin berjalan menyusuri lorong kosannya. Menuju kamarnya yang berada di pojokan. Hanin membuka pintu kamar kosannya perlahan. Menyalakan AC dan juga lampu. Membuka sepatunya dan menaruh tasnya sembarangan di dalam kamar. Dirinya langsung menuju kasur yang nampak menggoda.
Hanin merebahkan dirinya diatas kasur. Memandang langit kamar yang tertempel dengan hiasan neon. Beberapa hari ini memang agak berat. Bukan karena pekerjaan, namun karena pikirannya.
Pertanyaan-pertanyaannya dulu, ketika ia bingung, ketika hatinya masih terkatung, ketika bimbang terasa. Kini, terjawab sudah. Dengan alasannya yang sangat jelas.
Sangat mudah bagi Hanin mencerna tentang keadaan, tentang pengalaman, tentang mimpi apa yang sedang Dika rajut. Mimpi-mimpi yang tak mungkin diwujudkan jika mereka bersama. Ah ... rasa, kini rasanya sudah pupus tak tersisa.
Lega? Jelas.
Namun ... ada yang mengganjalanya. Perasaannya terhadap Sang Pencipta.
Hanin menghadapkan dirinya ke arah kanan. Menghadap tembok dinding kamarnya. Dinding putih yang telah menemaninya setahun ini.
"Gue ngerasa Allah baik banget sama gue, Al," ucap Hanin sambil memandang bayangan senja dari balik kaca ruang kerjanya. "Tapi ... gue ..." Hanin terdiam sesaat. Deretan katanya nampak hilang dalam memorinya. Rasa berat itu kini kembali. Bukan ... bukan berat karena rasa kepada mahkluk. Berat karena rasa kepada Sang Pencipta. "Gue ... gue ngerasa nggak pantas dengan apa yang gue dapatkan."
Air mata meluncur deras dari kantungnya. Isakan-isakan terdengar jelas dalam kungkungan ruangan empat kali empat ini. Bibir mungilnya mengucap istighfar.
Berapa banyak dosa yang telah ia lakukan. Namun Allah begitu baik memberi sebuah jalan yang terbaik baginya.
"Astagfirullah ... Astagfirullah wa atubuhu alaih ..."
¤¤¤
Kalau Allah mau menghukum kita dengan dosa kita, kayaknya kita nggak ada yang berada disini sekarang. Udah celaka dari dulu-dulu juga, kenapa masih bisa hidup? Allah, kita sakitin berkali-kali, kita cuekin, kita selingkuhin dalam bahasa kita. Gimana selingkuhin? Selingkuhin akidah. Kita bilang percaya sama Allah, tapi kita jalan sama yang lain. Innashalati wanusuki wamayahya wa mamati lillah. Iya Lillah, tapi kenyataannya kita ngerasa seolah-seolah Allah nggak lihat kita jalan sama yang lain. Allah tau? Tau banget. Yang kasih rezeki kan Saya, kenapa kamu terima kasihnya ke dia? Yang memelihara kamu kan Saya, kenapa kamu baiknya ke dia? Kok Saya enggak? Berbuat baik kepada hamba Allah, Allah seneng. Tapi kenapa kepada Allah, enggak. Ini agak-agak kurang fair. Ke makhluk yang nggak berjasa kita jadi baik, ke Allah yang maha berjasa, kita cuek. Malah kita menuduh ke Allah dengan tuduhan-tuduhan yang nggak pantas. Ngerasa Allah nggak penting dalam hidup kita. - Hanan Attaki (Nyakitin Allah)
¤¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu
Short StoryPercayalah, sesuatu yang menurutmu buruk, belum tentu buruk di hadapan Allah. Sesuatu yang baik menurutmu, belum tentu baik dimata Allah. . Jika kamu menjaga Allah, maka Allah akan menjagamu. ¤¤¤