Wildan - 5

196 13 2
                                    

"Maybe,  I should try to forget you?"

oo0oo

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Aku ingin sekali menyerah dan berhenti untuk menyukai Wildan. Tapi, ketika aku dalam proses melupakannya, selalu saja ada hal yang membuatku ingat dia.

Sore ini aku harus berjalan ke jalan utama untuk menunggu angkot yang akan membawaku pulang. Andaikan saja kemarin tidak hujan, pasti sungai dekat sekolahku tidak banjir. Aku masih ingat tadi pagi aku harus berjalan dari jalan utama ke sekolahku. Aku juga harus berjalan memutar melewati jalan samping sekolahku. Karena jalan yang langsung menuju sekolahku banjir, aku lebih memilih jalan memutar agar tidak melewati jalanan yang banjir.

Aku melewati jalan memutar itu dengan cemas. Pasalnya, jalan memutar yang kulewati adalah jalan di mana sekolah Wildan berada. Tapi beruntungnya, hari itu aku tidak satu angkot dengan Wildan. 

Pulangnya, aku dan teman-temanku juga harus berjalan beralaskan sandal melewati banjir. Walaupun banjirnya hanya sampai mata kaki, cukup membuat kakiku terasa gatal. 

Setiap awal musim penghujan, jalanan sekolahku memang menjadi langganan banjir. Tapi beruntungnya banjir tidak sampai memasuki sekolahku, hanya di depan gerbang sekolahku. Sementara di depan sekolahku, ada satu sekolah yang kalau sudah banjir seperti ini menjadi kolam renang. Gimana tidak banjir kalau sekolah sama jalan raya aja masih tinggi jalan rayanya. Kurasa itu memang kesalahan tukangnya yang kurang canggih.  

Setiap hari di samping sekolahku banyak pedagang kaki lima yang berjualan. Mulai dari es, gorengan, pentol, siomay, pempek, batagor, dan sejenisnya. Kebetulan waktu itu Zarra lagi ingin beli pentol bakar. 

"Eh, Na, anterin beli pentol bakar bentar ya?" ajak Zarra. 

"Yaudah cepetan," jawabku sambil ngintilin Zarra. Tapi sebelumnya aku menyuruh Laurie dan Greta untuk menunggu. 

Habis itu, aku langsung menyusul Zarra yang udah pesan kepada si abang pentol bakar. Aku berjalan pelan, karena aku tahu pasti lama nungguin pentol bakarnya jadi. Aku berdiri di belakangnya Zarra dengan jarak yang lumayan dekat. Tapi mungkin Zarra masih tidak sadar, aku pun hendak mendekati Zarra lagi, tapi Zarra malah berbalik badan dan ....

"Eh anjir," ucapku spontan karena terkejut.

Zarra menubrukku, yang membuatku langsung kaget. Karena waktu dia menubrukku, jarak antara wajahnya denganku sangat dekat. Hampir saja aku berciuman dengan Zarra. 

"He, yaampun," ucap Zarra sama kagetnya.

"Kayak hampir ciuman njir, untung gak ciuman. Haha...." jawabku sambil ketawa. Sedangkan Zarra hanya cengar-cengir sendiri.

"Mbak, ini sudah jadi," ujar si abang pentol bakar membuyarkan lamunan kami. Zarra langsung mengambil pesanannya dan membayar. 

Setelah itu, aku dan Zarra menghampiri Laurie dan Greta yang menunggu di halte samping sekolah. Setelah itu kami berempat jalan melewat genangan banjir. Sampai akhirnya, kami berempat berpisah di angkot.

oo0oo

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasanya. Diantar oleh Ibu sampai angkot. As usual.

Aku hanya diam sambil menunggu angkot lumayan penuh. Aku membuka jendela agar angin pagi dapat masuk, selain itu aku juga suka hawa dingin dibanding panas. 

Aku beralih melihat ke pintu angkot. Cowok tinggi yang tingginya kayak tiang itu berjalan ke angkot. Tapi kali ini hanya dia sendiri, tidak bersama temannya. Setalah itu masuk lagi satu cewek SMA dan beberapa cowok anak SMP lain. 

Aku tidak duduk di depannya saat itu. Tapi aku masih bisa memicingkan mataku untuk sekedar melihatnya, walau cuma melalui pucuk mata. Tak jarang aku juga menoleh ke belakang, hanya sebagai alibi untuk melihat Wildan. 

Setelah belokan di depan mau menuju ke pasar, banyak dari penumpang dalam angkot turun yang kemudian hanya menyisakan tiga orang di dalamnya―aku, Wildan, dan satu anak SMA. 

Kemudian tidak jauh setelah melewati pasar, anak SMA tadi turun. Tinggalah aku berdua dengan Wildan di dalam angkot itu. Entah akunya yang terlalu bingung, gerogi, atau ke-GRan, aku sepeerti merasa setiap gerakanku ada yang melihati. 

Sialnya lagi, jalan menuju sekolahku masih tergenang banjir. Rupanya satu hari tidak cukup untuk membuat banjir surut.

Akhirnya, untuk kedua kalinya, angkot yang mengantarku ke sekolah harus melewati jalan sekolahnya Wildan.

Di dalam hati aku berharap dapat mendengarkan suara Wildan. Aku tak sabar menanti suara keluar dari mulutnya. Kelamaan melamun, ternyata angkot sudah berhenti di depan sekolahnya Wildan. Padahal aku belum mendengar sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Gagal sudah kesempatanku untuk mendengar suaranya.

Wildan pun keluar dan langsung berjalan ke pekarangan sekolahnya. Ketika tadi dia membayar angkot di dalam, dia memberiku tatapan punggungnya yang tegap. Lagi, dan lagi aku hanya bisa melihat punggungnya. Setidaknya, aku sudah melihatnya selamat sampai di sekolah.

Dari dalam angkot aku melihatnya berjalan. Sampai aku melihat Wildan sedikit melirikku, dan tersenyum ketika dia menghilang di balik pagar sekolahnya.

oo0oo

Tbc

WildanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang