I prefer to wait for the right time. Someday we'll meet again. And I can't wait for that time comes.
oo0oo
"Kamu ngikutin saya?"
"H-hah?" ucapku terbata. "Maksud kamu, aku?" lanjutku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Siapa lagi kalau bukan kamu?" jawabnya dengan nada ketus.
"I-iya mungkin kamu ngomong sama setan?" jawabku sedikit ragu. Aku meringis merutuki jawabanku yang nyeleweng begitu melihat alisnya terangkat sebelah.
"Udah deh, nggak usah banyak alasan. Bilang aja kalo kamu dari tadi itu ngikutin saya!" tandasnya kepadaku.
Sepenuhnya yang dia ucapkan barusan adalah benar. Tapi, masak iya aku mengaku jujur kepadanya kalau aku ngikutin dia secara terang-terangan begitu? Enggak, aku harus mencari alasan lain.
"Ge-er banget ya kamu. Siapa juga yang mau ngikutin kamu?! Aku mau ke rumah temanku, kok. Cuma kebetulan aja rumahnya lewat jalan sini!" jawabku sedikit emosi kebanyakan gugup.
Bayangkan, saat itu aku harus memikirkan alasan yang pas agar aku tidak dianggap sebagai penguntit. Selain itu, orang yang menginterupsiku saat itu adalah orang yang aku suka. Nggak kebayang kalau alasan yang aku berikan itu tidak masuk akal.
"Oh gitu. Tapi saya ngerasa kalau kamu ngikutin saya?" jawabnya sambil menaikkan satu alisnya.
"Hmm ... Itu mungkin cuma perasaan kamu aja kali."
Aku lihat dia nampak berpikir. "Gini aja deh, kalau kamu beneran nggak ngikutin saya. Kamu harus jalan duluan di depan saya. Gimana?" Rupanya dia menantangku. Oke, siapa takut.
Dengan penuh percaya diri, aku pun menjawab dengan lugas. "Oke. Siapa takut."
Aku pun berjalan mendahuluinya. Terkadang aku melihat ke belakang untuk melihatnya. Di pertigaan depan, aku akan belok ke kiri. Kemudian ada pertigaan lagi aku akan belok ke kanan. Selama ini itulah jalan yang biasanya aku lihat dari jalan depan saat sekilas melihatnya pulang dengan jalan kaki. Jadi aku sudah memastikan kalau kemungkinanku untuk salah jalan itu tipis sekali.
Aku pun berbelok ke kanan. Mati aku. Jalannya ditutup. Kenapa dari tadi aku tidak sampai kepikiran kalau jalan itu bisa ditutup seaktu-waktu. Tamatlah riwayatku. Sepertinya aku tidak berbakat dalam bidang akting. Kalau seperti ini, jawaban apa yang harus aku katakann selanjutnya.
"HaHaHa..." sial, dia tertawanya kencang sekali. "Rumah teman kamu itu di mana? Kali aja aku bisa anterin." tawarnya kepadaku. Dia tidak tahu, bahwa perkataannya barusan sukses membuat pipiku merah seketika.
"Biasanya juga lewat sini, 'kok. Tapi kebetulan aja jalannya hari ini ditutup." aku memberi alasan.
"Hahaha..." yaampun dia tertawa lagi. Tapi kali ini, tertawanya seperti tertawa geli.
"Aduh, kamu itu lucu, ya." dia berdeham berusaha meredamkan tawanya yang begitu renyah.
"Gini, aku kasih tahu. Jalanan di daerah sini, emang selalu ditutup permanen di bagian ujung barat jalan. Jadi, kalau kamu mau ke blok sebelah, kamu harus keluar dari blok ini ke jalan depan tadi." jelasnya sangat panjang. Bahkan aku pun tidak menyangka akan mendengarkan suaranya yang sangat aku tunggu-tunggu selama ini.
"Yaaahhh...berarti aku harus periksa ke dokter. Mungkin aku amnesia ringan karena terbentur pintu waktu di sekolah tadi." aku bergumam pelan. Untuk sejenak, saat itu aku memang lupa tentang alasanku yang pertama. Tapi, tadi di sekolah aku memang terbentur pintu.
"Mau saya temenin?" suaranya keluar lagi.
"H-hah?" tanyaku terkejut. Setelah itu aku langsung sadar dengan keadaanku saat itu. Bodoh. Mana ada amnesia hanya karena terbentur pintu. Sangat bodoh! Lebih bodohnya lagi, sekarang dia menawarkan dirinya untuk mengantarkanku ke dokter. Harus jawab apa lagi aku?
"Hahaha...kamu itu beneran amnesia? Atau..." dia memotong ucapannya. "Kamu memang benar-benar lagi nguntit saya?" Cukup, mungkin kali ini sudah tamat riwayatku.
Aku harus memilih, jujur atau berbohong untuk yag kesekian kali. Entah kebohongan apa yang akan keluar dari mulutku.
"Oke aku ngaku," Mungkin seharusnya aku berkata jujur dari awal. "Jadi, sebenarnya aku-"
Tiiinnn!
"Awas!" teriakku kencang.
"Ah, sialan!" ucap Wildan setelah membuang napasnya kasar.
Dari arah belakang ada sepeda motor dengan kecepatan kencang melaju ke arah kami berdua. Tapi beruntungnya, pengendara itu bisa mengendalikan setirnya dan hanya melintasi genangan air sisa hujan tadi pagi. Sekarang, Wildan harus menerima imbasnya, yaitu terkena cipratan dari genangan air tadi.
"Yah, kotor deh baju kamu." ucapku sambil mengambil tisu dari dalam tasku.
"Lagian itu orang kalau naik sepeda motor juga ngapain kenceng-kenceng gitu. Kalo nabrak baru tahu rasa ntar." omelnya sambil membersihkan lengannya.
"Cepetan kamu pulang gih, bajunya langsung dicuci, takutnya nodanya gak bisa hilang." saranku sedikit khawatir.
"Terus kamu?" tanyanya sambil beralih menatapku, melupakan baju seragamnya yang kotor.
"Udah nggak usah dipikirin. Yang penting kamu pulang dulu aja. Aku bisa telfon temenku buat jemput nanti." jawabku menenangkannya. Dalam hati aku sangat bersyukur, dapat mengalihkan pembicaraan yang semakin menyudutkanku.
"Yakin kamu nggak papa?" aku mengangguk sebagai jawabannya.
"Yasudah kalau gitu, saya pulang dulu. Hati-hati ya kamu." ucapnya yang kemudian berjalan melewatiku.
Aku pun tersenyum mendengar salam perpisahannya barusan. Ternyata Wildan tidak sekaku yang selama ini aku pikirkan. Dia ramah terhadap orang asing sepertiku.
Aku pun memutuskan untuk berjalan kembali menuju jalan utama. Kami berjalan berlawanan arah. Aku sengaja tidak melihat ke belakang. Walau kesempatan untuk mengetahui rumahnya sudah sangat besar. Tapi aku tidak bisa meneruskan maksud tidak baikku tadi. Menguntit, itu bukan perbuatan yang baik.
Akhirnya aku pun memilih untuk menunggu lagi. Menunggu bertemu dengan dia lagi, entah pertemuan yang seperti apa selanjutnya. Aku pun tidak tahu. Aku hanya berharap, bahwa aku bisa bertemu dengan Wildan lagi keesokan harinya. Yang pasti, dengan Wildan yang masih mengingatku.
Di posisi ini, hanya aku yang mengharapkan dirinya. Bahkan kami tidak sempat untuk berkenalan.
oo0oo
KAMU SEDANG MEMBACA
Wildan
Teen FictionKau tahu, hal yang paling menyedihkan bagiku? Aku hanya bisa berada di belakangnya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kau tahu, hal yang paling menyakitkan bagiku? Ketika aku melihat perempuan lain bisa dengan mudah mendekatinya, sementara aku hanya bi...