Akankah kita berjumpa (lagi)?
oo0oo
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Keadaan adikku pun mulai membaik dan kemarin sudah pulang dari rumah sakit. Aku diantar Ibuku sampai ke jalan raya utama. Selanjutnya, aku harus naik angkot, as usual.
Setelah menunggu beberapa menit, angkot pun berjalan. Saat itu, aku tidak menemukan sosoknya di dalam angkot. Menunggu beberapa menit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Wildan akan menaiki angkot.
Aku pun menikmati perjalanan ke sekolah tanpa Wildan. Cukup membosankan memang. Karena tidak ada sesuatu yang mungkin akan terjadi secara kebetulan.
Memikirkan itu, aku jadi teringat dengan kejadian berbulan-bulan lalu. Saat itu angkot sedang penuh-penuhnya. Kebetulan juga dia duduk di depanku. Sudah kuceritakan bahwa Wildan itu sangat tinggi. Salah satu alasan mengapa aku menyukainya.
Karena postur tubuhnya yang tinggi itu juga yang membuat hal yang tidak pernah terlintas di dalam otakku terjadi. Karena tinggi, otomatis kaki Wildan juga panjang. Karena angkot yang penuh tadi, semua penumpang pun duduk bersesakan di dalam. Termasuk aku dan Wildan. Saking sesaknya, kakinya yang panjang mengapit kedua kakiku di dalamnya.
Jadi, kakiku diapit oleh kakinya yang panjang. Kakiku seolah-olah terkurung di dalam cengkraman kakinya. Sedikit risih memang. Beberapa kali aku mencoba untuk bergerak agar kakiku tidak diapit oleh kakinya. Tapi justru karena pergerakan kakiku, aku seperti merasa Wildan semakin mempererat apitan kakinya di kakiku.
Sungguh aku mati-matian menahan malu. Mungkin saat itu wajahku sudah memerah akibat apitan dari kakinya. Ya Tuhan, aku bersentuhan dengan Wildan. Walaupun masih terhalang oleh kain celananya dan kain rok seragamku, aku bisa merasakan hawa kulitnya yang hangat. Sungguh sangat gila. Saat itu, hanya satu harapanku. Yaitu segera sampai di sekolah dan lepas dari kungkungan kaki Wildan.
Aku melihat sekitar. 'Sebentar lagi. Bertahanlah, Anna. Jangan sampai melakukan hal bodoh yang akan mempermalukan dirimu.' batinku saat itu.
Angkot pun berhenti. Rasanya lega sekali, walau aku tidak bisa melihat Wildan lagi. Tapi, semua perasaan gelisah, gerogi, malu, dan panik seolah lenyap dalam sekejap. Akhirnya aku lepas dari Wildan. Sungguh, kejadian tadi membuat jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Mungkin kalau dibiarkan terus akan menyebabkan penyakit serangan jantung mendadak.
Benar-benar Gila.
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Seolah-olah itu adalah hiburan yang lewat sekilas dalam benakku. Tapi lumayan. Setidaknya mengurangi rasa bosanku di dalam angkot.
oo0oo
Hari-hariku pun berlalu begitu saja. Tidak ada hal yang mengesankan selama beberapa hari ini. Malah yang ada, jadwal pelajaran di sekolahku yang semakin membuatku pusing. Mulai minggu depan, sekolahku mulai melaksanakan tambahan pelajaran materi ujian nasional di pagi hari.
Les tambahan itu dimulai pukul enam pagi. Itu berarti aku harus tiba di sekolah sebelum pukul enam. Aku pun mulai merasakan bahwa adanya les tambahan ini semakin membuat intensitas bertemuku dengan Wildan semakin sedikit. Tapi itu tidak penting, yang paling utama adalah aku sukses di masa depan.
Hari dimana les tambahan itu dimulai pun tiba. Aku berangkat pagi-pagi dan tentunya diantar Ibuku. Aku menunggu angkot yang biasa lewat di sekolahku, tapi angkot itu tidak kunjung melintas. Aku masih setia melihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Sedikit cemas, karena jarum panjang sudah menuju angka delapan. Itu berarti kurang dua puluh menit lagi sebelum pelajaran dimulai.
Saat itu aku pasrah, apabila aku telat, maka itu memang sudah menjadi takdirku yang sial hari itu. Di saat yang sudah mepet seperti itu, aku langsung berpikir, kenapa nggak naik angkot lain? Terus nanti turun, dan oper naik angkot yang lain lagi? Ribet sih memang, ongkos buat naik angkot juga bertambah dua kali lipatnya. Tapi mau gimana lagi? Sudah mepet ya begini.
Aku pun memberhentikan angkot yang sedang lewat. Angkot itu erhenti, dan aku naik ke dalam angkot itu. Beruntung, angkot itu berjalan dengan lumayang cepat. Tidak salah aku memberhentikan angkot.
Akhirnya aku sampai di sekolah dengan selamat. Tidak telat dan tidak juga mendapat omelan dari guru. Maklum, sekolahku selalu mengedepankan sikap disiplin kepada siswanya.
Seperti itulah hari-hariku kedepannya. Berangkat pagi buta, pulang petang.
oo0oo
Sudah hampir dua bulan terlewatkan. Selama itu pula aku tidak pernah bertemu dengan Wildan. Karena lama tidak bertemu, aku pun mulai sedikit melupakan Wildan.
Aku tidak lagi pernah berharap untuk bertemu dengan Wildan lagi. Aku tidak pernah berkhayal tentang Wildan seperti dahulu. Karena menururtku,itu semua mulai terasa membosankan.
Why?
Karena hanya aku yang berharap kita akan dipertemukan lagi. Hanya aku yang berkhayal tentangnya. Hanya aku yang menerka-nerka keajaiban apa yang terjadi pada kita berdua.
Tapi, sayang. Selama aku melakukan itu semua, selama itu pula aku sadar bahwa hanya aku yang mengejar. Cuma aku yang mengingat, menghafal, dan mengamati. Sedang dia? Tidak sama sekali. Semua terasa tidak berarti.
Aku pun mulai berpikir logis. Aku sadar bahwa yang aku lakukan sebelumnya itu tidak berguna. Tentang semua khayalan dan perjuanganku. Semua itu tidak ada artinya. Terlewatkan begitu saja. Useless.
Perlahan, aku mulai mengalihkan pikiranku apabila aku teringat tentangmu. Dengan cara itu, aku dapat memastikan bahwa aku kelak bisa memusnahkan ketertarikanku terhadapnya.
Tidak sia-sia usahaku untuk melupakannya. Sekarang, aku tidak lagi merasa tergila-gila dengan dia, Wildan. Aku tidak pernah berkhayal lagi tentangnya. Pelan, aku mulai lupa dengan kejadian yang dulu-dulu pernah kualami dengannya. Meski aku tidak melupakannya secara utuh.
Bahkan, muncul rasa bahagia dalam benakku. Aku tidak tahu, apakah selama ini ketertarikanku terhadap Wildan merupakan rasa suka, atau bahkan hanya obsesiku saja?
Aku sendiri tidak bisa membedakannya. Aku pikir, aku tidak akan bertemu dengannya lagi setelah ini.
oo0oo
Hmm Yah. Sedikit memaksa bab ini. I don't know. I feel nothing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wildan
Teen FictionKau tahu, hal yang paling menyedihkan bagiku? Aku hanya bisa berada di belakangnya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kau tahu, hal yang paling menyakitkan bagiku? Ketika aku melihat perempuan lain bisa dengan mudah mendekatinya, sementara aku hanya bi...